Sunday, July 29, 2007

Mujur

ORANG yang mujur, belum tentu ia yang jujur. Saya menyaksikan, banyak sudah orang jujur justru terseok-seok, lalu buntu. Pada permulaan kejujuran manusia diuji, terbuktilah Habil yang stabil, lumat di tangan Kabil yang labil. Sekilas, laku yang jujur tidak berbanding lurus dengan saku yang mujur.

Hal itu juga digambarkan dalam fiksi. Saya pernah menyaksikan pertunjukan Actor Unlimited (AUL) di Gedung Kesenian Jakarta, membawakan An Enemy of the People yang ditulis Henrik Ibsen, yang mengisahkan si Thomas yang jujur, yang justru menjadi musuh masyarakat.

Kata mujur nyaris bersinonim dengan diksi untung. Saya katakan nyaris dan bukan sama persis, sebab pada bahasa Melayu, ada kata beruntung tapi tidak pernah saya menemukan orang menulis bermujur. Kata keberuntungan galib digunakan, tetapi kebermujuran tidak lajim digunakan.

Meski tidak bersinonim secara identik, namun kemujuran dan keberuntungn sama-sama misterius, yang dianugrahkan oleh yang misterius pula. Oleh Allah, Tuhan, Pangeran, Gusti Hyang Widi, Hong, yang di atas sana, yang tak terjangkau. Sebab itulah, manusia selalu mengetuk pintu langit dengan tata dan cara peradabannya masing-masing, agar beroleh keberuntungan, kemujuran.

Kaum Qurais pra-Islam, senantiasa mendatangi Ka’bah sebelum bepergian. Mereka memuja latta dan uja, meminta keberuntungan berpihak. Mereka percaya pada permainan untuk menebak keberuntungan. Sebuah benda digantungkan, kemudian dipanah atau ditombak. Jika kena, mereka yakin akan mendapatkan keberuntungan, atau terjauh dari petaka.

Orang China percaya pada fengsui, hoki, shio, dan seterusnya. Pada mitos Yunani, ada dewi fortuna, salah satu dewi olimpus turunan Zeus dan Hera yang bertugas menaburkan keberuntungan kepada manusia dari atas awan. Ia dewi yang kedua matanya selalu diikat kain, sehingga tidak bisa memilah-milah, tidak pilih kasih dalam membagikan keberuntungan berupa emas dan berbagai harta dari tanduk Amaltea, si kambing suci. Ditaburkan secara random tanpa mengenal budi baik manusia, atau kegigihannya dalam berusaha, tak peduli disiplin, juga etos kerja atau doa-doanya. Terkadang mereka yang menerima keberuntungan adalah para pekerja keras lagi murah hati. Sering pula jatuh ke tangan pemalas dan degil. Tidak jarang, jatuh ke tangan orang yang tidak siap menerima berkat.

Orang-orang Nusantara percaya pada sesejen yang dipersembahkan melalui ritus khusus, supaya beroleh sesuatu yang lebih dari sekedar faedah. Orang Jawa mengenal buku paririmbon, ilmu kanuragen, atau ramalan Joyoboyo untuk menebak hari yang baik.

Atheis sekalipun, jauh di lubuk hatinya masih meyakini adanya miracle, keajaiban yang muncul dari kegaiban. Karena itu, seorang Jenderal atheis akan berkata kepada prajuritnya sebelum berlaga, good luck! Kata ‘semoga’ atau ‘mudah-mudahan’ yang diucapkan jenderal itu, sebenarnya merupakan masifestasi dari doa yang paling sederhana. Sedangkan doa berpintu pada iradat Tuhan.

Kata mujur bernegasi dengan kecebur, dan untung berantonim dengan buntung. Mujur atau kecebur, untung atau buntung, sekali lagi, ialah perkara yang gaib, misterius. Manusia dari segala bangsa, segala jaman, senantiasa berusaha menyelami kegaiban itu, agar bisa menguaknya sehingga jadi nampak. Manusia mempraktikan tata dan cara untuk menggapai kemujuran itu, atau menolak bala itu.

Bahkan, praktik menguak tabir itu sampai ke hal-hal verbal yang sederhana. Misalnya, angka 9 diyakini sebagai hoki yang membawa keberuntungan, sedangkan angka 13 dicap sebagai pembawa petaka. Saya masih mencari-cari asal-usul prasangka atas angka-angka itu. Hingga kini, di pesawat tidak ada tempat duduk nomor 13, juga di hotel tidak ada lantai 13. Walau demikian, tetap saja ada pesawat yang jatuh, dan banyak hotel yang tidak laku, atau malah diledakkan oleh teroris. Karena itu, bagi saya, meskipun suka pada nomor selular yang cantik, namun soal angka adalah ihwal tahayul.

Apalagi saya muslim, walaupun bukan dari golongan yang taat. Saya muslim yang menolak tahayul, dan selalu mengurut dada mendapati bertaburannya film-film tahayul di televisi maupun bioskop. Saya mencoba menghayati makna kemujuran, keberuntungan itu, berulang-ulang, namun tidak dikaitkan dengan ajimat, atau nomor-nomor yang keramat.

Terkadang saya merasa mujur sekali, yang membuatku lupa diri. Tapi di saat frustasi melanda, cobaan mendera, dan banyak orang yang tiba-tiba mencerca, saya merasa kurang mujur, tetapi sekaligus mereasa dekat dengan Tuhan, percaya bahwa Tuhan itu maha ajaib, seraya memohon keajaiban-Nya, atau meminta penjelasan tentang keadilan itu, di manakah ia terletak?

Ada dua golongan dalam Islam yang berseberangan pendapat dalam menghadapi kemujuran, yaitu aliran qodariyah dan jabbariyah.

Aliran qodariyah tegas-tegas meyakini, seluruh yang terjadi pada manusia, sudah direncanakan oleh Allah yang Maha Tahu. Baik dan buruk takdir seseorang, jahat dan baiknya laku seseorang, telah ditentukan bahkan sebelum manusia lahir ke bumi. Manusia benar-benar menjadi wayang yang seluruh nasibnya ditentukan oleh Sang Dalang. Saya kira, aliran ini sedikit-banyaknya menjadi inspirasi dari kelahiran Islam abangan.

Aliran jabariyah hanya menerima takdir baik atau buruk sebagai yang imanensi, yang sudah digariskan oleh yang di atas, sedangkan perangai baik atau buruk, juga nasib cemerlang atau nahas, diperoleh dari hasil olah-budi manusia. Sorga atau neraka yang didapat, bergantung pada niatan dan amalan seseorang. Kaya atau papa, ditakar dari kucuran keringatnya. Siapa kerja keras, ia bisa beraih sukses. Tanpa harus membaca Quran atau bible, rasionalisme Barat sampai pada pengetian ini.

Namun, jika ia sudah banting tulang tapi masih saja bunting, sementara yang ongkang-ongkang malah melambung, jabariyah meyakininya bahwa itulah takdir yang harus diterimakan, adalah qodrat, atau orang Sunda bilang tikudrat, fatum brutum!

Sejujurnya, secara syariat, hakikat, pun makrifat, saya belum bisa mengurai mana yang paling absah dari kedua aliran yang kontras berseberangan itu. Karena itu, saya belum mau, atau tidak ingin menganut salah satu dari keduanya. Saat ini, saya ingin netral dan apolitis saat berhadapan dengan dua faham yang curam itu. Karena itu pula, saya menafsir takdir, atau memaknai kemujuran, keberuntungan, menurut wawasan saya yang terbatas, berdasar keyakinan yang dangkal.

Apakah saya termasuk orang yang mujur? Terkadang!

Seorang teman mengingatkan, saya adalah orang yang mujur, yang beruntung, sebab tiba-tiba memiliki kenalan yang tanpa hujan dan angin, mau memberikan pinjaman uang. Ketika saya pulang ke Bandung, saya merasa semakin yakin bahwa saya menerima kemujruan itu, sebab ibu saya selalu berdoa dan menitikkan air mata untuk saya. Terimakasih ibuku.

Akhir-akhir ini, saya nyaris terpelanting. Namun seseorang mengulurkan jemarinya untuk kugapai, ketika saya, disadari atau tidak, ternyata telah hinggap di ujung jurang. Sementara saya selamat. Ini harus kunyatakan sebagai mujur.

Dari itu, hai Doddi Ahmad Fauji, tak perlu engkau membaca mujur dengan material, benda-benda, tapi kaitkanlah dengan sesuatu yang intangible, dhohir, sehingga kau tetap bisa berujar bahwa mujur sebenarnya selajur dengan jujur. Orang mujur bukan berarti bergelimang benda-benda. Orang mujur adalah ….

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung