Sunday, March 30, 2008

Hutan Rusak, Pak!


Perupa Noor Ibrahim memamerkan 42 patung dengan semangat mencintai hutan yang semakin rusak.

Doddi Ahmad Fauji
doddi@jurnas.com

Bau dedaunan layu yang tertimpa hujan, aroma tanah basah, bau hutan, tertangkap bukan saja oleh pembau, tapi juga oleh kenangan saya akan hutan tropis sehabis hujan. Hutan? Itu sebuah kawasan berikut ekosistemnya terus-terusan tumpur, rusak oleh illegal logging dan alih fungsi lahan.
Di Galeri Nasional Indonesia, kenangan akan hutan tropis itu semburat lewat patung-patung gubahan Noor Ibrahim (42), yang dipamerkan pada 9 – 17 Februari 2008. Mengusung juluk Palon, dipamerkan sebanyak 42 patung yang rata-rata terbuat dari tembaga, perungu, atau stainless steel. Pameran ini, menurut Noor, memang dimaksudkan untuk merespon hutan tropis di Nusantara yang rusak parah.
Supaya kesan hutan terasa kental dalam pamerannya, selain memajang patung-patung berupa pohon dan penghuni belantara, pematung lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini, juga memboyong dedaunan yang sudah layu, daun waru kalau tidak salah, ke dalam ruang pamer. Di antara dedaunan itu, patung-patung di pajang. Sekilas memang tidak harmonis, di antara dedaunan yang kedap cahaya, terdapat logam yang memantulkan sinar.
Dedaunan itu diserakkan di lantai dan pada dinding ruang pamer sayap kanan Galeri Nasional. Memasuki ruangan itu, aroma daun yang sudah layu tertimpa hujan, segera menyesakki penciuman. Anehnya, aroma daun layu justru tercium mewangi. Barangkali kenangan akan indahnya hutan yang menguar di batok kepala saya, yang membuat kelayuan terasa harum.
Sedianya ada 55 patung yang telah digubahnya selama tiga tahun. Namun kurator pameran ini, Eddy Soetriono, memangkasnya menjadi 42 patung yang bisa dipamerkan. Pada patung-patungnya itu, mungkin karena terbuat dari logam, tertangkap kesan yang kukuh, kokoh, dan keukeuh, misalnya pada batang pohon besar yang telah ditebang. Walau sudah ditebang, dan mungkin sudah mati, kekuatan alamiah masih memancar padanya.
Selain menggambarkan tetumbuhan, patung-patung Noor juga menampilkan sosok-sosok imajiner, macam bidadari, malaikat, pagan, dewa-dewi. Di depan pintu masuk, dipajang patung yang tinggi, yang dalam imajiansi saya, itulah patung dengan sosok ririwa (penjaga) hutan. Namun dari bentuk patungnya yang penuh dengan tekstur atau barik-barik yang tidak teratur, sosok-sosok yang dipresentasikan Ibrahim itu seperti tubuh manusia yang terluka, terancam oleh keserakahan yang mengejawantah melalui pembalakan membabi buta.
“Hutan di Nusantara sudah rusak parah,” kata Noor.
Tak ada yang bisa membantah, bahkan pemerintah pun dengan jujur mengakui, hutan kita tiap saat mengalami kerusakan yang parah. Efek dominonya, turut menyebabkan global climate exchange (perubahan iklim dunia) dan pemanasan suhu bumi. Kawasan Nusantara diakui sebagai paru-paru dunia. Kerusakan paru-paru itu, bagi kita sendiri, terasa menyesak sakitnya, mewujud jadi musim kemarau yang panjang atau tumpahan curah hujan yang terlampau tinggi dengan diikuti bajir dan longsor.
Namun saya tidak mengerti maksud Palon yang menjadi tema utama pameran ini. Akhirnya saya berbincang-bincang dengan Noor Ibrahim yang mengenakan kulot hitam, kaos oblong warna biru. Kumal rambutnya, lebat jenggotnya, agak memerah matanya, dengan kaca mata minus yang berbingkai tebal, menegaskan eksentrisitas kesenimanannya.
“Palon itu diambil dari bahasa Jawa kuna, artinya palu. Istilah palon, memalon, digunakan oleh tukang pandai logam,” katanya.
Pematung pada umumnya, kata Ibrahim, jarang sekali menggunakan teknik palon dari awal hingga usai patung dibuat. Kalaupun ada yang memakainya, hanya untuk bagian-bagian tertentu saja. “Kalau aku, dari awal hingga patung rampung, dikerjakan dengan teknik menempa. Hasilnya berupa tekstur yang berantakan namun nampak indah,” katanya, sungguh-sungguh.
Membuat patung dengan cara dipalu, amat beresiko bila tidak terkontrol, bentuknya bisa mengalami deviasi yang benar-benar melenceng dari citraan sebuah objek. Namun sekalipun dengan energi yang terukur saat memalu, bentuk permukaan patung yang dihasilkan selalu nampak kasar, semerawut. Tetapi katanya, justru di dalam kesemerawutan terdapat keindahan juga, keindahan yang natural sifatnya.
Ibrahim mencontohkan keindahan alam ini, hutan perawan misalnya, yang dari jauh nampak indah, ternyata setelah didekati, pohon-pohon tumbuh tidak beraturan. “Sungai, ngarai, dan lembah, justru disebut indah ketika bentuknya berkelok-kelok. Nah, konsep keindahan dalam patung saya memang seperti alam, indah dalam ketidakteraturan,” katanya.
Palon, bagi Ibrahim kemudian, bukan sekadar judul sebuah pameran, tapi menjadi konsep dasar estetika kreatifnya. Keindahan alam yang diusung dalam pamerannya ini menjadi sarana baginya untuk menyampaikan intrupsi kepada semua pihak: alam kita makin rusak!

edisi cetak termuat pada Tabloid Koktail edisi 22 (21 - 27 februari 2008)

tulisan yang nyambung