Sunday, April 3, 2011

Ancol Bangkit!?

Perjuangan manajemen dan warga Pasar Seni Ancol agar diperhitungkan publik seni rupa, makin menggelora. Mereka mulai menggelar pameran berjamaah di luar kandang. Tapi perhitungan apa yang sebenarnya kau inginkan?

Beberapa tahun lalu, saya pernah bertanya kepada seorang pemilik sekaligus pengelola galeri di kawasan Jakarta Barat. “Bagaimana dengan Pasar Seni Ancol?”

“Mereka itu susah maju, karena mereka berkarya itu sepertinya gampang sekali. Gampang jadinya,” demikian komentar pemilik galeri itu.

Komentar itu, menurut saya, pada satu sisi menegaskan sikap arogansi. Pada sisi lain, sedang berterus terang sesuai fakta kala itu. Saya kira Anda sering mendengar komentar yang bernada merendahkan seniman Pasar Seni Ancol (PSA) berikut karyanya sebagai berada pada strata kelas kedua, atau mungkin pernah mendengar komentar lebih sarkastis lagi.

Juga, dari beberapa kali saya berbincang-bincang dengan seniman PSA, baik di Belitung maupun di Ancol, soal stigma kelas kedua itu, ternyata telah menggelisahkan mereka. Kegelisahan itu menjadi penanda, mereka tidak percaya diri dan setengah mengakui bahwa mereka memang kelas kedua. Dan stigma itu menjadi racun yang diam-diam akan membunuh karakter psikologis mereka. Seolah, seniman PSA hanya berhak menduduki kasta sudra dalam derajat seni rupa. Jika diucapkan dengan kata yang terdengar kasar namun benar, akan berbunyi, “Selama kau jadi warga Ancol, yah kau tetap saja seniman kelas kedua.”


Stigma terhadap PSA itu bukan saja tidak adil, namun benar-benar kejam. Saya pikir, sama kejamnya dengan stigma yang dilontarkan penguasa Orde Baru kepada para anggota PKI atau simpatisannya: membuat orang jadi bulan-bulanan, dan menyebabkan ruang gerak mereka terbatasi. Dapur mereka pun jadi susah ngepul.

Kalau saya cermati secara detail, sebenarnya seniman PSA tidak kalah dari seniman di luar PSA. Malah beberapa seniman di luar PSA banyak yang lebih jelek dari seniman PSA dalam soal penguasaan teknik melukis-menggambar, dalam soal pengusungan gagasan, pun bila diukur dari latar psikologi penciptaan karya.

Hal itu jelas terlihat pada pameran berjuluk “Tiba-tiba Malam” yang diikuti enam seniman PSA di Denindo Art House, Jl. Bangunan Timur Nomor 5, Kayu Putih, Pulo Mas, Jakarta Timur, yang berlangsung pada 1 – 15 Desember 2008.

Pameran itu diikuti oleh Achmad Nazilie, Arifin Yasonas, Machfudz, Paul Hendro, Tato Kastareja, dan Taufik Prawoto. Karya mereka, menurut saya bagus-bagus. Seperti apa bagusnya, ada baiknya lihat sendiri, supaya tidak terkesan saya sedang menggurui Anda.
Saya ingin mengatakan, kalau ada pengamat seni rupa yang bersikukuh mengatakan bahwa teknik melukis seniman PSA itu kurang kuat, sebenarnya pengamat itu telah pikun. Mungkin tidak pikun, namun terlampau under estimate, atau sudah sejak di dasar hatinya ia memang seorang yang picik.

Secara teknis, apalagi bila berlomba dalam menggambar realis, beberapa seniman PSA memiliki skill yang mumpuni, presisi yang akurat, dan komposisi warna yang matang. Malah perupa Made Wianta dan Tisna Sanjaya yang berkaliber bagus dalam soal portofolio, ternyata tidak bisa menggambar bentuk secara sempurna. Tapi mengapa Wianta dan Tisna bisa menjadi seniman yang dapat memasuki event internasional?

Jawabannya sudah cukup jelas dan tegas. Yaitu bahwa kesenian dan berkesenian tidak melulu berurusan dengan kesenian. Ada nilai intrinsik dan ekstrinsik dalam kesenian. Ada unsur pragmatis dan filosofis di dalamnya. Bahkan ada keberuntungan, termasuk bagaimana berpolitik dalam dunia kesenian.

Berpolitik yang sesuai dengan hati nurani itu ialah beradu argumentasi, berkelahi gagasan, bertarung teknis, berlomba berempati. Selebihnya adalah berbuat curang.

Dalam soal politik berkesenian, menurut saya, seniman PSA itu kalah tarung. Kalau ada yang mengatakan bahwa seniman PSA itu membuat karya sepertinya gampangan, sebenarnya harus dipertanyakan, gampangan dari sisi apa? Dari prosesnya? Dari Bahannya? Dari waktu yang dihabiskannya? Dari mahal atau murah harganya?

Pada pameran tunggal di Nadi Galeri yang berobjek wayang beberapa tahun lalu, Ugo Untoro mengatakan, saya bukan pelukis yang sabaran, karena itu saya tidak pernah melukis lebih dari satu jam. Kalau hanya melihat dari sisi waktu yang digunakan, jelas pengakuan Ugo itu menyiratkan seorang yang menggampangkan. Tapi Ugo memiliki sisi lain, terutama dalam soal gagasan yang kontekstual.

Jika mencari orisinalitas gagasan dan bentuk yang benar-benar orisinal, tentu akan sulit, sebab seperti kata pepatah, nothing new under sun. Dan kenyataannya, mayoritas seniman kita itu baru pada tahap epigonistik (mengekor) ke Barat, dan belakangan ke China.

Pada saat ini, untuk menakar kekuatan seni rupa (baik karyanya maupun senimannya), tiba-tiba saya sepakat dengan pernyataan Oei Hong Djin, bahwa yang menjadi patron seni rupa sekarang ini ialah pasar dan balai lelang. Adapun pasar terbagi ke dalam dua kata yang dibolak-balik, yaitu “pasar wacana” dan “wacana pasar”. Namun intinya sama-sama jualan. Hanya saja yang satu kemampuannya ditingkat menjual produk, dan yang satu lagi ditingkat menjual gagasan.

Kita semua sepakat, kesenian tidak hanya dinilai dari kesenian itu sendiri, tidak hanya ditakar dari visualisasi atau audisinya belaka, namun juga diperhitungkan tingkat idealisasi senimannya, kematangan gagasannya, dampaknya, dan pendekatannya terhadap kurator serta para pentahbis yang ikut menentukan derajat kesenimanan seseorang. Pendekatan terhadap kurator ini sangat penting, karena sekarang ini, institusi kurator adalah patron kedua yang menentukan derajat karya seni dan kesenimanan seseorang. Patron pertama adalah pemodal yang memperpanjang tangannya melalui balai lelang, galeri, atau para broker. Sayangnya, patron kudua, yaitu sang kurator, seringkali memble di hadapan uang. Akhirnya, kurator hanyalah bajunya, namun mentalnya itu tiada lain ialah art promotor.

Dalam soal pendekatan terhadap kurator, infrastruktur, dan kesungguhan dalam berkesenian, saya melihat PSA memang kalah langkah. Adalah fakta bahwa galeri seni yang ada di PSA baru pada tahap wacana akan mengalami perbaikan. Sudah begitu, tidak ada kurator berwibawa di sana. Infrastruktur lain untuk berkarya dan memamerkan hasilnya, sungguh miskin, sekalipun PT Pembangunan Jaya Ancol uangnya cukup gemuk.

Direktur PT Pembangunan Jaya Ancol, Budi Karya Sumadi berjanji, akan segera membenahi segala kekurangan yang ada di sana, akan mengangkat kurator resmi, akan melakukan seleksi ulang para warga PSA, dan akan menginternasionalisasikan PSA. Hal itu diungkap Budi melalui perbincangan dengan saya seperti dipublikasikan pada Majalah Arti edisi 9.

Dalam kesempatan wawancara itu, saya sebenarnya ingin mengoreksi pernyataan Budi agar melihat realitas bahwa seniman PSA kini mulai diperhitungkan. Hal itu, katanya, bisa dilihat dari beberapa seniman PSA yang memenangkan lomba atau kompetisi, dan dari mulai mahalnya harga lukisan seniman PSA.

Waduh, gawat juga Pak Direktur, kalau Anda mengukur kekuatan karya dari harganya, menakar pengakuan dari menangnya lomba atau kompetisi. Harga bukan jaminan dalam kesenian. Lomba dan kompetisi tidak bisa jadi ukuran mutlak dalam kesenian, dan berbeda sifatnya dengan pencapaian atau achievement. Periksalah, ada berapa jumlah seniman PSA yang sudah mendapatkan achievement baik di tingkat lokal Jakarta atau di tingkat internasional.

Saya ingin menyodorkan pendapat, sebaiknya mengukur kekuatan karya seni dan kesenimanannya, supaya tidak pusing, lebih baik berpaling pada pendapat para begawan dan anjuran berbagai agama, yaitu dilihat dari sisi mental dan keikhlasan senimannya. Kalau hanya melihat teknis, gagasan, dan hargnya, kaliber seniman dan karya seniman Indonesia itu nyaris sama, baik yang di PSA maupun yang bukan: Dijajah seniman dari Barat, dan sekarang dijajah oleh seniman dari China.

Pada 12 Desember lalu, bertempat di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, saya berbincang-bincang dengan Arif Bagus Prasetya, sastrawan yang juga terjun dalam kuratorial seni rupa. Kami sepakat bahwa banyak seniman yang baru lulus secara estetika (teknik), namun gagal dalam menyelami etika (etos) dan logika berkesenian. Hanya segelintir seniman yang berhasil berkesenian secara estetika, etika, dan logika. Pun kurator.

tulisan ini pernah dimuat di almarhum majalah arti

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung