Sunday, October 30, 2011

Peradaban Lawas dalam Kabuki

Teks Doddi Ahmad Fauji

Pertunjukan kabuki disertai arti penjelasan gerakan tariannya di Gedung Kesenian Jakarta, menerangkan sisi beradabnya teater lawas ini.

Nonton kabuki? Wah, itu pertunjukan yang membosankan, menjengkelkan, terlalu lamban. Kesan ini sering dilontarkan oleh mereka yang bukan penggemar tari tradisi. Seni pertunjukan kabuki dari Jepang itu, dalam beberapa adegan tarian, memang terlihat lamban. Saya kira sama lambannya dengan beberapa adegan dalam tari bedhaya dari Jawa.

Pertunjukan teater kabuki dan tari bedhaya sama lawasnya, diciptakan oleh para seniman terdahulu. Tetapi kabuki telah menjadi kesenian kalsik yang ditempatkan menjadi warisan adiluhung bagi warga dunia. Padanya, terdapat sejumlah intangible value yang telah dirumuskan dan diabadikan dalam karya seni. Karena itu, menonton kabuki dianggap sebagai bagian dari belajar kebudayaan yang beradab.

Menyimak teater kabuki bukan sekedar menonton kemeriahan kostum penarinya, atau menikmati tata rias wajah dan seting panggung yang glamour. Menonton kabuki sebenarnya sedang menyimak orang-orang Jepang terdahulu dalam bersikap, sebab pada setiap tata artistik termasuk tata gerak tarian, selalu menyimpan simbol sopan santun masyarakat Jepang.

Pendapat ini saya kemukakan setelah menyaksikan pertunjukan kabuki oleh Kyozo Nakamura dan Matanosuke, keduanya asli asal Jepang dan amat mumpuni sebagai aktor kabuki. Tentulah sedap menonton kabuki dari penuturnya langsung. Pertunjukan itu dihelat di Gedung Kesenian Jakarta pada 10 Februari lalu.

Pertunjukan yang digelar adalah fragmen-fragmen tarian yang menjadi bagian dari pertunjukan teater kabuki. Ada dua tarian yang digelar, yaitu nomor Sagi Musemu dengan durasi sekira 30 menit, dan tarian Sakeye (Jembatan Batu).

Kostum yang mewah dan cara aktor mengganti pakaian di atas panggung secara demonstratif, tampak mengagumkan. Para penonton selalu memberikan aplaus begitu sang aktor berhasil mengganti kostum tanpa terlihat kapan melepas yang lama dan kapan mengenakan yang baru. Ia cukup bersembunyi pada sebuah paying, atau merunduk, dan begitu nampak lagi, kostumnya sudah berganti.

Kabuki disebut kesenian tradisional dengan mutu nilai adiluhung, karena seperti dituturkan di atas, pada setiap elemennya menyimpan simbol-simbol yang berkait dengan nilai-nilai praktis. Juga, gerakan tarian dalam kabuki, mengandung simbol-simbol terkait santunitas dalam bersikap. Penonton yang mengerti simbol-simbol tiap gerakan, akan mengerti jalan cerita yang sedang diusung para penari. Mereka yang tidak mengerti makna tarian kabuki, di Jepang sana pada masa Edo, yaitu masa ketika tarian ini lahir, akan dianggap kurang pendidikan atau kampungan.

Usai menari nomor Sagi Musume, Kyozo Nakamura mendemonstrasikan dan menerangkan arti dari gerakan-gerakan tariannya. Misalnya cara lengan menunjuk pada diri sendiri bagi perempuan. Adalah berbeda cara menunjuk seorang gadis, seorang ibu cukup umur, dengan seorang nenek. Dari perbedaan cara menunjuk itu saja, seorang penonton dapat mengerti tokoh yang sedang dimainkan itu perempuan berusia berapa, dan tentu seperti apa tindakan yang dianggap santun untuk seusiannya.

Pakaian dan rias wajah untuk tiap tokoh juga dibedakan. Dengan demikian, pertunjukan kabuki yang lebih banyak dipresentasikan dalam bentuk tari, bisa dikatakan semacam akumulasi dari gerak pantomim. Di kita, jarang sekali ada penjelasan dari tiap gerakan tarian tardisi apalagi tarian kontemporer, sehingga di negeri kita tarian menjadi kesenian yang sulit dipahami oleh penonton. Tarian hanya sedap untuk ditonton gerakan-gerakannya, tetapi sulit mencerap makna darinya.

Mungkin saja pencipta tarian tradisi di negeri kita hendak menyampaikan makna dan arti pada tiap gerakan yang diciptanya, hanya saja makna dan arti itu tidak pernah dicatat, sehingga lenyap dalam perjalanan waktu. Mungkin saja dalam setiap gerak tari bedhaya itu ada makna tertentu, hanya saja jarang diterangkan baik di sekolah-sekolah atapun di panggung-panggung oleh pemain atau koreografernya. Kelemahan leluhur kita memang jarang mencatat, termasuk mencatatat metode, sehingga kita tidak tahu bagaimana cara membuat candi borobudur.

Beda dengan tradisi di Jepang yang termasuk cukup bagus catatannya. Kabuki bisa dilacak hingga ke pencipta perdananya. Menurut catatan yang mereka miliki, kali pertama kabuki dimainkan pada 1603 oleh Okuni yang bekerja sebagai miko (gadis pelayan) di kuil Shinto Izumi Taisha.

Pada tahap berikutnya, sejak tahun 1962, pemerintah militer melarang wanita mementaskan kabuki seiring dengan perkembangan yang dianggap merusak moral penonton.

Kabuki, bersama seni wayang dari Indonesia dan 42 kesenian lainnya dari pelbagai penjuru dunia, ditetapkan menjadi maestro warisan seni budaya dunia oleh UNESCO sejak 2005. Nah, pantaslah jika demikian adanya.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung