Sunday, October 30, 2011

Tarian Perlawanan Ery Mefry

Koreografer asal Sumatra Barat, Ery Mefry, mencipta tari bernuansa tradisi Minang sebagai pernyataan dan perlawanan.



Teks Doddi Ahmad Fauji



LIMA penari mempertontonkan kebolehannya di panggung Bentara Budaya Jakarta (BBJ) pada 23 Agustus 2007 lalu. Mobilisasi gerak yang mereka peragakan bukan sekadar melenggak-lenggok gemulai nan manis, tapi meriah oleh beragam adegan atraktif seperti jumpalitan, meloncat-loncat, meliuk-liuk bak ular, bertepuk rantak, berjingkrak, menendang, memukul, berpelukan, bahkan bermain musik.

Menari sekaligus bermain musik tentulah bukan sesuatu yang baru di dunia seni pertunjukan, namun hal ini jarang dilakukan. Koreografer Ery Mefri asal Sumatra Barat, belakangan ini tercatat sebagai penggubah tarian sekaligus bermusik di dalam karyanya. Tarian di BBJ malam itu merupakan buah koroegrafinya. Sebelunnya, saya pernah menonton koreografi semodel ini di Gedung Kesenian Jakarta pada 2005 lalu.

Ada dua buah nomor tari yang dihelat, yaitu Ratok Piriang dan Sarikaik Pangka Sangketo. Kedua nomor ini dibingkai dalam Sangketo Piriang dalam Randai. Ditarikan oleh Angga Djamar, Rio Mefri, Gabby Delsa Wahyuni, Intanni Ebi, Maulidya Oktarina.

Unsur musik yang dilahirkan lima penari itu digagas dengan mendayagunakan vokal untung melengkingkan jerit kepedihan. Juga, dengan metode tatalu (menabuh) pada tubuh dan kostum yang mereka pakai. Misalnya, para penari itu memakai rok panjang yang longgar sehingga menyerupai sarung. Ketika kaki mereka dilebarkan, rok yang terbentang di antara paha mereka, ditepuk-tepuk dengan telapak tangan, lahirlah bunyi buk buk yang cukup keras dan resiprokal. Pukulannya dilakukan dengan ketukan bermusik, sehingga terciptalah simponi perkusi.

Sepanjang saya suka menonton tari, karya para koreografer dari Sumatra Barat terlihat memiliki kekhasan yang mentradisi. Vokabulari gerak silat, rantak tari piring, dan nuansa teater randai, seringkali muncul dalam serangkaian gelaran tari mereka.

Para koreografer asal Sumatra Barat yang sekarang sedang menjadi buah tutur di percaturan tari Nusantara semisal Ery Mefri, Boi G Sakti, Hartati, Rasmida, Indrayuda, Erwanto, memang kerap membawa unsur tarian lokal ke dalam tariannya yang bernuansa kontemporer. Sebelumnya, tarian kontemporer Nusantara turut disemarakkan oleh koregografer asal Minang, Huriah Adam dan Gusmiati Suid.

Nomor tarian Ratok Piriang yang dikoreografi Ery, jelas-jelas diberangkatkan dari tradisi tari piring yang khas Minangkabau itu. Menurut Ery, tari ini berada di ambang kepunahan, sehingga penggalian kembali semangat tari piring melalui Ratok Piriang, dilakukan misalnya dengan mengadu-adu piring, dan memukul-mukulnya oleh suatu benda. Suara lirik peraduan piring itu diibaratkan sebagai gambaran tradisi Minang saat ini yang sedang tercabik-cabik.

Adapun nomor Sarikaik Pangka Sangketo hendak menggambarkan bahwa orang-orang Minang mulai individualis dengan menonjolkan kemampuan diri, dan tak peduli terhadap lingkungan, sangat tidak mencerminkan musyawarah. Petaka darinya bisa diterka, lahirlah sengketa. Tarian ini terinspirasi oleh randai, yakni teater rakyat khas Sumatra Barat.

Suguhan Sangketo Piriang dalam Randai memang bukan sekadar menari. Selain memuat unsur musikalitas dalam tarian, juga terkandung semangat perlawanan secara diskursif terhadap dua arah, yaitu melawan seni-budaya Barat yang kian agresif berkampanye lewat beragam pranata komunikasi, dan melawan kealfaan masyarakat yang semakin alfa menggeluti tradisi seni-budaya Minang.

Ketakutan bakal tergesernya tradisi bangsa kita oleh budaya Barat yang sering dituding tidak sesuai dengan norma Pancasila, di satu sisi telah melahirkan sikap naïf dari warga ini, tetapi di lain ruang justru menjadi inspirasi bagi para seniman dan budayawan seperti nampak pada gerak Ery itu.

Polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana yang mengajak elemen bangsa berkiblat ke Barat supaya bisa diterima sebagai warga dunia, yang kemudian ditapis oleh Sanusi Pane, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lainnya yang menyerukan agar warga berkiblat ke Timur terutama Jazirah Arabia dan India, adalah bagian dari dinamika diskurif bangsa kita dalam menyikapi budaya Barat. Bung Karno pernah melarang budaya ngak ngik ngok Koes Ploes yang berepigon kepada Beatles.

Seruan Alisjahbana sepertinya mendekati kemenangan di era globalisasi ini. Maka ketakutan akan ketercerabutan akar tradisi bangsa oleh budaya yang lian, yang sering dituding haram karena terlalu liberalis itu, tak pernah kunjung redup, walaupun juga tidak semakin gencar diedarkan menjadi sebuah gerakan kolektif bangsa ini. Di era demokratis ini, mungkin juga tidak perlu mengambil sikap protektif yang membabi buta untuk melawan sesuatu yang dicap barat yang batil itu.

Hutang gigi dibayar gigi, kata pepatah. Serangan dengan karya seni (oleh Barat) maka sebaiknya dilawan dengan karya seni. Apa yang dilakukan Ery Mefri merupakan perlawanan diskursif dan intelektual, sebagaimana tradisi Sumatra Barat, melahirkan para cerdik-cendekia.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung