Friday, January 25, 2013

Teater Geger Cilegon


Foto Agus Bebeng
Teks Doddi Ahmad Fauji

Pemberontakan petani Banten tahun 1888, diangkat ke dalam pertunjukan oleh Teater Studio Indonesia. Pertunjukan yang membuat bulu kuduk merinding.

Musik etnik Sunda buhun (klasik) mengalun, menandai dimulainya pertunjukan. Perlahan lampu panggung terang, dan terlihatlah kain putih membentang, menutupi seluruh panggung.

Kain itu ditarik perlahan-lahan. Nampaklah kepala beberapa aktor yang tubuhnya terkubur dalam tanah. Juga ada cangkul dan parang yang menancap pada tanah itu. Usai seluruh kain ditarik, mulailah para aktor berakting. Mereka bangkit dari kuburnya, dan berjalan perlahan-lahan layaknya zombie, menuju ke hadapan penonton. Dengan suara yang bergetar, para aktor berujar, “Bicaralah Tanah! Bicaralah cangkul! Bicaralah parang! Bicaralah ladang!”
Foto Iman Nitnet

Pertunjukan ini tidak berlangsung di panggung prosenium gedung pertunjukan. Tapi pada sebuah pekarangan kantor salah satu radio swasta yang ada di Banten. Batas antara penonton dan pemain, ditandai dengan tanah merah dan lumpur basah yang ditaburkan di lantai pekarangan. Di bagian belakang panggung, ada instalasi berupa kerangkeng bambu gelondongan. Para penonton, ada yang duduk di kursi, ada yang duduk lesehan.

Kerangkeng bambu tadi bersifat multi fungsi, sekaligus multi tafsir. Bisa diandaikan sebagai rumah, bukit, atau apapun. Sebagian pertunjukan, berlangsung di kerangkeng bambu ini. Para penabuh musik, ditempatkan di bagian paling atas kerangkeng bambu itu.
Foto Iwan Nitnet

Setelah mengucapkan salam pembuka berupa kalimat  “Bicaralah Tanah! Bicaralah cangkul! Bicaralah parang! Bicaralah ladang!” kini para pemain memasuki suasana ritual. Mereka melaburi tubuhnya dengan lumpur. Muka dan rambutnya juga disapu dengan lumpur, sehingga mereka kini mirip manusia purba yang muncul dari kegelapan. Dengan pakaian compang-camping, mereka menari dan menyanyi. Sambil menenteng parang atau kelewang, mereka berbanjar dan maju perlahan ke depan panggung. Di ujung panggung, parang itu dihunus ke arah penonton, sambil berteriak, “Bicaralah Tanah!”
Foto Iman Nitnet

Seorang penonton, masih bocah balita, menjerit melihat hunusan parang itu, dan lari ke pangkuan ibunya. Perkusi menghentak-hentak, ditalu oleh Rohaendi dan kawan-kawannya, berusaha menghadirkan suasana yang mencekan. Misterius. Seperti tersihir, bulu kuduk saya jadi berdiri.

Itulah sekuel pembuka pertunjukan Bicaralah Tanah (Pemberontakan Petani Banten) yang diusung oleh Teater Studio Indonesia pada 11 – 13 Juli 2007 lalu, di Teater Terbuka Radio Dimensi, Jl. Raya Taktakan No. 12, Kota Serang. Naskah ditulis oleh Nandang Aradea, diangkat dari cerita nyata pemberontakan petani Banten kepada pemerintah kolonial liberal Belanda yang terjadi pada 9 Juli 1888. Pertunjukan sekaligus disutradarai oleh Nandang Aradea.

Kini para aktor berperan sebagai petani. Gemuruh dan amarah, membuncah-buncah di dada mereka. Berlabur lumpur, dengan tampang garang, mereka mendatangi kumpeni (yang diandaikan bermukim di kerangkeng bamu tadi). Seraya mengacung-acungkan parang, para petani berteriak, “Keluar kafir!”
Foto Iman Nitnet

Pemberontakan kemudian berkobar. Perang meletus antara kumpeni versus inlander (kolonialis Belanda melawan pribumi). Darah tumpah. Tubuh rebah.
Foto Argus Firmansyah
Pertunjukan ini berlangsung di Kota Serang yang menjadi Ibukota Provinsi Banten. Daerah Banten, terkenal dengan atraksi debus dan praktik pelbagai ilmu klenik. Nuansa debus itu, disajikan dalam pertunjukan ini.

Mereka yang selalu miris kalau menyaksikan atraski debus, maka menonton pertunjukan teater di Tanah Jawara itu, bisa meringis. Saya sendiri merinding ketika melihat para aktor, menghantam-hantamkan parang dan kelewang ke mata cangkul yang sedang dipanggul oleh rekannya.

Bayangkan seseorang sedang memanggul cangkul. Mata cangkul berada di punggung orang itu. Lalu orang yang ada dibelakangnya, memukuli mata cangkul dengan kelewang atau parang, sementara mereka semua bergerak-gerak menari di atas lumpur. Bila ada pemain yang terpeleset karena lumpur memang becek, bisa saja pukulan parang itu meleset, dan menghantam punggung pemain.

Di adegan lain, seringkali para pemain mengacung-acungkan parang atau kelewang itu ke arah penonton. Saya jadi paranoid. Takut kalau-kalau lengan aktor yang basah oleh lumpur, tidak kokoh saat memegang gagang parang yang licin itu. Bisa saja cengkraman lepas, dan parang terlempar ke arah penonton. Tapi segera saya tersadar, ini pertunjukan berlangsung di Negeri Debus, di mana kekerasan dirayakan sebagai hiburan.

Sekira 100 menit pertunjukan itu menggelinding.
Foto Argus Firmansyah

Menjelang akhir pertunjukan, kaki salah seorang aktor berdarah. Darah beneran. Usai pertunjukan, aktor bernama Budi W Iskandar itu langsung dilarikan ke rumah sakit.

Adanya kecelakaan di atas panggung, bukan mustahil terjadi dalam dunia pertunjukan. Sering saya temui penari yang karena bergerak terlalu atraktif, ia kehilangan keseimbangan, sehingga nyaris terperosok seusai salto. Penyair Hamid Jabbar yang sering membaca puisi dengan tarian atraktif gaya tarian randai Minang, meninggal di podium saat membaca puisi.

Kecelakaan di atas panggung, tentulah tidak diharapkan terjadi. Memang, bukan hanya pita suara yang harus diolah, tubuh juga harus digojlok supaya para aktor memiliki plastisitas tubuh yang bagus. Apalagi konsep pertunjukan yang diusung Nandang Aradea berusaha mengadopsi konsep teater Meyerhold, dramawan dari Rusia yang mencetuskan teater biomekanik.

Melalui buku The art of conscious theater, Meyerhold membayangkan tubuh manusia itu bisa berfungsi seperti mesin yang bekerja tanpa kesalahan. Tapi itu utopia yang gila, sebab mesin saja bisa macet, apalagi tubuh manusia. Maka terjadilah kecelakan seperti yang dialami oleh aktor Budi W Iskandar di malam terakhir pertunjukan.

Pertunjukan Bicaralah Tanah diperankan oleh Farid Ibnu Wahid, Budi W Iskandar, Dian Sucintra, Arip FR, Remaya Simanjuntak, Ina Ayu Agustina, Ade Fitri, dan Iroh Munawaroh. Para aktor yang rata-rata masih mahasiswa itu, belum matang benar untuk bermain dengan konsep Meyerhold.

Bukan hanya kecelakaan yang dialami Budi, yang menjadi indikasi beberapa aktor belum matangan, belum memiliki jam terbang yang tinggi. Pada adegan menari dan menyanyi, yang porsinya mencapai 65% dari durasi pertunjukan, memperlihatkan garapan ini masih harus dipoles keras, diampelas, sehingga menjadi suguhan yang melodius dan ritmis, sebagaimana tarian dan nyanyain purba yang khusyuk, meditatif, dan inspiratif.
Foto Argus Firmansyah

Nandang Aradea, sebagai sutradara, punya bekal untuk menggarap Bicaralah Tanah menjadi lebih memikat. Ia berpengalaman menggarap pertunjukan-pertunjukan beraksen primitif, arkais, lampau, lawas-tilawas. Ia besar di lingkungan pertanian Ciamis. Jadi tubuh masa kecilnya memang akrab dengan lumpur.

Sewaktu kuliah di IKIP Bandung (kini namanya UPI), ia menjadi aktivis teater, dan pernah ikut acting course yang diselenggarakan Studiklub Teater Bandung, yang waktu itu masih dipimpin alm Suyatna Anirun. Tahun 1996, untuk pertamakalinya Nandang menggarap pertunjukan primitif dalam lakon Reportase Ladang-ladang yang naskahnya ditulis Deden Abdul Aziz.

Saya ikut main dalam pertunjukan yang digelar di pekarangan gedung itu. Kebetulan musim penghujan. Jadi, terasa khusyuk bermain teater di bawah siraman gerimis. Lumpur melekat di tubuh. Bergelantungan pada bambu dan tambang yang licin, menjadikan pertunjukan itu sebagai permainan purba. Manusia memang homo ludens (makhluk bermain). Suasana ludens ini yang diulang Nandang pada pertunjukan Perahu (2006) di Universitas Tirtayasa Serang, dan  Bicaralah Tanah.
Foto Iman Nitnet
Sewaktu menjadi guru Bahasa Indonesia di Sekolah Indonesia Moskwa, Rusia, ia juga ternyata mempertontonkan teater yang aktor-aktornya berlabur lumpur. Sekira tiga tahun Nandang bermukim di Rusia, yang semakin mengukuhkannya untuk menggarap teater-teater primitif yang dalam bahasa Meyerhold disebut biomekanik itu.

Lakon Bicaralah Tanah akan dipentaskan lagi pada 3 Agustus 2007 di Pusat Kebudayaan Perancis Bandung, dan 20 Agustus di Pusat Kebudayaan Rusia Jakarta. Seandainya saya berkesempatan lagi menonton, tentu saya berharap petunjukan revans itu akan lebih berkecamuk, dan dapat menggambarkan kedahsyatan pemberontakan petani Banten.

Pemberontakan itu menelan korban ribuan nyawa. Berkobar karena dipicu oleh tiga soal. Pertama, berjangkitnya wabah yang mematikan hewan ternak, terutama kerbau, yang membuat hasil pertanian di Banten jadi jore (jelek). Kedua, pada 27 Agustus 1883, Gunung Krakatau yang berdiri anggun di Selat Sunda, meletus dengan menewaskan puluhan ribu jiwa, membuat pertanian di Banten benar-benar paceklik.
Foto Iwan Nitnet

Ketiga, di tengah kondisi petani yang semakin pailit, sumbu amarah mereka seperti disulut oleh pengutipan pajak yang tidak bijak. Pemerintah kolonialis liberal Hindia Belanda yang bangkrut setelah Perang Jawa (Diponegoro, 1825 – 1830) dan Perang Padri (Imam Bonjol, 1821 – 1837), memang mengutip pajak yang tinggi. Bahkan Gubernur Jenderal Van den Bosch menerapakan konsep cultuur stelsel (tanam paksa), di mana Belanda setiap tahunnya mengeruk kekayaan Nunsatara mencapai 2.5 juta Gulden.
Foto Iwan Nitnet

Memang cultuur stelsel dihapuskan pada 1870, namun pengutipan pajak terus berlanjut, dan tidak mengenal kondisi, termasuk di Banten yang sedang morat-marit.
Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang pada 1811 yang dipimpin Mas Jakaria. Lalu peristiwa Cikande Udik pada 1845, pemberontakan Wakhia pada 1850, peristiwa Usup pada 1851, peristiwa Pungut pada 1862, kasus Kolelet pada 1866, kasus Jayakusuma pada 1868, dan yang paling populer adalah Geger Cilegon yang dipimpin oleh Ki Wasid.

Geger Cilegon terjadi pada 9 Juli 1888. Tragedi ini pernah ditulis dengan bernas oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo, dan dibukukan dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (Pustaka Jaya, 1984). Pemberontakan memang berlangsung di daerah Cilegon. Karena itu, tragedi ini dikenal dengan Geger Cilegon.

Sebelum menulis naskah, Nandang Aradea, mengadakan penelitian selama lima bulan, bekerja sama dengan Konsorsium Pembaharu Banten.
Foto Iwan Nitnet

Sebagai catatan penting, lakon dalam pertunjukan ini semestinya banyak mengutip diksi atau simbol-simbol Geger Cilegon. Bahkan selama pertunjukan berlangsung, saya tidak mendengar diksi populer yang sering diucapkan para kumpeni, yang membikin leluhur kita jadi minder: inlander!

Foto Agus Bebeng

*** Tulisan ini pernah diterbitkan di almarhum Tabloid Koktail (tabloid seni budaya dan folklore yang diterbitkan oleh grup Jurnal Nasional)

1 comment:

  1. KARNA RASA HATI YANG GEMBIRA BERKAT BANTUAN AKI SOLEH
    MAKANYA SENGAJA NAMA BELIAU SAYA CANTUNKAN DI INTERNET !!!

    assalamualaikum wr, wb, saya IBU NUR INTAN saya Mengucapkan banyak2
    Terima kasih kepada: AKI SOLEH
    atas nomor togelnya yang kemarin AKI berikan "4D"
    alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI
    dan berkat bantuan AKI SOLEH saya bisa melunasi semua hutan2…
    orang tua saya yang ada di BANK BRI dan bukan hanya itu AKI alhamdulillah,
    sekarang saya sudah bisa bermodal sedikit untuk mencukupi kebutuhan keluarga saya sehari2.
    Itu semua berkat bantuan AKI SOLEH sekali lagi makasih banyak ya, AKI
    yang ingin merubah nasib
    seperti saya...?
    SILAHKAN GABUNG SAMA AKI SOLEH No; { 082-313-336-747 }

    Sebelum Gabung Sama AKI Baca Duluh Kata2 Yang Dibawah Ini
    Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini...!!
    1: Di kejar2 tagihan hutang..
    2: Selaluh kalah dalam bermain togel
    3: Barang berharga sudah
    terjual buat judi togel..
    4: Sudah kemana2 tapi tidak
    menghasilkan, solusi yang tepat..!
    5: Sudah banyak dukun ditempati minta angka ritual blom dapat juga,
    6: Pelet pemikat hati untuk pria
    7: Pesugihan tanpah tumbal
    8: Dukun santet paling ampuh
    satu jalan menyelesaikan masalah anda..
    Dijamin anda akan berhasil
    silahkan buktikan sendiri
    Atau Chat/Tlpn di WhatsApp (WA)
    No WA Aki : 082313336747

    TERIMA KASIH YANG PUNYA
    ROOM ATAS TUMPANGANYA SALAM KOMPAK SELALU

    "KLIK DISINI BOCORAN TOGEL HARI INI"

    ReplyDelete

tulisan yang nyambung