Saturday, December 15, 2012

Bali Makin Menjadi

Sejumlah pelukis tradisional Bali melakukan pembaruan dalam teknik pewarnaan, hingga lukisannya makin dinamis dan kontekstual. Mereka berpameran di Jakarta.


Sejumlah seniman lukis tradisional-kontemporer dari Bali menggelar pameran di gedung CSIS (Center of Strategic and International Studies), Jalan Tanah Abang III nomor 27, Jakarta Pusat, pada 10 – 18 April 2008 silam. Pameran ini diselenggarakan oleh Kupu Kupu APM (Arts Project Management).

Sekira 120 lukisan tradisional kontemporer Bali, dari aliran Batuan dan Keliki, yang didisplay pada ruang pamer. Lukisan gaya Batuan mengangkat tema kehidupan sehari-hari yang sarat gurau, dibuat di atas kanvas. Sementara lukisan Keliki yang ternama di dunia sebagai lukisan mini (berukuran 5 sampai 20 cm), digubah di atas kertas.

Pameran ini dibingkai dengan tema Pesta Puri. Frase pesta puri diambil oleh penggas sekaligus kurator pameran ini, Agus Dermawan T, untuk menandai kemeriahan pameran yang ibarat sedang menggelar festival puri (istana raja-raja Bali) melalui lukisan. Memang, lukisan yang sedang dipamerkan itu umumnya banyak menggambarkan puri.

Mereka yang berpameran adalah Ketut Sadia | Wayan Diana | Ketut Sudila | Ida Bagus Made Padma | Ida Bagus Putu Panda | Wayan Ketig | Made Kicen | Dewa Kompyang Pasek | Ida Bagus Made Mergeg | Ketut Manggi.

Lukisan Bali yang sedang dipamerkan itu dikatakan tradisional-kontemporer. Tradisional karena secara corak, para pelukis masih mempertahankan gaya lukisan tradisional Bali yang khas. Kontemporer, karena kemasan yang disajikan kontekstual dengan wacana seni rupa terkini.

Ciri lukisan tradisional Bali dapat dikenali dari beberapa hal. Pertama, metode melukisnya meminjam teknik fotografi, di mana lukisan itu menggambarkan suasana lansekap atau potret teater kehidupan masyarakat Bali. Kedua, kanvas yang dilukisnya selalu dipenuhi dengan dekorasi, sehingga tidak ada ruang kosong yang disisakan. Ketiga, objek-objek yang digambarnya tidak murni bercorak realis-naturalis. Keempat, pewarnaannya cenderung monokrom hitam-putih. Jikapun ada penambahan warna, paling banter warna biru dongker atau cokelat tua.

Tetapi para pelukis Bali tidak mandek. Mereka bergaul dan menerima pengaruh yang positif, sehingga lukisannya mendapatkan sentuhan akibat dari pergaulan itu, terutama sekali tampak pada teknik perwarnaan dan penggunaan medium. Dulu, lukisan tradisional Bali cenderung hanya menggunakan mangsi dan pinsil untuk mewarnai lukisannya. Mangsi warnanya hitam, jadi lukisannya mereka cenderung monkrom hitam putih, ada warna lain tapi paling-paling warna abu-abu yang timbul akibat dar teknik gradasi hitam-putih.

Kini beberapa pelukis menggunakan cat dari akrilik dengan warna yang lebih variarif. Namun meski merambah bahan dan warna, corak utamanya tetap dipertahankan sesuai dengan teknik yang mereka pelajari. Alhasil, lukisan tradisional-kontemporer Bali tetap terlihat meditatif seperti lukisan terdulu yang misalnya digubah oleh I Nyoman Lempad.

Saya melihat kontekstualitas pameran lukisan ini dengan semngat nation character building seperti yang sering didengungkan oleh Bung Karno. Lukisan tradisional Bali itulah salah satu karakter bangsa. Adalah lukisan tradisional Bali yang dikoleksi oleh berbagai pecinta seni di dunia. Juga hanya lukisan tradisional Bali yang benar-benar hasil budidaya sendiri, yang bukan hasil jiplakan dari luar. Di daerah lain seperti di Papua atau Kalimantan, tentu ada lukisan yang lahir dari local genuine, sayangnya kurang terekspos.

Pameran ini adalah bagian dari pemetaan yang dilakukan oleh Agus Dermawan T atas fenomena seni lukis tradisional Bali yang telah mengalami transformasi akibat pergaulan estetik secara global, hingga beberapa aliran seni lukis “tradisional” Bali itu mengalami modernisasi atau kontemporerisasi. Untuk itu, bagaimanapun, usaha yang dilakukan ADT ini perlu mendapat apresiasi.

Saya membayangkan suatu hari, ada ahli transformasi seni visual yang bersedia datang ke Jelekong, Kabupaten Bandung, atau ke tempat-tempat lain yang menjadi sentra produksi lukisan. Lalu berdialog dengan paran seniman di sana, dan terciptalah suatu usaha pembaruan estetika mencakup seluruh pengertian estetik, hingga lukisan model Jelekong mengalami pembaruan di berbagai unsur.

Teknik melukis Bali, kita tahu sangat rumit. Satu lukisan dikerjakan bisa lebih dari dua bulan. Rumit benar tekniknya, apalagi lukisan dari Keliki yang kecil-kecil itu. Bahkan untuk melihatnya dengan jernih, kita membutuhkan lensa pembesar, padahal pelukisnya tidak menggunakan lensa pembesar saat menggubahnya.

Teknik lukisan tradisional Bali memang rumit. Bahkan bagi saya, untuk menghapal nama-nama seniman Bali saja, terus terang kesulitan karena adanya kesamaan nama setiap anak ke-1, ke2, ke-3, ke-4. Anak pertama, atau si sulung, biasanya diberi nama awal Wayan/Ketut/Gde, semacam ngabehi [(anak pertama] dalam tradisi bangsawan Jawa. Anak kedua selalu diberi nama awal Made, anak ketiga Nyoman, dan anak keempat Ketut.

Betapa banyak seniman Bali yang bernama awal Wayan, Made, Nyoman, atau Ketut. Pada pameran ini misalnya, ada nama I Ketut Sudila yang bisa terbalik dengan I Ketut Sadia. Lalu ada I Ketut Kaja| I Ketut Manggi| Ida Bagus Ketut Panda| I Ketut Sana| I Ketut Priksa.

Seniman Bali memang liyan, yang tradisional maupun yang kontemporer, selalu hadir eksotik dan mencengangkan.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung