Wednesday, December 19, 2012

Pancaroba

Membangun daya apreasiasi masyarakat terhadap karya seni adalah tugas utama lagi berat.

Angin peralihan seringkali menimbulkan kondisi harut-marut akibat bermunculannya virus dan bakteri yang menyusup ke pelbagai aras perdaban manusia. Di era reformasi ini, angin peralihan berkesiur lebih kencang, meniupkan bau kekacauan yang lebih moyak.  Pelbagai tatanan yang sudah mapan, digempur dan digerus hingga berantakan.

Kondisi semerawut itu pula yang terjadi pada wacana seni rupa di Nusantara. Mungkin karena di ranah utama peradaban, yaitu politik, hukum, dan ekonomi sedang babak belur, pemerintah nampak tidak memiliki strategi dan perncanaan untuk memulas wajah seni rupa di masa hadapan. Kelihatannya, yang penting asal ada aktivitas seni rupa, selesai sudah tugas pemerintah. Sampai tahun 2007 ini, gelagat angkat tangan itu masih kentara.

Mengapa wajah seni rupa di masa hadapan, apakah akan nampak cantik mulus, atau buruk penuh bercak, sangat bergantung pada lengan pemerintah, tanpa menihilkan usaha swasta, karena semua kerja akan dihadapkan pada regulasi dan kemampuan mambangun infrastruktur. Karya seni rupa adalah benda luxurious yang aduhai, butuh biaya yang bukan sembarangan untuk menatanya.

Tugas berat dan paling utama saat ini sebenarnya bukanlah mengadakan museum atau galeri seni rupa yang wah seperti dimiliki negara-negara maju, dan belakangan diusahakan habis-habisan oleh Jepang dan China, atau menyelenggarakan berbagai biennale dan triennale yang prestisius, melainkan bagaimana memacu masyarakat memiliki apresiasi yang bagus terhadapnya.
Adalah mubajir dana besar digelontorkan jika masyarakat tidak bisa dibedol untuk mengunjunginya. Sungguh menyedihkan, Galeri Nasional dan Museum Nasional yang berdiri menyepi di seputar lingkar Monas, Nampak sedikit pengunjung.

Daya apresiasi itulah yang memang lemah gairahnya dari bangsa ini. Seluruh lahan kesenian, kecuali pop art, sunyi pengapresasi. Masyarakat dan pemerintah sama saja, minor apresiasi. Berapa banyak sih pejabat yang bersedia hadir pada pembukaan pameran lukisan di Galeri nasional, atau pertunjukan teater di TIM?

Masih lemah apresiasi barangkali bisa dimaklumi, sebab memikirkan kebutuhan primer saja masih morat-marit. Yang paling parah ialah memandang karya kesenian dengan pikiran yang picik. Kepicikan muncul karena suwung daya apreasi.

Bersyukurlah pada tahun 2007 ini tidak terjadi pemberangusan terhadap karya seni. Tahun 2006 lalu, sejumlah masyarakat dengan mengatasnamakan agama, memerotes dengan keras dan meminta karya Agus Suwage yang dianggap porno dan menghina agama, diturunkan dari CP Open Biennale II yang diskondani Jim Supangkat. Hal serupa terjadi pada pameran patung Dadang Christanto di Bentara Budaya Jakarta beberapa tahun sebelumnya, dan instalasi karya Tisna Sanjaya dianggap ‘sampah’ saat dipamerkan di Babakan Siliwangi Bandung.

Entah bagaimana harus membangun daya apreasiasi masyarakat terhadap karya seni ini. Pemerintah tidak boleh fatalistik dan apatis.

Dalam pada itu, dunia seni rupa sedang bergulir liar mengikuti angin perubahan yang berhembus dari peradaban Eropa dan Amerika. Pelbagai virus dan bakteri sedang menyusup ke dalam pikiran kita, membuat eksponen bangsa jadi pengekor paling taat, penjiplak paling akurat, dan pembajak paling mumpuni.

Salah satu ajang yang dapat meningkatkan apresiasi memang dilakukannya festival sebanyak mungkin. Pameran sejenis biennale  atau triennial adalah bagian kecil dari festival. Melalui festival, kita dapat mengukur kemajuan atau kemunduran peradaban. Bangsa yang besar dengan wilayah dan jumlah penduduk ini, ternyata tidak memiliki festival bernama biennial atau triennial dalam sekala nasional. Galeri Nasional Indonesia atau Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, hingga 2007 ini, belum tergerak untuk menyelenggarakan festival bergengsi itu. Kapan?

Memang sudah ada Biennale Jakarta, tapi akhir-akhir ini berjalan tersendat-sendat, bahkan menimbulkan perdebatan yang tidak substansial. Barangkali sudah benar di era otonomi daerah ini festival bergengsi itu biarlah dilaksanakan oleh daerah-darah seperti Yogyakarta yang mengadakan biennale 2007 mulai 28 Desember hingga 28 Januari 2008. Seniman Bali harusnya menggelar Biennale 2007 melanjutkan Biennale 2005 yang sudah dilaksanakan.
Seniman Bandung, Padang, Malang, Surabaya, sudah saatnya bergerak dengan melupakan Jakarta. Toh Jakarta ini diciptakan supaya ‘neraka’ ada contohnya.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung