
GNOTHI SEAUTON, begitulah Socrates pernah berujar sebelum ia menenggak racun. Diindonesiakan mengandung arti seperti ini: Kenalilah dirimu!
Klausa itu cukup terkenal. Sebermula tertulis dalam mitologi Yunani yang berkisah tentang Phemonoe, yaitu putri dari Dewa Apollo. Phemonoe adalah penemu hexameter, sejenis metre puisi. Aku juga tidak tahu seperti apa jenis puisi ini. Belum pernah bersentuhan dalam referensi. Dalam beberapa studi, klausa itu untuk kali pertama ditemukan terpahat pada muka pintu Kuil Apollo di Delphi, Yunani.
Tapi dari Sokrates saya mengenal frase itu, mungkin karena saya kurang membaca referensi sejarah. Sokrates mengucapkannya dengan sangat heorik, beberapa jenak menjelang mereguk racun sebagi bentuk hukuman yang harus dijalaninya sebab ia telah menentang yudifikasi kota Athena yang dihakimi oleh sekira 6.000 hakim.
Sokrates sebenarnya bisa melarikan diri, jika mau, dan sahabatnya seperti Krito, Ion, Plato, akan bisa membantu menyogok sipir. Tapi Sokrates enggan melakukan itu. Jika meloloskan diri, artinya takut pada hukuman. Artinya juga, sama dengan mengkhianti perjuangan dalam menegakkan keadilan dan hukum.
Banyak hakim dan rakyat Athena menyesal telah menjatuhkan hukuman kepada filsuf itu. Mereka mengira, gertak sambal akan membuat Socrates luluh dan lunak. Ternyata tidak. Kematian Socrates dikenang sebagai tragedi kemanusiaan akibat mempermainkan hukum.
Kenalilah dirimu, katanya, sebelum ia mangkat. Dan sekarang, aku sedang berjuang mengenali siapakah diri ini. Seseorang lahir, sebagaimana juga diriku, tanpa pernah dipesan. Kita tidak pernah memesan kehidupan ini. Ia datang, lalu dalam beberapa fragmen, seperti mempermainkanku. Dan larik dari Acep Zamzam Noor, penyair asal Tasikmalaya, terasa mewakili pikiranku: hidup telah kupermainkan sebagaimana kehidupan telah mempermainkanku.
Tentu saja kurang valid kalau menilai diri sendiri. Dibilang narsis pula. Tetapi di ruang maya ini, aku akan ngomong saja soal diriku, dan I don,t care with another self. Toh aku ini bukan seorang populis. Karena itu, tulisan ini mungkin tidak ada yang membaca. Kupasrahkan pada kesunyian dan kehampaan yang menjadi pembaca setia tulisan-tulisanku.
Oh kesunyianku yang budiman,,, tahukah Kamu kalo aku ini ternyata orang yang mudah terharu? Aku terharu melihat sebuah pencapaian. Air mataku ikut menitik ketika Susi Susanti menerima Piala dalam Olimpiade di Seoul, bener ya di Seoul? Tapi waktu air mata Susi menitik di pipinya, sebenarnya bukan hanya saya yang menangis. Saya kira jutaan Orang Indonesia yang menyaksikan hal itu ikut berurai air mata. Sebab detik itu adalah momentum kebahagiaan yang patut ditangisi.
Aku juga terharu membaca puisi ekapistik yang berlarat-larat, seperti suara ricik hujan yang jatuh di dedaunan. Aku terharu menonton orang Papua dan Orang Aceh menari di Taman Mini. Dan tak mengapa jika ada yang mengatakan aku ini sentimentil: Sebab menonton tari tradisi kok bisa-bisanya menangis.
Klausa itu cukup terkenal. Sebermula tertulis dalam mitologi Yunani yang berkisah tentang Phemonoe, yaitu putri dari Dewa Apollo. Phemonoe adalah penemu hexameter, sejenis metre puisi. Aku juga tidak tahu seperti apa jenis puisi ini. Belum pernah bersentuhan dalam referensi. Dalam beberapa studi, klausa itu untuk kali pertama ditemukan terpahat pada muka pintu Kuil Apollo di Delphi, Yunani.
Tapi dari Sokrates saya mengenal frase itu, mungkin karena saya kurang membaca referensi sejarah. Sokrates mengucapkannya dengan sangat heorik, beberapa jenak menjelang mereguk racun sebagi bentuk hukuman yang harus dijalaninya sebab ia telah menentang yudifikasi kota Athena yang dihakimi oleh sekira 6.000 hakim.
Sokrates sebenarnya bisa melarikan diri, jika mau, dan sahabatnya seperti Krito, Ion, Plato, akan bisa membantu menyogok sipir. Tapi Sokrates enggan melakukan itu. Jika meloloskan diri, artinya takut pada hukuman. Artinya juga, sama dengan mengkhianti perjuangan dalam menegakkan keadilan dan hukum.
Banyak hakim dan rakyat Athena menyesal telah menjatuhkan hukuman kepada filsuf itu. Mereka mengira, gertak sambal akan membuat Socrates luluh dan lunak. Ternyata tidak. Kematian Socrates dikenang sebagai tragedi kemanusiaan akibat mempermainkan hukum.
Kenalilah dirimu, katanya, sebelum ia mangkat. Dan sekarang, aku sedang berjuang mengenali siapakah diri ini. Seseorang lahir, sebagaimana juga diriku, tanpa pernah dipesan. Kita tidak pernah memesan kehidupan ini. Ia datang, lalu dalam beberapa fragmen, seperti mempermainkanku. Dan larik dari Acep Zamzam Noor, penyair asal Tasikmalaya, terasa mewakili pikiranku: hidup telah kupermainkan sebagaimana kehidupan telah mempermainkanku.
Tentu saja kurang valid kalau menilai diri sendiri. Dibilang narsis pula. Tetapi di ruang maya ini, aku akan ngomong saja soal diriku, dan I don,t care with another self. Toh aku ini bukan seorang populis. Karena itu, tulisan ini mungkin tidak ada yang membaca. Kupasrahkan pada kesunyian dan kehampaan yang menjadi pembaca setia tulisan-tulisanku.
Oh kesunyianku yang budiman,,, tahukah Kamu kalo aku ini ternyata orang yang mudah terharu? Aku terharu melihat sebuah pencapaian. Air mataku ikut menitik ketika Susi Susanti menerima Piala dalam Olimpiade di Seoul, bener ya di Seoul? Tapi waktu air mata Susi menitik di pipinya, sebenarnya bukan hanya saya yang menangis. Saya kira jutaan Orang Indonesia yang menyaksikan hal itu ikut berurai air mata. Sebab detik itu adalah momentum kebahagiaan yang patut ditangisi.
Aku juga terharu membaca puisi ekapistik yang berlarat-larat, seperti suara ricik hujan yang jatuh di dedaunan. Aku terharu menonton orang Papua dan Orang Aceh menari di Taman Mini. Dan tak mengapa jika ada yang mengatakan aku ini sentimentil: Sebab menonton tari tradisi kok bisa-bisanya menangis.
Soal titik air mata, tidak seluruhnya identik dengan sentimentalia. Nabi Muhammad juga menitikkan air mata ketika anaknya wafat (ini lebih dari sekedar manusia). Putu Wijaya dalam salah satu naskahnya pernah berkata jujur: tidak selamanya menangis itu berarti cengeng. Bahkan Aristoteles mengutarakan, drama yang bisa mendatangkan katarsis ialah yang brejenis tragedi, yang dekat dengan air mata.
Aku memang mudah terharu, sentimentil, terlalu sensitif, gampang terpesona, dan itu diucapkan oleh beberapa orang. Tetapi sekarang aku sedang belajar menyeleksi keterharuan, otau orang bilang, menata perasaan, memenej qolbu kata orang Daarut Tauhid. (Bersambung).
No comments:
Post a Comment