Thursday, May 17, 2007

Mata Air



BULAN September tahun 1995, aku menekur di tepi Sungai Angsa, Ausy menyebutnya Swan River. Sebatang sungai dengan perut yang lebar di pinggir kota, membuat saya terpana, walau sebenarnya saya sudah pernah melihat sungai yang lebih lebar dari Swan River, yang semula saya kira sebuah laut, yaitu buntut Sungai Barito sebelum bermuara ke Laut Jawa. Kala itu saya dan teman-teman dari beberapa suku Nusantara, berperahu di ujung Barito, pesiar di keleluasaan. Seperti apakah keleluasaan itu?
Menekur di tepi Swan River, aku bertemu dengan keleluasaan itu. Betapa menyenangkan, pada udara yang sejuk dan teduh –sebenarnya lebih tepat disebut udara yang dingin dan menampar-nampar dengan anginnya yang kencang, membawa sisa salju dari Queensland— aku melihat sungai yang dingin dan bening, jernih dan bersih, namun terasa angkuh.
“Ini sudah tercemar,” kata seorang penduduk!
Sungai sebening itu, masih disebut sudah tercemar? Seperti apa misalkan ia masih suci, baru dikirim dari tanah?

Bersyukurlah aku pernah melihat sungai yang jernih membelah kota. Bersyukur aku juga pernah melihat kanal sepanjang 72 KM, melingkar, mengepung sebuah kota. Bersyukur aku masih bisa menikmati mata air yang memancar dari tanah, merasakan dan mendengarkan suara ricik air yang menitis dari akar. Aku masih bisa menikmatinya, karena mata air itu berada di Cimincul, Desa Pasanggarahan, Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang.
Di antara air jernih itu, aku ingin kembali duduk dalam sikap semedi, dan merasakan alam bernyanyi, mendengarkan getaran yang jauh dari deru mesin pembangunan. Kita akan ke sana, ke Cimincul!

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung