Monday, April 11, 2011

Tetet Cahyati: Puisi Jadi Lukisan, Lalu Jadi Batik

salah satu corak batik Tetet Cahyati
Tetet C. Popo Iskandar merambah berbagai bidang kesenian. Puisi, novel, musik, lukisan, hingga menggubah batik kontemporer, jadi medium jelajah kreativitasnya.
TEKS DODDI AHMAD FAUJI | FOTO DOK. PRI

Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Rabu, 3 Febaruari 2010, pukul 20.30 WIB, Teteh C. Popo Iskandar menerima penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai Seniwati Multi Media Terhadap Satu Tema. Pemberian penghargaan dipimpin langsung oleh Jaya Suprana selaku pendiri MURI. Tahun ini, MURI genap berusia 20 tahun.

Seniwati bernama asli Tetet Cahyati itu, bukanlah mateor. Namanya tidak pernah melesat. jit menulis puisi. Lalu puisi itu ditransformasi ke dalam media lain, yaitu menjadi lagu dan menjadi lukisan. Transformasi puisi menjadi lagu kini makin memasyarakat dengan istilah musikalisasi puisi. Bahkan kini telah terbentuk Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (Kompi), dan Tetet menjadi salah satu pengurus Kompi. Tetet sudah melahirkan satu kaset musikalisasi puisi yang diberi juluk “Nyanyian Anak Pertiwi”, yang dinyanyikan bersama Sita dan Ari Malibu.

Transformasi puisi menjadi lukisan, sering disebut dengan istilah visualisasi puisi, tapi aktivitas transformasi puisi jadi lukisan ini kurang populer karena memang jarang seniman rupa yang memvisualisasikan puisi. Yang pernah popular malah istilah puisi kongkret atau puisi benda-benda, yakni menggubah puisi tidak dengan kata-kata, tapi dengan imej (gambar) seperti yang dilakukan Gendut Riyanto, Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, dan lainnya.

Tetet bukan hanya melakukan visualisasi puisi menjadi lukisan, tapi memindahkan corak lukisan hasil dari visualisasi puisi itu ke dalam karya seni batik. Inilah yang dimaksud Jaya Suprana sebagai senimawati multi media dengan satu tema: dari puisi jadi lukisan, dan dari lukisan digubah jadi batik.

“Semuanya itu mengalir saja. Idenya datang tiba-tiba. Lalu saya coba tuangkan. Saya pikir, di era ekonomi kreatif ini, kita harus benar-benar membuka ruang kreativitas. Yang namanya kreativitas itu bukanlah pengulangan, kalau pengulangan namanya produktivitas. Kreativitas itu harus berusaha menghadirkan karya alternatif yang mengandung nilai inovasi,” kata seniwati kelhiran Bandung, 1963, itu seusai menerima piagam penghargaan MURI.

Darah kesenian Tetet terbentuk dari lingkungan keluarga. Ayahnya, almarhum Popo Iskandar, adalah pelukis ternama yang melukis melukis sedari muda dan disempurnakan dengan studi seni lukis di ITB, dibawah bimbingan dosen asal Belanda, Ries Mulder. Popo bukan hanya dikenal sebagai pelukis, tapi cum penulis esai budaya di beberapa media massa, dosen seni rupa, dan anggota Akademi Jakarta. Popo adalah budayawan cum akademisi.
Jejak Popo itu bukan hanya diikuti oleh Tetet, tapi lebih diperluas lagi jelajahnya. Popo tidak memusikalisasi puisi, tidak menulis novel, dan tidak membatik. Tetet menulis puisi, menggubah novel, dan tentu melukis. Belakangan, selain mulai dikenal sebagai pebatik, Tetet juga mulai diperhitungkan sebagai akademisi. Sebagai doktor bidang pemasaran karya seni, ia mengajar di beberapa perguruan tinggi, dan mulai diminta jadi pembicara pada diskusi atau seminar.

“Kalau melukis, menulis, dan menyanyi, itu sudah hobby saya dari kecil. Tapi kalau membatik secara sungguh-sungguh, sebenarnya baru saya lakukan dalam dua tahun terakhir ini,” kata Pendiri Sanggar Seni Tirtasari ini.

Mengenakan batik gubahannya, di restaurant China, Tetet berkisah mengapa ia membantik. Menurut Tetet, Bandung itu tercatat sebagai salah satu kota budaya dan kota mode, tapi tidak tercatat sebagai kota batik (batik tradisional). Bukan berarti di Bandung tidak ada pebatik. Tapi untuk produksi batik corak tradisional Sunda, karya pebatik di Bandung tersalip oleh pebatik dari Garut, Tasik, atau Cirebon. Tetet ingin tampil dengan batik kontemporer yang bila buat jadi fesyen, akan lebih fashionable untuk era sekarang.

“Seniman Bandung kan dikenal sebagai seniman kontemporer dan kosmopolit. Jadi saya saya membuat corak batik kontemporer, karena yang corak tradisional sudah banyak yang menggeluti.”

No comments:

Post a Comment