PERUPA Minangkabau (Sumatra Barat) se-Indonesia menggelar pameran seni rupa di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jl Medan Merdeka Timur 14, Jakarta Pusat, pada 3-12 Juni lalu.
Dengan dibungkus tema Mempertimbangkan tradisi, pameran ini menjadi refleksi adat atau budaya masyarakat Minang yang terkenal sebagai perantau.Sejumlah 118 karya dari 111 perupa, ikut mewarnai pameran yang dikuratori Mamannoor.
Berbagai corak dan tema karya, menghiasi ruang pamer tersebut.Tak pelak, dinding GNI penuh oleh karya yang memang berdesak-desakan itu, jumlahnya memang banyak, seakan tidak memberi ruang kontemplatif bagi pengunjung.
Ada banyak catatan dari pameran ini yang bisa dikemukakan. Pertama, arus mainstream atau 'pusat' kemajuan peradaban akan memengaruhi atau menggilas sebuah tradisi lokal secara besar-besaran akibat pertarungan hegemoni.Kenyataan ini terlihat dalam karya-karya urang awak itu yang mendalami seni rupa akademik, terutama di dua perguruan besar seni rupa, yaitu ITB dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Nama-nama perupa seperti Rizal Mantovani, Handiwirman, Yusra Martanus, Yunizar, yang karyanya ikut dipamerkan kini, sangat riuh dengan karya kontemporer yang sedang menjadi demam di ISI Yogya, ITB, dan perguruan tinggi seni rupa lainnya di Indonesia.
Setelah membaca biodata perupa, lebih dari 60% perupa yang kini ikut berpameran itu lulusan atau sedang menempuh studi di ISI Yogya. Dua orang dari ITB. Pengaruh pergaulan estetik di ISI dan ITB ini mewarnai mereka dan bukan mereka mewarnai kedua perguruan tinggi itu. Maka benar adanya, pusat cenderung menggilas yang bukan pusat.
Kedua, globalisasi atau internasionalisasi juga sedang terjadi di kalangan perupa secara khusus dan di kalangan seniman aliran lainnya. Kemenangan negara-negara modern dalam menanamkan pengaruhnya yang ditunjang oleh berbagai alat komunikasi supercanggih, membuat perupa Indonesia berkiblat ke negara-negara maju. Semangat kontemporerisme yang dicirikan dengan karya-karya representasional, yang sedang digeluti seniman negara-negara maju, seperti menjadi pedoman bagi seni rupawan Indonesia untuk juga melangkah ke jalan yang sedang dipijak seniman internasional itu.
Budayawan Yasraf Amir Piliang, yang lulusan ITB dan kini menjadi dosen di almamaternya, yang merupakan putra Minang, dalam kata pengantarnya pada katalog pameran membenarkan globalisasi menciptakan suasana interconnectedness (kesalingterhubungan) dan interdependence (kesalingbergantungan) di berbagai tempat.
Akibatnya, menciptakan suasana saling pengaruh yang kompleks. Tetapi, pada kasus Indonesia, peradaban luar itu seakan menjadi paling sahih, paling luar biasa.Sehingga, katakanlah, kita hanya menerima pengaruh mereka dan kita tidak bisa memengaruhi mereka. Pada kasus seni rupa, seniman kita lebih banyak mengimpor corak dan teori, dan mungkin tidak pernah berhasil mengekspor corak dan teori.
Catatan ketiga, orang Minang yang bertradisi merantau secara geografis, memiliki filsafat di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Tradisi inilah yang memungkinkan orang rantau itu dengan mudah beradaptasi pada sosial kultur di tempat menetap baru mereka.Filsafat bumi dipijak langit dijunjung itu mengandung sinyalemen mereka siap meninggalkan akar tradisinya untuk melebur dengan tradisi masyarakat lain.
Kondisi ini terlihat juga pada pameran yang penyelenggaraannya didukung oleh Galeri Sarah (Padang), Gebuminang (Jakarta), Sakato (Yogyakarta), dan GNI Jakarta.Kalau kita percaya pada ramalan Naisbit pada buku gelombang ketiganya, sesungguhnya locall genius akan menjadi kekuatan bagi orang Asia, termasuk Indonesia.
Artinya, perlambang bagi subkultur di Indonesia akan muncul ke permukaan internasional sebagai new world atau new wave. Hal ini yang seharusnya disadari dan dijadikan patokan dalam pameran yang bertajuk Mempertimbangkan Tradisi.
Pameran seni rupa Minangkabau ini baru tampak sebatas 'mengabsen' atau memetakan corak dan isme perupa putra Minang. Sehingga, empat subtema yang digarisbawahi oleh kurator Mamannoor terlihat lebih sebagai siasat untuk menampung perbedaan corak.
Keempat subtema itu Tradisi alam dan masyarakat Minangkabau, tradisi keagamaan dan spiritualitas religius, tradisi dan perubahan, serta tradisi kemasakinian.Mamannoor tidak membaca mainstream dari budaya Minang dengan spirit orang Minang. Dalam pada itu, kita juga bisa bertanya, adakah spirit orang Minang dalam seni rupa? Pertanyaan ini perlu direnungkan siapa tahu apa yang diramalkan Naisbit itu akan benar adanya. Alangkah ironis, bahkan mungkin tragis, ketika orang luar justru menengok tradisi subkultur Indonesia, malah seniman Minang ramai-ramai meninggalkan local genius-nya.
Harus diakui orang Minang ini memberi pengaruh besar di Indonesia. Terdapatnya rumah makan padang di seluruh kawasan Indonesia atau munculnya tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, Agus Salim, Syahrir, M Natsir, Buya HAMKA, hingga Zaini dan Nashar, menegaskan orang Minang memiliki tradisi intelektualitas yang kuat. * Doddi AF/B-5
Media Indonesia, Senin, 14 Juni 2004.
Dengan dibungkus tema Mempertimbangkan tradisi, pameran ini menjadi refleksi adat atau budaya masyarakat Minang yang terkenal sebagai perantau.Sejumlah 118 karya dari 111 perupa, ikut mewarnai pameran yang dikuratori Mamannoor.
Berbagai corak dan tema karya, menghiasi ruang pamer tersebut.Tak pelak, dinding GNI penuh oleh karya yang memang berdesak-desakan itu, jumlahnya memang banyak, seakan tidak memberi ruang kontemplatif bagi pengunjung.
Ada banyak catatan dari pameran ini yang bisa dikemukakan. Pertama, arus mainstream atau 'pusat' kemajuan peradaban akan memengaruhi atau menggilas sebuah tradisi lokal secara besar-besaran akibat pertarungan hegemoni.Kenyataan ini terlihat dalam karya-karya urang awak itu yang mendalami seni rupa akademik, terutama di dua perguruan besar seni rupa, yaitu ITB dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Nama-nama perupa seperti Rizal Mantovani, Handiwirman, Yusra Martanus, Yunizar, yang karyanya ikut dipamerkan kini, sangat riuh dengan karya kontemporer yang sedang menjadi demam di ISI Yogya, ITB, dan perguruan tinggi seni rupa lainnya di Indonesia.
Setelah membaca biodata perupa, lebih dari 60% perupa yang kini ikut berpameran itu lulusan atau sedang menempuh studi di ISI Yogya. Dua orang dari ITB. Pengaruh pergaulan estetik di ISI dan ITB ini mewarnai mereka dan bukan mereka mewarnai kedua perguruan tinggi itu. Maka benar adanya, pusat cenderung menggilas yang bukan pusat.
Kedua, globalisasi atau internasionalisasi juga sedang terjadi di kalangan perupa secara khusus dan di kalangan seniman aliran lainnya. Kemenangan negara-negara modern dalam menanamkan pengaruhnya yang ditunjang oleh berbagai alat komunikasi supercanggih, membuat perupa Indonesia berkiblat ke negara-negara maju. Semangat kontemporerisme yang dicirikan dengan karya-karya representasional, yang sedang digeluti seniman negara-negara maju, seperti menjadi pedoman bagi seni rupawan Indonesia untuk juga melangkah ke jalan yang sedang dipijak seniman internasional itu.
Budayawan Yasraf Amir Piliang, yang lulusan ITB dan kini menjadi dosen di almamaternya, yang merupakan putra Minang, dalam kata pengantarnya pada katalog pameran membenarkan globalisasi menciptakan suasana interconnectedness (kesalingterhubungan) dan interdependence (kesalingbergantungan) di berbagai tempat.
Akibatnya, menciptakan suasana saling pengaruh yang kompleks. Tetapi, pada kasus Indonesia, peradaban luar itu seakan menjadi paling sahih, paling luar biasa.Sehingga, katakanlah, kita hanya menerima pengaruh mereka dan kita tidak bisa memengaruhi mereka. Pada kasus seni rupa, seniman kita lebih banyak mengimpor corak dan teori, dan mungkin tidak pernah berhasil mengekspor corak dan teori.
Catatan ketiga, orang Minang yang bertradisi merantau secara geografis, memiliki filsafat di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Tradisi inilah yang memungkinkan orang rantau itu dengan mudah beradaptasi pada sosial kultur di tempat menetap baru mereka.Filsafat bumi dipijak langit dijunjung itu mengandung sinyalemen mereka siap meninggalkan akar tradisinya untuk melebur dengan tradisi masyarakat lain.
Kondisi ini terlihat juga pada pameran yang penyelenggaraannya didukung oleh Galeri Sarah (Padang), Gebuminang (Jakarta), Sakato (Yogyakarta), dan GNI Jakarta.Kalau kita percaya pada ramalan Naisbit pada buku gelombang ketiganya, sesungguhnya locall genius akan menjadi kekuatan bagi orang Asia, termasuk Indonesia.
Artinya, perlambang bagi subkultur di Indonesia akan muncul ke permukaan internasional sebagai new world atau new wave. Hal ini yang seharusnya disadari dan dijadikan patokan dalam pameran yang bertajuk Mempertimbangkan Tradisi.
Pameran seni rupa Minangkabau ini baru tampak sebatas 'mengabsen' atau memetakan corak dan isme perupa putra Minang. Sehingga, empat subtema yang digarisbawahi oleh kurator Mamannoor terlihat lebih sebagai siasat untuk menampung perbedaan corak.
Keempat subtema itu Tradisi alam dan masyarakat Minangkabau, tradisi keagamaan dan spiritualitas religius, tradisi dan perubahan, serta tradisi kemasakinian.Mamannoor tidak membaca mainstream dari budaya Minang dengan spirit orang Minang. Dalam pada itu, kita juga bisa bertanya, adakah spirit orang Minang dalam seni rupa? Pertanyaan ini perlu direnungkan siapa tahu apa yang diramalkan Naisbit itu akan benar adanya. Alangkah ironis, bahkan mungkin tragis, ketika orang luar justru menengok tradisi subkultur Indonesia, malah seniman Minang ramai-ramai meninggalkan local genius-nya.
Harus diakui orang Minang ini memberi pengaruh besar di Indonesia. Terdapatnya rumah makan padang di seluruh kawasan Indonesia atau munculnya tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, Agus Salim, Syahrir, M Natsir, Buya HAMKA, hingga Zaini dan Nashar, menegaskan orang Minang memiliki tradisi intelektualitas yang kuat. * Doddi AF/B-5
Media Indonesia, Senin, 14 Juni 2004.
No comments:
Post a Comment