Mereka hadir dengan pakaian compang-camping untuk merayakan keprihatinan. Tak ada kostum baru yang bagus, yang bekas dan jelek pun tak mengapa. Prihatin, di satu sisi, bisa bermakna derita, namun berkah yang didatangkannya adalah kreativitas yang tidak terbayangkan.
Di pekarangan rumah yang luasnya sekira 200 meter persegi, mereka menari dengan mengenakan kostum tambal-sulam. Semua penari mengenakan kaos hitam, tapi tidak seragam, yang penting hitam. Celananya juga warna hitam, sam tidak seragamnya. Sepatunya beraneka merek dan corak, dari pantopel, boot, hingga cats.
Pada batang kaki mereka dipajang giring-giring, sehingga selalu terdengar bunyi gemirincing tiap kaki mengentak-hentak. Pada bagian dada dan paha dipasang serabutan rumput. Muka mereka dibikin coreng-moreng. Melihat kostum yang dikenakannya, dan raut mukanya, para penari itu nampak seperti prajurit angkatan darat yang sedang latihan tempur. Apalagi pemimpin grup tari itu membawa tongkat berkepala tengkorak. Rajin meniup peluit tiap kali terjadi perpindahan gerak, makin miriplah seperti serdadu.
Namun, lima penari yang nampak dari tubuhnya lebih kecil, usianya pasti lebih muda, masing-masing mengenakan topeng. Maka jadilah tarian ini dijuluki tari topeng. Sebenarnya ini tidak bisa disebut tari topeng, sebab para penari yang mengenakan topeng itu tidak memiliki kesadaran untuk berekspresi dengan topengnya. Topeng-topeng itu berhenti sebagai hiasan yang menutupi muka. Jangan pernah membayangkan tari topeng yang dibawakan oleh Rasihan, maestro penari topeng dari Indramayu itu.
Tari topeng ini dipentaskan di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, pada 5 Agustus ini. Studio Mendut didirikan oleh seniman Sutanto. Pada konstelasi kesenian di Tanah Air, Sutanto dikenal dengan sebutan Tanto Mendut. Dia dan studionya adalah oase di gurun tandus, menjadi kawah candradimuka untuk kelahiran seniman-seniman survive dengan konsep sepi ing pamrih sangkan paraning dumadi (jauh dari pamrih agar bersatu dengan-Nya).
Setelah saya cermati, pada pertunjukan tari itu banyak soal tidak berkaitan. Misalnya, syair yang menjadi narasi sekaligus ilustrasi, yang disampaikan dengan cara ditembangkan, berisikan nadom atau pepujian, sedangkan gerak tariannya merupakan tarian tradisi khas Bantul, salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkena gempa paling parah pada 27 Mei 2006 lalu.
Lalu kostum yang lebih tepat untuk tarian perang, ternyata menjadi hiasan artistic untuk tarian yang gemulai. Sedangkan ilustrasi musik, kendangnya menggunakan kendang Sunda, tetapi instrument lainnya menggunakan istrumen musik Jawa.
Untuk pertunjukan yang kurang koheren ini Tanto Mendut menyampaikan argumentasi, “semua itu datang dari mereka, bukan dari kepala saya. Kalau mengikuti keinginan saya, tentu pertunjukan ini akan membutuhkan biaya yang mahal, sebab akan menuntut segalanya ideal,” kata Tanto usai pertunjukan.
Tanto menuturkan, pertunjukan tari ini digelar untuk merayakan keprihatinan, terutama setelah gempa mendera daerah Yogya. Gempa terjadi, rekonstruksi dan recovery-nya belum tuntas hingga sekarang. Kita menjadi bangsa yang selalu terlambat. Lebih dari itu, kita menjadi bangsa yang tidak bisa belajar dari pengalaman. Lebih menyedihkan lagi, pemerintah tidak bertanggungjawab sehingga di mana-mana penderitaan nampaknya mutlak menjadi milik masyarakat.
Sambil menghibur diri, dalam pertunjukan teater menghibur diri biasanya menggunakan dialog-dialog parodis, mereka menyanyi dan menari. Sambil melupakan derita, mereka merekayasa benda-benda yang ada. Rumput di sekitar parit disulap jadi bagian dari kostum untuk menari. Intrumen musik yang tersisa dari gempa, diberdayagunakan. Lalu, terian khas Bantul karena dikhawatirkan punah, kemudian diajarkan kepada anak-anak dari Magelang oleh seniman Bantul, dan jadilah tari topeng itu.
Tarian itu dipentaskan oleh grup yang menamakan dirinya Paguyuban Mudha Samudra. Penarinya ada 23 orang, para pengrawit (penabuh alat musik) ada sembilan orang, dan seorang penyanyi yang menembangkan narasi.
Selain tarian topeng, ada juga tarian Badui dari daerah Sawangan. Sebelum pertunjukan dimuali, juru bicara mereka menyatakan tariannya itu diadopsi dari Timur Tengah. Bukan hanya tatanan gerak, tapi juga ilustrasi syairnya yang ditembangkan itu masih sebagiannya memakai bahasa Arab.
Dengan tarian dan tembang yang diadopsi dari Jazirah Arabia itu, semakin menegaskan, bahwa orang Indonesia ini di sisi lubuk terdalam tetaplah bangsa yang relijius dan berfalsafah.
Sunday, October 30, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
tulisan yang nyambung
-
DUNIA perbankan menjadi salah satu institusi yang lumpuh saat krisis mendera mulai pertengahan September 1997 yang lalu. Beberapa bank la...
-
http://menjawabdenganhati.wordpress.com/2010/07/10/salakanagara/ Mengapa saya sering menyebut nama Nabi Nuh? Karena nabi nuh adalah titik...
-
Foto: Dokumen Pribadi Tan Deseng Teks DAF Wajah dan wangsanya memang totok China. Tetapi kacapi dan suling seolah telah menyulap Tan...
No comments:
Post a Comment