Saturday, October 15, 2011

Perginya Sang Pionir

Suatu malam di tahun 1994, saya, Deden A. Aziz, dan Wan Anwar menghadapi suatu resital; Kami akan membacakan puisi-puisi kami yang dihimpun dalam antologi stensilan berjuluk “Rumah Kita”, di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung, yang ditaja Forum Sastra Bandung (FSB) atas kemurahan ketuanya, Juniarso Ridwan.
Kami meminjam bus milik kampus, dan mengumumkan siapa yang mau ikut menonton akan dapat tumpangan gratis. Maklum, pembacaan puisi sering kali suwung apresiator, terasa sepi ing pamrih, nun jauh dari pikuk fiesta yang dinikmati para penghelat pop art. Hanya segelintir penyair besar yang bisa mendatangkan berjubel penonton. Adapun kami, kala itu, masih dalam kategori “penyair calon” yang puisinya baru bisa menghiasi koran lokal, dan kami merasa belum memiliki penggemar.

Akan tetapi, resital kepenyairan malam itu harus ditonton untuk memperkukuh keyakinan kami. Kami pun merayu beberapa dosen yang akomodatif supaya “mewajibkan” para mahasiswa untuk menonton. Maka terjadilah “bedol kelas” dari IKIP Bandung (sekarang UPI) ke Rumentang Siang, dengan menggunakan bus kampus. Penonton cukup banyak. Juniarso ikut puas.

Sejak itu, Juniarso Ridwan sering mengontak kami untuk mengerahkan mahasiswa IKIP sebagai penonton acara-acara FSB. Pembacaan puisi oleh Sutardji Calzoum Bachri, Leon Agusta, dan lain-lain, yang diselenggarakan FSB, sering ditempatkan di IKIP Bandung karena penontonnya selalu meruyak. Sejak itu pula, dari IKIP Bandung berlahiran para penulis sastra, hingga saat ini. Tentu sebelumnya sudah banyak bermunculan senior kami sebagai penulis kreatif, tetapi tidak sesubur setelah generasi kami. Kami menyombongkan diri bahwa kami telah membangun rumah kreatif baru untuk melahirkan para penulis baru.
Peletak dasar fondasi Rumah Kami, tak bisa disangkal, adalah Wan Anwar. Saat semester dua, puisi Wan Anwar dimuat di Pikiran Rakyat untuk pertama kalinya. Peristiwa penting ini langsung membakar banyak orang. Saya ikut mendidih, membuat saya jadi giat belajar menulis puisi, sampai ikut pelatihan pers kampus. Namun puisi yang saya cipta, belum juga bisa dimuat di koran-koran.

Suatu malam saya berkunjung ke indekost Wan Anwar, dan memintanya menganalisis puisi-puisi yang saya tulis. Dia menguraikan kekurangan dan kelebihan puisi saya, menjelas-tegaskan hakikat dan metode puisi dengan kata-kata yang meluncur lancar, mudah dipahami. Saya terpesona, dan turunlah testimoni yang tidak pernah saya sampaikan kepadanya; ia berbakat dalam membabakbeluri suatu masalah.

Ia sangat serius ingin menjadi penyair, ingin jadi penulis. Semangatnya menyala-nyala. Pada mesin ketiknya, ia sematkan plakat kecil bertuliskan “Sang Penulis!”

Ia sering memadamkan lampu neon menjelang dini hari, dan menggantinya dengan lilin. Ia menghisap kretek ditemani kopi pahit, lalu menarikan jemarinya pada tuts mesin ketik di keheningan dini hari. Suara mesin ketik setiap malam selalu terdengar berdetak syahdu. Dibasuh udara kawasan Ledeng yang dingin, berlahiranlah puisi-puisi liris dari mesin ketik Wan Anwar yang kami gunakan bergiliran.

Di angkatan kami, Wan Anwar adalah pelopor penulis dari kalangan mahasiswa tingkat kemarin sore. Itulah yang mendorong saya mendukungnya untuk jadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Hima Jurdiksatrasia) IKIP Bandung. Wan Anwar menang. Ia pun membuka sekretariat Hima Diksatrasia siang dan malam sebagai “Rumah Kita”, yaitu tempat menggelandang tetapi harus kreatif. Kami sering begadang sebagai bagian dari proses kreatif. Malam-malam, kami bergiliran membacakan puisi karya penyair besar dan mendiskusikannya. Bergiliran pula membacakan karya sendiri, dan saling mengkritik. Dalam soal mengkritik karya, Wan Anwar tak terkalahkan.

Malam-malam, kami sering ngawawaas suasana. Kami tidur di bawah pohon beringin beralaskan tikar di depan Gedung Partere, atau pergi ke Gunung Batu di Lembang. Semua itu dilakukan dengan keluguan dalam rangka menangkap ilham, sebagaimana para kawon di zaman empu-empu melakukan incognito di mayapada senyap guna “mengalami” yang sesungguhnya marwah esthetic mengalir deras ke dalam sukma, lalu lahirlah kakawin.

Semangat kreatif yang dipelopori Wan Anwar itu berimbas positif. Puisi Deden A. Aziz dimuat di “PR”, puisi saya menyusul di Bandung Pos, menyusul Nenden Lilis A., Tateng Gunadi, Herwan F.R., hingga generasi berikutnya. Sewaktu Wan Anwar menjadi Ketua Hima, kami mendirikan unit kegiatan setingkat kampus, yakni Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS), dengan Deden A. Aziz terpilih sebagai ketua.

ASAS mendapat pengakuan bukan saja di Bandung dan Jawa Barat. Kami dikontak oleh Ahmadun Yossi Herfanda untuk mengumpulkan puisi-puisi anak ASAS, dan ia memuatkannya di Harian Republika. Rendra menyampaikan pujian. Setelah ada ASAS, daya jelajah puisi-puisi kami makin jauh, memasuki koran-koran yang terbit di Jakarta, seperti Mutiara, Suara Karya, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Pelita, Republika, dan lain-lain, bahkan Herwan F.R. rajin menulis resensi buku di Republika, sesekali di Kompas. Juga sampai-sampai kritikus Korrie Layun Rampan memasukkan karya beberapa alumni ASAS ke dalam antologi “Angkatan 2000 dalam Karya Sastra”.

ASAS pernah nyaris mati karena politik kekuasaan mahasiswa berubah. Sekretariat Hima dikuasai oleh kelompok fundamentalis “kanan”, membuat kami dan ASAS terusir dari sekretariat Hima Diksatrasia. Wan Anwar menyelamatkannya. Ia memindahkan sekretariat ASAS ke kamar indekostnya. Tetapi kemudian Wan Anwar sakit dan harus cuti. Ginjalnya kacau. Deden dan saya lebih berkonsentrasi di unit teater. ASAS pun vakum.

Setelah cuti setahun, ternyata Wan Anwar sembuh dan balik ke kampus. Pada 1996, ASAS dihidupkan lagi atas prakarsanya. Pada 1997, kami meninggalkan kampus dengan memenuhi doktrin gelandangan kampus; kuliah tepat waktu tujuh tahun. Saya dan Wan Anwar melamar ikut jadi dosen di IKIP, tetapi sama-sama tidak lolos. Ada rasa sedih, mengapa alumnus sekualitas Wan Anwar tidak diterima jadi dosen di almamaternya? Saya bermigrasi ke Jakarta dengan bekerja di harian Media Indonesia, dan Wan Anwar ke Serang dengan menjadi dosen di PTS Untirta.

Untirta berubah status jadi Perguruan Tinggi Negeri. Memasuki periode ini, Wan Anwar bekerja lebih keras. Ia bersedia diminta Taufik Ismail bekerja di Majalah Sastra Horison, dan mengembara bersama para sastrawan dalam acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) ke beberapa kota. Ia juga meneruskan kuliah di Universitas Indonesia Depok, hingga meraih gelar master humaniora. Ia menjadi Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Untirta pada usia yang relatif muda. Dan seperti dulu di IKIP, ia pun sering melakukan “bedol kelas” dengan menggiring mahasiswanya ke acara-acara sastra, hingga ke Jakarta atau Bandung.

Ia merelakan salah satu rumahnya untuk ditempati mahasiswanya yang mau kreatif. Di rumah itu, didirikanlah organisasi Kubah Budaya. Ada saya dengar satu dua anggotanya menjadi penulis yang mulai diperhitungkan. Merelakan rumah resminya menjadi sekretariat gelandangan kreatif, mengingatkan saya saat ia membuka sekretariat Hima Diksatrasia di IKIP Bandung bagi para gelandangan dengan syarat harus kreatif.

Dalam soal ini, ia seorang pelopor, dan alam unconsciousness-nya berujar; // Semua akan luput, semua telah cukup/ tuhan, ya tuhanku, aku menangis ketika sadar/ begitu banyak yang harus kurelakan.// (“Di Sebuah Pesta”)

Wan Anwar sudah merelakan banyak hal, termasuk jiwa dan raganya. Akan tetapi ada satu obsesinya yang tidak kesampaian. Ia menginginkan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) tempatnya mengajar, menjadi Fakultas Ilmu Budaya seperti yang terdapat di UI, Unpad, dan perguruan tinggi-perguruan tinggi bergengsi lainnya. Untuk mengubah FKIP jadi FIB, pada fakultas itu minimal harus ada tiga dosen bergelar doktor. Wan Anwar pun melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia Depok guna meraih gelar Doktor.

Di Depok ia menulis lirik “Depok Suatu Sore” yang berbunyi: aku kenang lagi air mata berjatuhan… /maut menggeliar dari sukmaku.

Mimpi itu mungkin terlalu jauh untuk direngkuh, terlampau keras untuk ditaklukkan oleh ginjalnya yang kembali tidak normal. Sampai akhirnya, saya harus membacakan doa untuk penyair dan sang pionir ini. Alfatihah.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat (Bandung), 29 November 2009.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung