Friday, January 25, 2013

Republik Miskin Akting

sumber foto: oase.kompas.com
Teater Tetas mengangkat absurditas hidup lewat lakon Republik Anthurium, Sungguh miskin dialog.
Seorang guru honorer yang sudah 10 tahun mengajar dengan setia, dengan gaji kecil tentunya, terpaksa mencuri bunga antorium. Urusan perut memang bisa memantik revolusi. Di kantor polisi ia membikin kejutan.

“Apa pekerjaanmu?” tanya polisi.
“Saya guru honorer,” katanya.
“Hah? Seorang guru mencuri?” polisi keheranan.
“Sudah 10 tahun saya menjadi guru honorer, tapi tak diangkat-angkat jadi PNS. Saya menunggu dan terus menunggu dengan setia. Sekarang saya mengerti, kesetiaan itu ternyata tidak ada artinya,” kurang lebih begitulah guru itu menyampaikan pengakuannya sambil terisak-isak.

Polisi yang memeriksa berpangkat rendah, jujur, dan kerenanya dililit kemiskinan pula. Akhirnya, juga dengan terisak-isak, polisi membenarkan pernyataan sang guru.

“Kau benar, kesetiaan tidak ada artinya,” kata polisi.

Di negeri yang minim jaminan kepastian, kesetiaan adalah jalan untuk melanggengkan kepedihan.

Ketidakadilan dalam pelaksanaan hukum dan praktik ekonomi, menjadi akar masalah yang terus menjalar. Kemiskinan hanyalah satu getah, getah-getah lainnya mewujud dalam bentuk krisis multi-dimensional separti yang sekarang kita saksikan.

Teater Tetas melalui lakon Republik Anthurium mempertontonkan ketidakadilan berikut pernik-pernik dan dampaknya, pada 22 – 23 Januari 2008, di Goethe House, Jakarta Pusat.

Ags Dipayana (kini sudah almarhum) yang menulis naskah, sekaligus menyutradarai pertunjukannya, menampilkan dua wajah kemiskinan di negeri ini. Pertama, wajah murung yang direpresentasikan melalui tokoh guru honorer yang terpaksa mencuri, atau isteri polisi yang terpaksa melacur. Kedua, wajah ceria yang direpresentasikan melalui orang-orang yang dengan mudahnya mengoleksi bunga antorium, padahal harganya jutaan. Selembar daun antorium bisa dihargai ratusan ribu.

Pada kondisi seperti ini, bisa ditarik kongklusi, sebuah sistem telah menyebabkan sejumlah orang tambah miskin, tetapi sambil menyulap sedikit orang tambah kaya.

“Ya ampun, puun keladi dibeli 250 rebu perak. Cuman puun gituan, dasar rezeki,” kata seorang warga Betawi. Beberapa warga Betawi masih menanam pohon keladi di pekarangannya. Ada salah satu jenis antorium yang mirip pohon keladi.

Menurut penulis naskah yang disampaikan lewat press release, lakon Republik Anthurium  merupakan refleksi dari kelangsungan berbangsa dan bernegara yang tatanannya dibangun dengan basis isu. Tatanan politik, budaya, ekonomi, maupun sosial dikendalikan oleh sesuatu yang berada di luar sistem – suatu kekuatan yang tidak tampak – dan perubahan dapat terjadi kapan saja, tanpa terduga sebelumnya. Segala hal menjadi nisbi sifatnya, bahkan juga tata nilai. Pengendali yang tidak nampak itu adalah kekuatan modal, alias kapitalisme.

Kapitalisme tidak buruk seluruhnya, bahkan rasanya sulit menghindari perputaran modal begitu peradaban manusia memasuki era industrialiasasi. Kecuali kembali ke perekonomian barter, mungkin kelemahan kapitalisme bisa sedikit dieliminasi.

Ags Dipayana mengatakan, Republik Anthurium menjadi cermin atas lajunya isu sebagai salah satu penggerak geliat hidup masyarakat. Memang, di tengah kemiskinan, issue atau gossip terasa jadi sedap. Maraknya tayangan infotainment di televisi, merupakan refleksi dari masyarakat yang betah diterlenakan oleh isu dan gosip.

Kisah selembar daun antrorium yang harganya mahal, menjadi pengantar untuk menyampaikan sejumlah absurditas yang kompleks di republik ini. Lakon itu dikemas dalam pertunjukan yang berlangsung sekira 75 menit.

Kompleksitas permasalahan diejawantahkan ke dalam bentuk teater yang kompleks pula. Bentuk teater realis formalinstik untuk panggung prosenium yang kita pinjam dari barat, oleh Ags Dipayana dipadukan dengan gaya lenong, dramatari, dan adegan-adegan absurd yang sulit dimengerti.

Ada adegan-adegan di mana para aktor berdialog layaknya dalam pertunjukan drama. Di adegan lain, muncul akting sampakan ala teater tradisi. Adegan-adegan dialog berselang-seling dengan sesi pertunjukan tari dan gerak-gerak liar para aktor. Beberapa aktor menyampaikan dialog setelah memeragakan gerak silat.
Saya meresepsi adegan-adegan tari dan gerak yang disajikan, tampak lebih eksotis dari adegan-adegan dialog. Keterlibatan koreografer Elly D Lutan dalam pertunjukan Teater Tetas kali ini, memang turut memperindah mobilisasi gerak para aktor. Sementara adegan-adegan dialog yang seharusnya disajikan dengan penghayatan dan wibawa, terlihat kedodoran, sehingga timbul ketimpangan estetik antara gerak dan dialog.

Saya tidak mengerti, mengapa dalam pertunjukan ini, akting marah lebih sering dipresentasikan dengan suara berteriak, sekalipun suara sang aktor nyaris serak. Apakah aktor-aktor terater sudah terkontaminasi oleh formula akting dalam sinetron, di mana adegan marah seringkali diindikasikan dengan suara lantang, sedang adegan sedih dipresentasikan dengan suara lirih diikuti tangis?

Dari sisi gagasan dan mobilisasi gerak, estetika yang disuguhkan Teater Tetas dalam pertunjukan Republik Anthurium, sudah cukup menghibur. Ada tarian yang sedap ditonton. Tata ilustarsi musik yang digarap Nanang HP, terdengar ritmis dan bertenaga, turut memperkuat eskapistik tata gerak para aktor. Gerak yang bagus ini, merupakan hasil letihan sekira enam bulan. Latihan memang kunci kesuksesan.

Yang terasa masih lemah di dalam pertunjukan itu, atau belum menampakkan greget, sekali lagi, terletak pada adegan dialog. Adegan dialog akan terus menjadi tantangan bagi para penulis naskah dan para aktor. Para aktor teater memang harus terus-menerus bersastra, menafsir puisi, memaknai naskah drama, dan melapalkan dialog dengan penghyatan dan wibawa.

No comments:

Post a Comment