Press Release
1 HARI 11 MATA DIKEPALA
Naskah/sutradara RADHAR PANCA DAHANA
6 dan 7 Juli 2007 pukul 19.45 wib
Teater Studio Taman Ismail Marzuki
Jl.Raya Cikini 73
Jakarta Pusat
PENGANTAR:
Setelah menjalani masa vakum cukup panjang dari panggung teater, kecuali beberapa pertunjukan dramatik sastra (terakhir pentas Lalu Batu, di Gedung Kesenian jakarta dan 5 kota di Jawa, 2004), Radhar Panca Dahana akhirnya melakukan come back lewat sebuah pertunjukan teater yang ia tulis, sutradarai dan mainkan sendiri. Bersama sejawat-sejawatnya di Teater Kosong (angkatan ke-7), ia akan membawakan sebuah suguhan yang mengintegrasikan seluruh kekuatan artistik seni lainnya, dari mulai fotografi hingga arsitektur, dari akting hingga sinematografi, di atas panggung.
Sejak pertama kali terlibat dalam pertunjukan teater bersama Teater Gombong sebagai Roberta dalam drama Jack dan Penyerahan (GR Bulungan, 1979) bersama grupnya—termasuk yang terdahulu, Teater Aquilla dan teater Telaga—radhar sudah memenataskan 30-an panggung teater. Termasuk eksperimen laboratorisnya di Depok selama lima tahun bersam 15-an anggota kelompoknya.
Belakangan ia menerbitkan beberapa bukunya tentang teater. Mendirikan dan memimpin Federasi Teater Indonesia sambil menuliskan pengamatan dekatnya pada perkembangan teater Indonesia mutakhir. Dari semua jejak itulah, ia setahun belakangan mempersiapkan gagasan pertunjukan anyarnya, sebagai sebuah “surprise” (apa maksud tersembunyi di balik ini) kepada para kolega, rekan-rekan pekerja teater dan masyarakat umumnya.
Inilah hasil perenungannya setelah aktip dalam hidup kesenian sepanjang hampir 30 tahun: sebuah pandangan yang coba memberi alternatif bagi pemahaman atau cara pandang kita melihat manusia dan hidup di sekitarnya. Sebuah drama yang mengubah panggung bukan lagi sebagai mimesis atau representasi kenyataan belaka, tapi membentuknya kembali dan realitas barunya yang berlapis-lapis.
SINOPSIS:
Banyak tragedi, ironi juga komedi. Bukan cuma bagi dan dalam manusia. Tapi semua yang ada: sayur, kursi, kecoa, air susu yang tumpah atau sekedar nafsu seks yang gelap.
Ini bisa di satu tempat atau sekaligus di berbagai tempat.
DI RUANG TIDUR: Hajjira, pekerja toko, juga pekerja seks komersial, melihat ruang tidurnya setiap hari selalu berubah. Hal itu membuatnya cukup tenteram, karena dunia luar yang dijalaninya telah membuat ia seperti angkotan kota yang ditilang begitu keluar dari jalur atau line-nya. Hingga satu kali ia melihat tikus mati di lubang wastafelnya: segalanya berubah. Ruang tidur itu tak lagi berubah namun selalu berada dalam cuaca yang sama: kecemasan bahkan ketakutan, suatu saat Hajjira akan menemukan dirinya tersesat dalam lubang wastafel dan ia tak mampu mengubah dunia dalam kepalanya: lorong wastafel itu, untuk selamanya. Ruang tidur menjadi neraka monotoni dan dunia luar hanya ilusi.
DI DAPUR: Mari, penari balet yang menikah dengan seorang pegawai kantor kepolisian. Suaminya mati karena salah tembak, disangka polisi hanya karena jaket yang dikenakannya. Setelah itu, mari selalu berusaha di dapur, menyibukkan diri, menyiapkan segala hal untuk suaminya yang akan berangkat pergi atau pulang dari kantor. Ia bersih-bersih, mencuci, memasak dan bicara, seakan suaminya ada di dapur, meruang bahkan adalah dapur itu sendiri.
DI WARUNG: Solar dan sonar duduk di sebuah warung kopi, yang satu menikmati kopi, satu menikmati yang sedang menikmati kopi. Yang satu menghisap rokok, satunya menikmati yang menghisap rokok. Yang satu bicara, yang satu bicara tentang yang sedang bicara. Satu lelaki satu perempuan. Keduanya bertukar sapa, mengaku sumai dan istri. Yang satu duduk satu pergi. Yang satu pergi satu duduk. Mereka bertemu. Mereka tak pernah bertemu.
Lalu kejadian berlangsung dimana-mana. Dimana ruang tercipta dan waktu “bermain” di dalamnya. Tak ada aktor, karena semua adalah pelaku, pelakon (manusia, bangku, cahaya lampu atau tikus di wastafel). Semua bisa berjuktaposisi, bisa beroposisi, bisa berkontemplasi, bisa apa saja. Dalam sebuah panggung yang memungkinkan apa pun yang diinginkan terjadi. Dan ada tak ada relasi, bukan soal lagi. Semua berrelasi sekaligus mengingkarinya.
KONSEP PERTUNJUKAN:
Pertunjukan ini dikreasi berdasarkan pemahaman teater kini tidak lagi dapat mewakili realitas secara apa adanya. Bahkan sebenarnya ia tak mewakili realitas itu sama sekali. Tidak terjadi mimesis sebagaimana secara klasik dipahami oleh sejarah teater terutama oksidental selama ini.
Bukan karena teater itu berubah atau terdapat kesalahan pemaknaan. Tapi karena realitas itu sendiri yang berubah. Dan seni, sebagaimana terjadi sejak dulu adalah anjing setia yang mengikuti kemanapun hidup itu pergi. Hidup itu berubah. Lebih tepatnya diubah. Ia tidak lagi dalam pemaknaan tradisionalnya. Setiap hidup, dalam jengkal ruang manapun, tidak lagi memiliki makna sebagaimana yang ada di dalamnya sendiri, sebagaimana yang ia kehendaki.
Tapi ia ada dan bermakna sejauh mata yang memandang, hati yang merasakan, dan akal yang merumuskannya. Realitas adalah mata. Barangkali realitasnya itu-itu saja, hanya satu,tapi ada sejuta mata yang melihatnya: maka iapun berubah menjadi sejuta. Setiap keadaan (waktu yang memuai susutkan ruang) kepentingan, latar sosio-kultural, dunia pikiran hingga cita rasa kuliner, bisa menggubah kenyataannya sendiri-sendiri, dari satui hidup yang tunggal.
Hidup adalah doublu double burger dengan sekian lapisan kenikamatan, yang sayang junk dan artifisial. Jangan mencoba menelannya sekaligus, jika tak kemudian anda menjadi makhluk dengan kepenuhan kontaminasi.
Dalam situasi itulah manusia melangkahkan perginya. Teater menrjemahkan dirinya. Menerjemahkan hidup yang tak pernah selesai ditafsirkan. Memberi manusia sekian (bahkan terlalu banyak) pilihan, dan seseorang hanya dapat mengambilnya satu-dua. Yang lainnya tinggal sebagai obskuritas bahkan chaos. Dan panggung teater adalah chaos (signikansi) itu.
Jika Anda tetap akan meraih signifikansi itu, lakukanlah tanpa dengan jiwa dan pikiran tertekan. Nikmatilah seperti anda menikmati segelas anggur, sup yang sedap plus alunan bossas yang meringankan badan. Nikmati pertunjukan.
ARTISTIK:
Pemain : Krisniati Marchelllina, Yudarria, Jeffry Djakatara
Panggung : Nobon
Cahaya : Reno Azwir
Musik : Jalu G.Pratridina
Kostum : Yudarria
Tata rias : Ratna Kosong
Stage manager : Anto Ristagi
Karya/sutradara : Radhar Panca Dahana
1 HARI 11 MATA DIKEPALA
Naskah/sutradara RADHAR PANCA DAHANA
6 dan 7 Juli 2007 pukul 19.45 wib
Teater Studio Taman Ismail Marzuki
Jl.Raya Cikini 73
Jakarta Pusat
PENGANTAR:
Setelah menjalani masa vakum cukup panjang dari panggung teater, kecuali beberapa pertunjukan dramatik sastra (terakhir pentas Lalu Batu, di Gedung Kesenian jakarta dan 5 kota di Jawa, 2004), Radhar Panca Dahana akhirnya melakukan come back lewat sebuah pertunjukan teater yang ia tulis, sutradarai dan mainkan sendiri. Bersama sejawat-sejawatnya di Teater Kosong (angkatan ke-7), ia akan membawakan sebuah suguhan yang mengintegrasikan seluruh kekuatan artistik seni lainnya, dari mulai fotografi hingga arsitektur, dari akting hingga sinematografi, di atas panggung.
Sejak pertama kali terlibat dalam pertunjukan teater bersama Teater Gombong sebagai Roberta dalam drama Jack dan Penyerahan (GR Bulungan, 1979) bersama grupnya—termasuk yang terdahulu, Teater Aquilla dan teater Telaga—radhar sudah memenataskan 30-an panggung teater. Termasuk eksperimen laboratorisnya di Depok selama lima tahun bersam 15-an anggota kelompoknya.
Belakangan ia menerbitkan beberapa bukunya tentang teater. Mendirikan dan memimpin Federasi Teater Indonesia sambil menuliskan pengamatan dekatnya pada perkembangan teater Indonesia mutakhir. Dari semua jejak itulah, ia setahun belakangan mempersiapkan gagasan pertunjukan anyarnya, sebagai sebuah “surprise” (apa maksud tersembunyi di balik ini) kepada para kolega, rekan-rekan pekerja teater dan masyarakat umumnya.
Inilah hasil perenungannya setelah aktip dalam hidup kesenian sepanjang hampir 30 tahun: sebuah pandangan yang coba memberi alternatif bagi pemahaman atau cara pandang kita melihat manusia dan hidup di sekitarnya. Sebuah drama yang mengubah panggung bukan lagi sebagai mimesis atau representasi kenyataan belaka, tapi membentuknya kembali dan realitas barunya yang berlapis-lapis.
SINOPSIS:
Banyak tragedi, ironi juga komedi. Bukan cuma bagi dan dalam manusia. Tapi semua yang ada: sayur, kursi, kecoa, air susu yang tumpah atau sekedar nafsu seks yang gelap.
Ini bisa di satu tempat atau sekaligus di berbagai tempat.
DI RUANG TIDUR: Hajjira, pekerja toko, juga pekerja seks komersial, melihat ruang tidurnya setiap hari selalu berubah. Hal itu membuatnya cukup tenteram, karena dunia luar yang dijalaninya telah membuat ia seperti angkotan kota yang ditilang begitu keluar dari jalur atau line-nya. Hingga satu kali ia melihat tikus mati di lubang wastafelnya: segalanya berubah. Ruang tidur itu tak lagi berubah namun selalu berada dalam cuaca yang sama: kecemasan bahkan ketakutan, suatu saat Hajjira akan menemukan dirinya tersesat dalam lubang wastafel dan ia tak mampu mengubah dunia dalam kepalanya: lorong wastafel itu, untuk selamanya. Ruang tidur menjadi neraka monotoni dan dunia luar hanya ilusi.
DI DAPUR: Mari, penari balet yang menikah dengan seorang pegawai kantor kepolisian. Suaminya mati karena salah tembak, disangka polisi hanya karena jaket yang dikenakannya. Setelah itu, mari selalu berusaha di dapur, menyibukkan diri, menyiapkan segala hal untuk suaminya yang akan berangkat pergi atau pulang dari kantor. Ia bersih-bersih, mencuci, memasak dan bicara, seakan suaminya ada di dapur, meruang bahkan adalah dapur itu sendiri.
DI WARUNG: Solar dan sonar duduk di sebuah warung kopi, yang satu menikmati kopi, satu menikmati yang sedang menikmati kopi. Yang satu menghisap rokok, satunya menikmati yang menghisap rokok. Yang satu bicara, yang satu bicara tentang yang sedang bicara. Satu lelaki satu perempuan. Keduanya bertukar sapa, mengaku sumai dan istri. Yang satu duduk satu pergi. Yang satu pergi satu duduk. Mereka bertemu. Mereka tak pernah bertemu.
Lalu kejadian berlangsung dimana-mana. Dimana ruang tercipta dan waktu “bermain” di dalamnya. Tak ada aktor, karena semua adalah pelaku, pelakon (manusia, bangku, cahaya lampu atau tikus di wastafel). Semua bisa berjuktaposisi, bisa beroposisi, bisa berkontemplasi, bisa apa saja. Dalam sebuah panggung yang memungkinkan apa pun yang diinginkan terjadi. Dan ada tak ada relasi, bukan soal lagi. Semua berrelasi sekaligus mengingkarinya.
KONSEP PERTUNJUKAN:
Pertunjukan ini dikreasi berdasarkan pemahaman teater kini tidak lagi dapat mewakili realitas secara apa adanya. Bahkan sebenarnya ia tak mewakili realitas itu sama sekali. Tidak terjadi mimesis sebagaimana secara klasik dipahami oleh sejarah teater terutama oksidental selama ini.
Bukan karena teater itu berubah atau terdapat kesalahan pemaknaan. Tapi karena realitas itu sendiri yang berubah. Dan seni, sebagaimana terjadi sejak dulu adalah anjing setia yang mengikuti kemanapun hidup itu pergi. Hidup itu berubah. Lebih tepatnya diubah. Ia tidak lagi dalam pemaknaan tradisionalnya. Setiap hidup, dalam jengkal ruang manapun, tidak lagi memiliki makna sebagaimana yang ada di dalamnya sendiri, sebagaimana yang ia kehendaki.
Tapi ia ada dan bermakna sejauh mata yang memandang, hati yang merasakan, dan akal yang merumuskannya. Realitas adalah mata. Barangkali realitasnya itu-itu saja, hanya satu,tapi ada sejuta mata yang melihatnya: maka iapun berubah menjadi sejuta. Setiap keadaan (waktu yang memuai susutkan ruang) kepentingan, latar sosio-kultural, dunia pikiran hingga cita rasa kuliner, bisa menggubah kenyataannya sendiri-sendiri, dari satui hidup yang tunggal.
Hidup adalah doublu double burger dengan sekian lapisan kenikamatan, yang sayang junk dan artifisial. Jangan mencoba menelannya sekaligus, jika tak kemudian anda menjadi makhluk dengan kepenuhan kontaminasi.
Dalam situasi itulah manusia melangkahkan perginya. Teater menrjemahkan dirinya. Menerjemahkan hidup yang tak pernah selesai ditafsirkan. Memberi manusia sekian (bahkan terlalu banyak) pilihan, dan seseorang hanya dapat mengambilnya satu-dua. Yang lainnya tinggal sebagai obskuritas bahkan chaos. Dan panggung teater adalah chaos (signikansi) itu.
Jika Anda tetap akan meraih signifikansi itu, lakukanlah tanpa dengan jiwa dan pikiran tertekan. Nikmatilah seperti anda menikmati segelas anggur, sup yang sedap plus alunan bossas yang meringankan badan. Nikmati pertunjukan.
ARTISTIK:
Pemain : Krisniati Marchelllina, Yudarria, Jeffry Djakatara
Panggung : Nobon
Cahaya : Reno Azwir
Musik : Jalu G.Pratridina
Kostum : Yudarria
Tata rias : Ratna Kosong
Stage manager : Anto Ristagi
Karya/sutradara : Radhar Panca Dahana
No comments:
Post a Comment