Perupa Enrico Soekarno menggelar pameran gambar tentang sudut-sudut Tibet. Katalog pamerannya diberi pengantar oleh Dalai Lama.
Tibet, bangsa yang nyaris in absentia dalam pergaulan internasional, semenjak China melakukan invasi sedari 1950 hingga sekarang. Mereka terisolasi dan teralienasi. Tidak ada kabar yang menguar dari sana. Padahal, setiap invasi pasti melahirkan kericuhan. Setidaknya, terjadi kekerasan kultural. Sungguh sayang, PBB tidak bergeming dalam kasus penjajahan China terhadap Tibet.
Tetapi serapat-rapatnya Negeri Tirai Bambu itu mengerangkeng, nama Dalai Lama berikut ajaran Budha yang disiarkannya dari Tibet, tak pernah berhasil dibungkam 100%. Sajak yang ditulis Rendra berjuluk Rajawali, jadi perkiasan yang tepat untuk menganalogikan Dalai Lama yang dicekal. Rajawali tak bisa dibungkam sekalipun dikerangkeng dalam jeruji besi, begitulah intisari sajak Rajawali.
Dan kabar pun menyebar dari Tibet. Karena PBB dan negara-negara lain berdiam diri, para seniman bangkit untuk membela Dalai Lama, Tibet, dan warganya. Sejumlah figur publik bertarap internasional, segera tergugah, lalu menegaskan rasa empatiknya. Aktor gaek sekelas Robert de Niro atau pesepak bola Roberto Bagio, menyatakan pengagum Dalai Lama.
Dari Indonesia, perupa Enrico Soekarno turut terketuk. Ia menyelusup ke Tibet. Di tas ranselnya selalu tersedia kertas dan tinta untuk merekam ihwal Tibet. Ia menggubah sejumlah drawing. Hasil rekam visualnya kemudian dipamerkan dalam tema Out of Tibet, di Langgeng Icon Gallery, Jln. Kemang Raya No. 1, Jakarta Selatan. Dikuratori oleh Hendro Wiyanto, pameran berlangsung pada 10 – 31 Maret 2008.
Gambar Enrico sangat kuat dalam olah garis. Enrico sangat telaten mendeskripsikan detail-detail objek yang digambarnya. Misalnya logo, simbol, relief, profil, taperil yang terdapat pada gedung-gedung di Tibet, digambarkan serinci mungkin. Teknik ini pastilah sulit dan membutuhkan ketekunan. Hasil dari detailisasi objek ini melahirkan sebuah gambar lansekap yang mengandung imajinasi. Saya menangkap imaji perasaan asing dan sunyi dalam gambar yang dibebat oleh peraih penghargaan Departemen Kelautan dan Perikanan ini.
Ya, gambar-gambar Enrico lebih memancarkan nuansa keterasingan dari bangsa yang dialienasi oleh bangsa conqueror. Kesunyian seakan menggenang pada dinding-dinding kuil, pada wajah-wajah orang Tibet, pada gunung, stupa, langit, atau aksara. Bahkan pada gambar yang dititeli March 1959, yang menerangkan militer China tengah menyerbu Tibet, tidak muncul rasa yang getir. Tidak tercium bau tragedi di sana, dan tentu gambar Enrico tidak bisa dibandingkan dengan grafis karya Käthe Kollwitz misalnya, yang sarat dengan suasana muram lagi duka.
Enrico mengaku sebagai pengagum Vincent van Gogh yang gambar-gambarnya memang kental suasana sunyi. Mungkin secara tidak langsung telah terjadi interferensi akibat pengaguman itu. Juga, seperti dikatakan Dalai Lama dalam pengantar katalog pameran, perjuangan bangsa Tibet dalam merebut kemerdekaan memang ditempuh tanpa kekerasan. Selaras dengan perjuangan para Rasul, atau Mahatma Gandhi yang mengumandangkan prinsip ahimsa (tanpa kekerasan) dalam perjuangan.
Mengapa yang muncul justru nuansa damai, padahal yang ingin diwartakan adalah penjajahan di atas muka bumi? Saya kutipkan saja pernyataan perupa yang pernah berlajar teori film ini. Berikut tanya-jawab singkat dengan Enrico.
Suasana damai terpancar dalam drawing Anda, sekalipun hendak menggambarkan kekerasan, misalnya pada karya March 1959, bisa diterangkan?Suasana damai adalah pencarian spiritual saya dalam mengikuti ajaran Buddha. Kekerasan merupakan panggilan keadaan duniawi yang tidak bisa saya diamkan. Memang kedua sisi ini menimbulkan semacam konflik sekaligus merupakan ajaran Buddha. Di mana pada dua ekstrem kita dapat menemukan jalan tengah. Selain dalam hidup, dalam seni pun, jalan tengah tersebut adalah yang saya cari. Kalau saya sudah bisa menceritakan kekerasan duniawi, tetapi pada saat yang sama juga menyampaikan sesuatu yang spiritual, berarti saya sudah berhasil. Untuk lebih lanjut, pada bagian terakhir Artist Statement saya di dalam katalog, saya bahas juga soal itu.
Anda yakin ada dampak dari karya seni dalam mencegah kekerasan atau invasi seperti yang dilakukan China terhadap Tibet, atau Amerika terhadap Timur Tengah?Secara langsung pasti tidak, tetapi memang bukan itu fungsi seni. Karya seni hanya akan mengubah persepsi atau isi hati sang pemirsa. Dan, dari perubahan-perubahan kecil individual itu, kita berharap akan terjadi perubahan sosial yang lebih massif.
Dan, kadangkala perubahan di tingkat atas karena sudah bekunya isi hati, diperlukan juga seniman yang juga aktivis. Seni yang beriringan dengan aktivisme sering kali akan lebih kuat gaungnya, dan lebih cepat proses perubahannya. Dengan itu pula rakyat dapat digerakkan untuk mengubah pemerintahnya. Jadi lambat laun, dengan kerja keras dan harapan yang benar, ya saya percaya seni dapat mengubah dunia.
Apa yang menggerakkan Anda membuat gambar begitu detail dalam kontur dan tekstur setiap objek?Suatu proses perjalanan panjang menemukan jati diri dalam hidup dan ciri khas dalam seni, membawa saya ke sana. Sekaligus proses meditasi saya. Semacam berkarya sambil sembahyang. Dengan mengolah rasa dan karsa, menumpuk setiap garis pendek kecil di atas setiap garis pendek kecil, saya menemukan ketenangan. Kalau pilihan hitam putih, pertama adalah alasan kejujuran dan juga permainan dua ekstrem mencari jalan tengah tadi, dan kedua adalah ikrar yang saya kumandangkan pada tahun 1991 di Timor Timur selepas pembantaian Santa Cruz. Bahwa saya tidak akan menggunakan warna sampai Soeharto mati. Kemudian ya menjadi ciri khas saya.
Siapa seniman yang memberi pengaruh besar dalam berkarya?Seniman yang membuat saya ingin jadi seniman, waktu saya masih duduk di bangku SMP, adalah Vincent Van Gogh. Yang walaupun paling terkenal sebagai pelukis, karya gambarnya-lah yang justru sangat menakjubkan.
Tibet, bangsa yang nyaris in absentia dalam pergaulan internasional, semenjak China melakukan invasi sedari 1950 hingga sekarang. Mereka terisolasi dan teralienasi. Tidak ada kabar yang menguar dari sana. Padahal, setiap invasi pasti melahirkan kericuhan. Setidaknya, terjadi kekerasan kultural. Sungguh sayang, PBB tidak bergeming dalam kasus penjajahan China terhadap Tibet.
Tetapi serapat-rapatnya Negeri Tirai Bambu itu mengerangkeng, nama Dalai Lama berikut ajaran Budha yang disiarkannya dari Tibet, tak pernah berhasil dibungkam 100%. Sajak yang ditulis Rendra berjuluk Rajawali, jadi perkiasan yang tepat untuk menganalogikan Dalai Lama yang dicekal. Rajawali tak bisa dibungkam sekalipun dikerangkeng dalam jeruji besi, begitulah intisari sajak Rajawali.
Dan kabar pun menyebar dari Tibet. Karena PBB dan negara-negara lain berdiam diri, para seniman bangkit untuk membela Dalai Lama, Tibet, dan warganya. Sejumlah figur publik bertarap internasional, segera tergugah, lalu menegaskan rasa empatiknya. Aktor gaek sekelas Robert de Niro atau pesepak bola Roberto Bagio, menyatakan pengagum Dalai Lama.
Dari Indonesia, perupa Enrico Soekarno turut terketuk. Ia menyelusup ke Tibet. Di tas ranselnya selalu tersedia kertas dan tinta untuk merekam ihwal Tibet. Ia menggubah sejumlah drawing. Hasil rekam visualnya kemudian dipamerkan dalam tema Out of Tibet, di Langgeng Icon Gallery, Jln. Kemang Raya No. 1, Jakarta Selatan. Dikuratori oleh Hendro Wiyanto, pameran berlangsung pada 10 – 31 Maret 2008.
Gambar Enrico sangat kuat dalam olah garis. Enrico sangat telaten mendeskripsikan detail-detail objek yang digambarnya. Misalnya logo, simbol, relief, profil, taperil yang terdapat pada gedung-gedung di Tibet, digambarkan serinci mungkin. Teknik ini pastilah sulit dan membutuhkan ketekunan. Hasil dari detailisasi objek ini melahirkan sebuah gambar lansekap yang mengandung imajinasi. Saya menangkap imaji perasaan asing dan sunyi dalam gambar yang dibebat oleh peraih penghargaan Departemen Kelautan dan Perikanan ini.
Ya, gambar-gambar Enrico lebih memancarkan nuansa keterasingan dari bangsa yang dialienasi oleh bangsa conqueror. Kesunyian seakan menggenang pada dinding-dinding kuil, pada wajah-wajah orang Tibet, pada gunung, stupa, langit, atau aksara. Bahkan pada gambar yang dititeli March 1959, yang menerangkan militer China tengah menyerbu Tibet, tidak muncul rasa yang getir. Tidak tercium bau tragedi di sana, dan tentu gambar Enrico tidak bisa dibandingkan dengan grafis karya Käthe Kollwitz misalnya, yang sarat dengan suasana muram lagi duka.
Enrico mengaku sebagai pengagum Vincent van Gogh yang gambar-gambarnya memang kental suasana sunyi. Mungkin secara tidak langsung telah terjadi interferensi akibat pengaguman itu. Juga, seperti dikatakan Dalai Lama dalam pengantar katalog pameran, perjuangan bangsa Tibet dalam merebut kemerdekaan memang ditempuh tanpa kekerasan. Selaras dengan perjuangan para Rasul, atau Mahatma Gandhi yang mengumandangkan prinsip ahimsa (tanpa kekerasan) dalam perjuangan.
Mengapa yang muncul justru nuansa damai, padahal yang ingin diwartakan adalah penjajahan di atas muka bumi? Saya kutipkan saja pernyataan perupa yang pernah berlajar teori film ini. Berikut tanya-jawab singkat dengan Enrico.
Suasana damai terpancar dalam drawing Anda, sekalipun hendak menggambarkan kekerasan, misalnya pada karya March 1959, bisa diterangkan?Suasana damai adalah pencarian spiritual saya dalam mengikuti ajaran Buddha. Kekerasan merupakan panggilan keadaan duniawi yang tidak bisa saya diamkan. Memang kedua sisi ini menimbulkan semacam konflik sekaligus merupakan ajaran Buddha. Di mana pada dua ekstrem kita dapat menemukan jalan tengah. Selain dalam hidup, dalam seni pun, jalan tengah tersebut adalah yang saya cari. Kalau saya sudah bisa menceritakan kekerasan duniawi, tetapi pada saat yang sama juga menyampaikan sesuatu yang spiritual, berarti saya sudah berhasil. Untuk lebih lanjut, pada bagian terakhir Artist Statement saya di dalam katalog, saya bahas juga soal itu.
Anda yakin ada dampak dari karya seni dalam mencegah kekerasan atau invasi seperti yang dilakukan China terhadap Tibet, atau Amerika terhadap Timur Tengah?Secara langsung pasti tidak, tetapi memang bukan itu fungsi seni. Karya seni hanya akan mengubah persepsi atau isi hati sang pemirsa. Dan, dari perubahan-perubahan kecil individual itu, kita berharap akan terjadi perubahan sosial yang lebih massif.
Dan, kadangkala perubahan di tingkat atas karena sudah bekunya isi hati, diperlukan juga seniman yang juga aktivis. Seni yang beriringan dengan aktivisme sering kali akan lebih kuat gaungnya, dan lebih cepat proses perubahannya. Dengan itu pula rakyat dapat digerakkan untuk mengubah pemerintahnya. Jadi lambat laun, dengan kerja keras dan harapan yang benar, ya saya percaya seni dapat mengubah dunia.
Apa yang menggerakkan Anda membuat gambar begitu detail dalam kontur dan tekstur setiap objek?Suatu proses perjalanan panjang menemukan jati diri dalam hidup dan ciri khas dalam seni, membawa saya ke sana. Sekaligus proses meditasi saya. Semacam berkarya sambil sembahyang. Dengan mengolah rasa dan karsa, menumpuk setiap garis pendek kecil di atas setiap garis pendek kecil, saya menemukan ketenangan. Kalau pilihan hitam putih, pertama adalah alasan kejujuran dan juga permainan dua ekstrem mencari jalan tengah tadi, dan kedua adalah ikrar yang saya kumandangkan pada tahun 1991 di Timor Timur selepas pembantaian Santa Cruz. Bahwa saya tidak akan menggunakan warna sampai Soeharto mati. Kemudian ya menjadi ciri khas saya.
Siapa seniman yang memberi pengaruh besar dalam berkarya?Seniman yang membuat saya ingin jadi seniman, waktu saya masih duduk di bangku SMP, adalah Vincent Van Gogh. Yang walaupun paling terkenal sebagai pelukis, karya gambarnya-lah yang justru sangat menakjubkan.
No comments:
Post a Comment