Setelah 46 tahun dibungkam, sisa-sia personel Sanggar Bumi Tarung (SBT) yang diketuai Amrus Natalsya, kembali menggelar pameran bareng. Pameran bersama yang pertama sekaligus terakhir berlangsung tahun 1962. Tiada harapan bakal bisa kembali pameran karena begitu kuatnya Orde Baru membungkam segala sesuatu yang berbau komunis.
SBT adalah organisasi seni rupa yang berafiliasi ke Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Adapun Lekra selalu disebut-sebut sebagai underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal tidak ada garis instruksi PKI terhadap Lekra. Benar banyak seniman Lekra sekaligus anggota PKI. Nah, karena SBT berafiliasi terhadap Lekra, dan Lekra dianggap antek-antek PKI, maka oleh Orde Baru seluruh anggota SBT diberangus sebagai tahanan politik. Mereka ditahan, dan bahkan di antaranya ada yang dikirim ke Pulau Buru, misalnya Adrianus Gumelar.
Kala itu, anggota SBT sekira 30-an seniman. Tahun ini, personel yang tersisa, tinggal 11 seniman. Tuhan memberi takdir baik sehingga mereka dapat kembali menggelar pameran bersama dengan mengambil tempat di Galeri Nasional Indonesia, berlangsung pada 19 – 29 Juni 2008.
Mereka yang berpameran adalah: Amrus Natalsya | Djoko Pekik | Misbach Tamrin | Isa Hasanda | Adrianus Gumelar | Hardjija Pudjanadi | Sudiyono SP | Sabri Jamal | Dj. M. Gultom | Muryono | Sudjatmoko.
Dulu, waktu di masa Orde Baru, saya selalu membayangkan kesenian yang dilahirkan seniman Lekra dan afiliator-nya itu seram-seram. Bayangan saya itu sungguh salah setelah era keterbukaan membuka segala sesuatu secara transparan. Karya para personel SBT yang sedang dipamerkan di GNI, ternyata nampak estetis dengan pencapain kualitas yang bagus.
Karya mereka menjadi terkesan seram adalah oleh stigma para politikus Orde Baru. Politik memang selalu kejam. Panglima sebagai politik, baik yang dijalankan pada masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto sungguh telah merusak kesenian. Boleh saja politik menjadi panglima, tetapi sebaiknya kesenian netral dari hegemoni politikus.
Apa yang dipamerkan oleh Sanggar Bumi Tarung kini dan dulu, menurut Bambang Subarnas yang menjadi kurator pameran berjemaah ini, semangatnya sama, yaitu revolusioner. Bedanya, revolusioner versi dulu adalah mengacu pada Konferensi Nasional Lekra yang pertama, yang digelar di Bali pada 1962. Semangat revolusioner kini tentu lebih kontekstual dengan peradaban terkini, lebih zeit geits kalau kata orang Belanda.
Konferensi Nasional Lekra melahirkan prinsip 1 – 5 – 1 sebagai pedoman etik dalam berkesenian, yang berbunyi 1): Politik sebagai panglima – 5): meluas-meninggi: luas jangkauan dan daya gugah seni kepada masyarakat; tinggi mutu ideologi dan artistik; memadukan realisme revolusioner dan romantisme revolusioner; memadukan tradisi baik dan kekinian revolusioner; memadukan kreativitas individu dan kearifan masyarakat – 1) Turba (turun ke bawah), yaitu bahwa seniman harus turun ke masyarakat untuk melakukan observasi dan memberi wawasan serta padangan politik kepada masyarakat.
Adapun semangat revolusioner SBT dalam pameran yang sekarang diarahkan sebagai upaya untuk menyikapi seni rupa kontemporer, sehingga SBT mengembangkan konsep yang disebut Kontrev (kontemporer revolusioner) yang berbunyi; 1) penyederhanaan, 2) kekuatan artistik, 3) kemanusiaan yang dalam.
Melalui tulisan ini, saya menyeru kepada para politikus dan aparat Negara, biarkanlah kesenian menjadi kesenian yang bertugas memberi ruang katarsis dan inspirasi bagi masyarakat. Tak ada kesenian yang kejam. Tak ada puisi yang sanggup merubuhkan gedung DPR – MPR. Tak ada patung yang dapat melengserkan presiden.
Kesenian adalah ide, bukan provokator yang menghasut masyarakat. Bahkan kesenian sanggup mengajak masyarakat untuk berbuat baik dan menjaga persatuan bangsa. Bukankah Raja Ali Haji yang sudah diangkat menjadi Pahlawan Bahasa Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 adalah orang yang mempersatukan Indonesia melalui bahasa? Bukankah perekat nasionalisme saat ini yang paling kuat adalah bahasa Indonesia?
Kepada polisi dan tentara, janganlah semena-mena terhadap karya seni berikut senimannya, hanya karena Anda merasa menjadi penjaga keamaan. Jangan-jangan Anda yang justru pengkhianat yang telah merusak bangsa. Apakah jika Anda mem-backing pembalakan liar atau perjudian harus disebut pahlawan bangsa. Ketahuilah, pelukis Affandi dan penyair Chairil Anwar, atau juga Pramoedya Ananta Toer, adalah seniman-seniman yang telah berjasa terhadap bangsa dan negara.
SBT adalah organisasi seni rupa yang berafiliasi ke Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Adapun Lekra selalu disebut-sebut sebagai underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal tidak ada garis instruksi PKI terhadap Lekra. Benar banyak seniman Lekra sekaligus anggota PKI. Nah, karena SBT berafiliasi terhadap Lekra, dan Lekra dianggap antek-antek PKI, maka oleh Orde Baru seluruh anggota SBT diberangus sebagai tahanan politik. Mereka ditahan, dan bahkan di antaranya ada yang dikirim ke Pulau Buru, misalnya Adrianus Gumelar.
Kala itu, anggota SBT sekira 30-an seniman. Tahun ini, personel yang tersisa, tinggal 11 seniman. Tuhan memberi takdir baik sehingga mereka dapat kembali menggelar pameran bersama dengan mengambil tempat di Galeri Nasional Indonesia, berlangsung pada 19 – 29 Juni 2008.
Mereka yang berpameran adalah: Amrus Natalsya | Djoko Pekik | Misbach Tamrin | Isa Hasanda | Adrianus Gumelar | Hardjija Pudjanadi | Sudiyono SP | Sabri Jamal | Dj. M. Gultom | Muryono | Sudjatmoko.
Dulu, waktu di masa Orde Baru, saya selalu membayangkan kesenian yang dilahirkan seniman Lekra dan afiliator-nya itu seram-seram. Bayangan saya itu sungguh salah setelah era keterbukaan membuka segala sesuatu secara transparan. Karya para personel SBT yang sedang dipamerkan di GNI, ternyata nampak estetis dengan pencapain kualitas yang bagus.
Karya mereka menjadi terkesan seram adalah oleh stigma para politikus Orde Baru. Politik memang selalu kejam. Panglima sebagai politik, baik yang dijalankan pada masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto sungguh telah merusak kesenian. Boleh saja politik menjadi panglima, tetapi sebaiknya kesenian netral dari hegemoni politikus.
Apa yang dipamerkan oleh Sanggar Bumi Tarung kini dan dulu, menurut Bambang Subarnas yang menjadi kurator pameran berjemaah ini, semangatnya sama, yaitu revolusioner. Bedanya, revolusioner versi dulu adalah mengacu pada Konferensi Nasional Lekra yang pertama, yang digelar di Bali pada 1962. Semangat revolusioner kini tentu lebih kontekstual dengan peradaban terkini, lebih zeit geits kalau kata orang Belanda.
Konferensi Nasional Lekra melahirkan prinsip 1 – 5 – 1 sebagai pedoman etik dalam berkesenian, yang berbunyi 1): Politik sebagai panglima – 5): meluas-meninggi: luas jangkauan dan daya gugah seni kepada masyarakat; tinggi mutu ideologi dan artistik; memadukan realisme revolusioner dan romantisme revolusioner; memadukan tradisi baik dan kekinian revolusioner; memadukan kreativitas individu dan kearifan masyarakat – 1) Turba (turun ke bawah), yaitu bahwa seniman harus turun ke masyarakat untuk melakukan observasi dan memberi wawasan serta padangan politik kepada masyarakat.
Adapun semangat revolusioner SBT dalam pameran yang sekarang diarahkan sebagai upaya untuk menyikapi seni rupa kontemporer, sehingga SBT mengembangkan konsep yang disebut Kontrev (kontemporer revolusioner) yang berbunyi; 1) penyederhanaan, 2) kekuatan artistik, 3) kemanusiaan yang dalam.
Melalui tulisan ini, saya menyeru kepada para politikus dan aparat Negara, biarkanlah kesenian menjadi kesenian yang bertugas memberi ruang katarsis dan inspirasi bagi masyarakat. Tak ada kesenian yang kejam. Tak ada puisi yang sanggup merubuhkan gedung DPR – MPR. Tak ada patung yang dapat melengserkan presiden.
Kesenian adalah ide, bukan provokator yang menghasut masyarakat. Bahkan kesenian sanggup mengajak masyarakat untuk berbuat baik dan menjaga persatuan bangsa. Bukankah Raja Ali Haji yang sudah diangkat menjadi Pahlawan Bahasa Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 adalah orang yang mempersatukan Indonesia melalui bahasa? Bukankah perekat nasionalisme saat ini yang paling kuat adalah bahasa Indonesia?
Kepada polisi dan tentara, janganlah semena-mena terhadap karya seni berikut senimannya, hanya karena Anda merasa menjadi penjaga keamaan. Jangan-jangan Anda yang justru pengkhianat yang telah merusak bangsa. Apakah jika Anda mem-backing pembalakan liar atau perjudian harus disebut pahlawan bangsa. Ketahuilah, pelukis Affandi dan penyair Chairil Anwar, atau juga Pramoedya Ananta Toer, adalah seniman-seniman yang telah berjasa terhadap bangsa dan negara.
No comments:
Post a Comment