Sunday, May 20, 2007

20 Mei

HARI ini, semua orang pantas berharap. Semua orang pantas pula memiliki kesadaran, bahwa manusia paling buruk di muka bumi ialah mereka yang telah lenyap harap. Karena itu, hari ini semua orang tetap berharap. Tak peduli harapan itu akan kembali terkubur seperti kemarin, kemarinnya kemarin, dan sekian kemarin yang hanya menyisakan kepahitan.

Hari ini cuaca nampaknya bekal cerah. Pukul 05.00 WIB, orang-orang melihat di Timur langit, semburat fajar begitu tegas. Dalam sepuluh tahun terakhir, kalau saja kau memperhatikannya, hari inilah fajar terbit dengan warnanya yang paling jingga, membuat gumpalan awan-gemawan yang tersapu, jadi ikut terbawa benderang.

Sepagi itu, di trotoar sebuah jalan yang tak tercantum dalam peta ibu kota, burung-burung gereja sudah berkerumun, bercericit, berebut remah-remah makanan yang tidak tersapu oleh pedagang pecel. Sejak 10 tahun lalu, di jalan yang tak tercatat dalam peta ibu kota itu, pedagang pecel dari Tegal mengadu nasib dengan mendirikan warung makan tenda. Peruntungannya bagus. Sejak hari itu, puluhan tenda pedagang makanan, berebut bangkit begitu Magrib surup. Pagi harinya, remah-remah makanan yang tidak tersapu oleh para pedagang, akan menjadi rebutan burung-burung gereja.

Di ibu kota, burung gereja menjadi salah satu makhluk yang disiplin. Disiplin dalam tidur, disiplin dalam bangun. Tetapi pada hari ini, burung-burung gereja bangun lebih pagi dari biasanya.

Bung Karno pernah menulis, matahari terbit bukan karena ayam berkokok, tetapi ayam berkokok karena matahari akan terbit. Hari ini, memang tidak ada keniscayaan matahari terbit terlalu cepat dari biasanya. Matahari selalu terbit tepat waktu, tidak pernah mempercepat atau memperlambat diri. Tetapi hari ini semburat fajar yang terbit nampak begitu terang, seolah-olah matahari terbit lebih awal. Tidak, matahari tidak terbit lebih cepat. Hanya saja, fajat hari ini lebih benderang, lebih kuat, membuat kegelapan cepat tersapu, membuat burung-burung gereja jadi lebih cepat tergugah dari impiannya. Apakah kau tahu bahwa burung pun memiliki impian?

Burung-burung rantau terbang menembus gelap samudra, demi mengejar impiannya. Burung-burung manyar jantan bersusah-payah merangkai sarang, demi mengejar impiannya.

Hari ini fajar terbit dengan cahayanya yang istimewa, membuat orang-orang pantas memiliki harapan, yaitu harapan akan datangnya masa pencerahan.

Hari ini, 10 tahun yang lalu, tidak ada peristiwa yang istimewa. Situasi aman terkendali. Hari ini, 20 tahun ke belakang, ada sedikit kerusuhan, namun keadaan dapat cepat diatasi. Hari ini, 30 tahun sebelumnya, orang-orang bersorak di jalanan, menyambut pemerintahan baru yang menjanjikan. Hari ini, 40 tahun yang lalu dalam catatan sejarah, Nusantara terpecah-belah. Tidak tepat di hari ini, namun di bulan dan tahun ini, 50 tahun yang lalu menurut ukuran almanak, ibu kota Negara pindah ke Yogyakarta dan pasukan Siliwangi Hijarh dari Jawa Barat ke Yogyakarta.

Hari ini, 90 tahun yang lalu, sebuah inpirasi telah membangunkan sejumlah anak bangsa yang tercerahkan, sehingga dengan bahasa yang bersahaja (kemudian oleh para founding father dirumuskan dalam bahasa yang lain), berucap: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.

Hari ini, 10 tahun yang akan datang, menurut prakiraanmu, apakah yang bakal terjadi?
Hari ini, cuaca sepertinya memang bakal cerah, tetapi sebenarnya orang-orang sedang murung, karena harga dolar dan presiden sama-sama tidak mau turun. Tetapi di hari ini, tiada pilihan terbaik kecuali berharap. Dan orang-orang pun siap tumpah ke jalan untuk memperjelas apakah harapan itu memang ada, atau sekadar mengada-ada, juga dengan suatu tekad, bahwa seperti 90 tahun yang sudah lewat, pada hari ini sejumlah insan yang tercerahkan, mengatakan, bahwa kemerdekaan ialah hak setiap orang. Oleh karena itu, setiap tirani di muka bumi harus dilenyapkan karena akan merampas hak-hak mendasar kemanusiaan.

Hari ini semua orang penuh harap. Berharap presiden dan harga dolar segera turun. Berharap masa yang cerah segera tiba. Tetapi tidak seorang pun tahu dengan pasti apa yang bakal terjadi pada hari. Semua orang hanya menanamkan dalam pikirannya suatu keyakinan, bahwa keajaibanlah yang bakal tiba pada hari ini.

Hari ini orang-orang sedang berharap. Susunggunya berharap itu ialah eufimisme dari berandai-andai. Maka sebetulnya pada hari orang-orang sedang berandai-andai. Tetapi seandainya mereka tahu, bahwa hari ini akan menjadi hari terakhir dalam kehidupannya, apakah yang akan mereka lakukan?

Apakah presiden yang telah lama berkuasa akan mundur dengan suka rela? Apakah agamawan yang zalim akan segera bertaubat, lalu menyatakan pengakuan dengan disaksikan umatnya, bahwa selama ini ia telah mendustakan agama? Apakah seseorang yang sedang merencanakan pembalasan dendam akan segera berbalik arah? Apakah orang-orang akan saling meminta maaf, dan masing-masing menyatakan menyesal telah menyakiti kalian?

Hari ini orang-orang jadi berandai-andai. Andaikan burung-burung yang sedang menentang angin di angkasa tiba-tiba seluruh bulunya bertanggalan, apakah burung-burung itu akan berjatuhan dari angkasa? Dan dengan demikian mereka tinggal memunguti burung-burung yang terkapar di tanah, mengumpulkannya lalu memasaknya?

Seandainya kehidupan mereka dikembalikan pada 10 tahun yang lalu, akankan mereka mengisinya dengan bekerja lebih keras lagi, dan tidak mengulang perbuatan yang keliru?
Berandai-andai terbit dalam pikiran sebagai suatu respon atas keadaan yang tidak nyaman, tidak menyenangkan sama sekali. Dan hari ini, walaupun cuaca bakal cerah, langit bakal cerlang, matahari bakal garang, namun cakrawala harapan mereka masih digayuti awan kelam. Belum ada tanda-tanda presiden akan turun, belum ada gelagat harga dolar bakal kembali normal.
Artinya: Ancaman PHK tetap menghantui mereka yang masih menjadi pekerja di sebuah perusahaan. Gerombolan pengemis masih akan menyerbu kota. Para agamawan masih akan berdusta. Pialang dan petualang masih akan berkeliaran. Politikus masih akan semakin membusuk. Dan bayi-bayi masih akan menangis tanpa suara.

Kejahatan masih akan merajalela. Kerusuhan masih akan meletus di mana-mana. Perpecahan masih akan semakin nyata. IMF masih akan semakin mendikte. Kekuatan asing masih akan semakin mengokohkan akarnya.

Pada hari ini, mungkin benar cuaca bakal cerah, tetapi bukan berarti bakal mengirimkan harapan yang berbuah kenyataan. Bakan awan kelam yang menggelayuti lubuk dan benak mereka semakin tebal dan mengelam. Akhirnya, orang-orang hanya bisa berandai-andai. Seandainya Bung Karno masih ada, dan seandainya Harta Karun Bung Karno itu memang ada.

3 comments:

  1. Beginilah harapanku, bukan karena aku takut kau bilang manusia buruk rupa di dunia, tapi semata kuyakini bahwa hari esok lebih.

    Seperti kuyakini bahwa tulisanmu ini sarat dengan renungan. Bernada reflektif dan kontemplatif. Tentang harapan, keraguan, dan kekesalan akan realitas hidup di negara ini.

    Tentang rezim yang terperangkap kungkungan ekonomi global. Dan melahirkan penderitaan bagi warganya.

    Kaumencoba mengajakku berpikir dan meraba apa yang terjadi sebelum hari kelahiranku. Yang tidak kuketahui seperti apa sesungguhnya. Secuil pengetahuan dari jejalan isi kepala orang, yang bercerita dengan isi kepala dan kesukaannya sendiri.

    Thus, apapun tentang masa lalu negeri ini, selalu ada harapan seperti fajar di pagi hari. Membawa terang padamu, padaku, anak-cucumu dan anak-cucuku, juga tetanggamu.

    Eh, ngomong-ngomong, bagaimana nona itu...? Patahkan saja keangkuhannya sampai dia menjerit.

    ReplyDelete
  2. Dari mana kau dapatkan rangkaian kata-kata itu? Mas Dodi ini selalu menginspirasi aku untuk terus menulis dan membaca.

    marilah kita menulis. ini prolog yang menarik untuk sebuah buku. aku pun sudah (lelah) malu menjadi orang indonesia. ada apa dengan paspor hijau kita?

    aku lelah menunduk. aku ingin mendongak. untuk sedikit kebanggaan yang masih kita punya. dan kita akan mengembiakkan kebanggaan itu, tentunya tidak untuk menjadi kebanggaan kosong.

    ReplyDelete
  3. Sepuluh tahun lagi, masihkan Jurnal Nasional terbit?

    Salam buat Iman Syukri, Dani Wicaksono, Ahmad Nurhsim, Suwidi Tono atau juga Taufik Rahzen.

    ReplyDelete

tulisan yang nyambung