
Tiga perupa berpameran dalam bingkai tema Amor Fati, atau menguak takdir dengan konsep intertekstual atas mitos dan filsafat.
TIGA perupa berpameran di Selasar Sunaryo Art Space, Jl Bukit Pakar Timur No 100, Bandung , pada 17 Juni – 15 Juli 2007. Mereka adalah Amrizal Salayan, Diyanto, dan Ristyo Eko Hartanto. Pameran dibingkai dalam tema Amor Fati, atau love of fate (cintailah takdir), dengan kurator Agung Hujatnikajennong.
Ketiga perupa ini, sama-sama lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Institut Teknologi Bandung (ITB). Bahkan Amrizal, tercatat sebagai dosen studio patung di ITB.
Dengan atribut lulusan ITB itu, ketiganya bisa dimakjulkan sebagai ‘perupa yang berkonsep’, yang mengandaikan bahwa melalui karya seni, sang perupa hendak menyodorkan gagasan untuk didiskusikan. Di balik kesenian, ada metafor, ada jagat alit untuk disusur-telusur.
Perguruan seni rupa ITB ditandai oleh dunia luar ITB, memang sebagai yang getol memaparkan konsep. Teman saya dari Bali, perupa Sujana Klungkung (Suklu) namanya, pernah menyatakan kekagukannya kepada perupa Bandung yang disebutnya agresip dalam berkonsep.
Seni rupa ITB, sekalipun didirikan salah satunya oleh Ries Mulder, guru yang seniman asal Belanda itu, yang menjadi pengusung seni rupa modernis, dalam perjalanannya mengalami pergeseran langkah, yaitu mengikuti gemuruh percaturan seni rupa di dunia saat ini, yang menyatakan bahwa kesenian modern telah selesai. Ikut sertanya perupa ITB ke dalam langkah perupa dunia, menjadi salah satu penguat dugaan Suklu, perupa jebolah ITB memang agresip mengikut
i wacana yang sedang menjadi buah tutur konstelasi seni rupa dunia.

Faham modernisme lahir sebagai pemberontakan terhadap dunia klasik yang meniscayakan fakta bahwa tindak-tanduk manusia, termasuk berkesenian, harus didedikasikan untuk kepetingan Tuhan, dewa, dedemit, gereja, agama, dan lain-lain. Sampai akhirnya berhembus era renaissance yang memelopori egosentrisme, manusia adalah pusat, dengan jargonnya yang digulirkan Descartes pada 1837: Je pense, donc je suis, atau cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).
Era Descartes ini mendatangkan pergeseran dalam dunia kesenian. Yang semula profetik, berubah menjadi profan, yang natural, menjadi artifisial, yang menghargai kedalaman, menjadi pendangkalan, yang tunggal dan manual, menjadi massal dan pabrikan. Puncak modernisme melahirkan slogan yang dicetsukan oleh Victor Counsin dari Perancis pada 1818: l’art pour l’art, atau art for art sake (seni untuk seni).
Di ITB, tentulah faham modernisme ini sempat bergaung, sehingga pada 1954, Trisno Sumardjo menyebut Seni Rupa ITB sebagai laboratorium Barat. Ketika itu, para perupa di Yogyakarta sedang mendengungkan kesenian proletar, realisme sosial, lukisan yang bagus adalah yang menggambarkan petani memanggul senjata, sedangkan para perupa dari ITB asyik-masuk dengan gaya abstraknya seperti yang diajarkan Mulder.
Tetapi perupa ITB bergeser. Justru saat ini para pengusung konsep dan gagasan di dalam karya seni, lebih mencorong dari luluasn ITB. Berkali-kali pameran digelar oleh lulusan ITB, menjadikan kesenian tidak berhenti di sebatas ekstrinsik benda-benda, bukan bentuk yang wadag belaka, lian dari yang ilahar. Ada nilai intrinsik yang tersirat, yang ingin didiskusikan sekaligus diperjuangkan.
Pameran Amor Fati itu, menjadi misal betapa kesenian adalah perantara untuk mendedahkan konsep. Terutama bagi perupa Amrizal Salayan, kesenian menjadi wahana untuk ‘berkhotbah’.
Melalui karya bertajuk Ia Ada dengan Ketiadaannya (2004, dimension variable), Amrizal Salayan mengingatkan saya pada Qalam Illahi dalam Surat Besi, yang bunyi: Huwal awallu wal akhiru, wazzahiru wal batinnu (Dialah yang awal dan yang akhir, yang nampak, dan yang tidak nampak).
Pada karya itu, ada metamorfosis sembilan lelaki sedang i’tidal, atau bersikap sidakep dalam rakaat solat untuk membacakan surat al-Fatihah. Dari kanan, ujud lelaki itu jelas dan tegas, kemudian makin ke kiri makin menghablur, hi
ngga tinggal kepompong melompong.

Saya manangkap tafisr takdir menurut Amrizal sesuai dengan qodrat manusia menurut Quran surat al-Baqoroh ayat 28: Kenapa kamu kafir kepada Allah? Padahal dulu kamu mati (tiada), kemudian Dia menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu dan menghidupkan kamu kembali, dan akhirnya kepada-Nya kamu akan kembali.
Amrizal yang kelahiran Bukittinggi, 8 Oktober 1958 itu, barangkali pengikut jejak seniman-seniman asal Sumatra Barat yang cenderung relijius (AA Navis, Hamka, Taufik Ismail, misalnya), sehingga patung-patungnya menegaskan sikap seorang muslim dalam menyikapi takdir, yaitu suratan yang imanen.
Hal itu terbaca, misalnya lewat seri patung yang menggambarkan daun pisang, yang diberinya tajuk Siklus Kehidupan, Siklus Kematian (2005, dimension variable), Zuhudnya Sangkuriang (2007, dimension variable), Manusia Daun Pisang (2004, dimension variable), Bundo Kanduang (2004, dimension variable).
Lalu Diyanto, menguak takdir dengan mengajukan teks lain sebagai bandingan. Ia mengedepankan lukisan bertajuk Ode to Sisyphus (2007, 50X30Cm, akrilik pada kanvas). Dalam mitologi Yunani, tokoh Sisyphus adalah sosok yang abadi mengangkat batu dari lembah menuju bukit. Begitu sampai puncak, batu itu menggelinding kembali ke lembah. Sisyphus mengangkatnya lagi, menggelinding lagi. Begitu dan begitu tanpa akhir.
Hal itu ia lakukan sebagai hukuman dari Dewa Jupiter yang dikhianatinya, saat Jupiter berkelahi dengan Asopus, Dewa Sungai yang anaknya, Aegina , diculik oleh Jupiter. Tetapi apakah Sisyphus tersiksa, atau jurstru bahagia?
Di depan hukuman, filsuf Socrates yang dari Yunanti itu, justru bahagia menyambut hukuman meminum racun yang mematikan. Atau sebagian sekte Syiah di Iran, justru sampai pada titik katarsis yang transendental setelah melukai diri, sebagaimana diadopsi dalam tarian seudati dari Aceh.
Melalui karya ini, Diyanto mengajukan beberapa antitesis yang menarik untuk didiskusikan. Selama ini, Sisyphus dipahami sebagai lelaki, tapi Diyanto mendeskripsikannya sebagai figur perempuan. Sedangkan pada lukisan Morning Glory VII, (2007, 200x290Cm, akrilik), Diyanto menjadikan Sisyphus itu mati, dan tinggal replikanya, cetakannya, yang masih ada, yang akan mereduplikasi para penerima takdir memanggul batu tanpa ujung itu.
Pada lukisan Morning Glory VII, ada empat batu yang dilukiskan Diyanto. Pada salah satu batu, ditulislah kata bagja (bahagia). Tiga batu lagi, semestinya ditulisi cilaka (derita), jodo (dodoh), pati (maut). Sebagai orang Sunda, Diyanto menerima takdir menyangkut empat hal yang sifatnya imanen pula: bagja, cilaka, jodo, pati di tangan Pangeran.
RE Hartanto menguak pengertian takdir dengan mengutip klausa terkenal tentang takdir, juga dari daratan Eropa: fatum brutum (terimalah takdir sekalipun getir). Ia merepresentasikan fatum brutum itu dengan menggambarkan jeroan dan tengkorak manusia yang memang nampak mengerikan. Sajak Godi Suwarna bertajuk Armagedon, adalah interteks betapa susunan faal manusia itu membikin miris bisa dilihat dengan zoom in. Karyanya yang berseri The Flesh in Mind’s Conquering # (1 dan 2) menggambarkan jeroan dan tengkorak manusia itu.

Ia menggambarkan pula bagaimana jeroan mata, telinga, dan engkel persendian manusia. Ada satu karyanya yang kenes, yaitu fotografi tentang dadanya yang bertato: fatum brutum amor fati.
Setiap bangsa, sejak jaman baheula, selalu merenung di hadapan takdir, dan mereka mengisahkannya dalam mitos. Orang Yunani piawai bermitos tentang takdir. Selain Sisyphus, tokoh lain yang digariskan dalam takdir adalah kesatria Achilles yang akan menemui ajal dalam Perang Troya. Sekalipun sudah diingatkan oleh ibunya, Dewi Thetis, agar tidak bertandang ke Troya, ia justru dengan semangat sepunuh langit sepenuh laut, ingin membuktikan takdir itu. Di Troya , ia tewas dipanah Philip pada engkel kakinya.
Juga ada tokoh Pesephone yang dikarunia tubuh molek, dengan anak-anaknya yang lucu-lucu, dan ia berahak narsistis. Tapi dewa-dewi iri, cemburu, murka, dan mengirim kutuk: seluruh anak Pesephone meninggal, dan ia menjadi segugus batu. Hal mana juga dialami oleh Malinkundang dalam hikayat batu bertuah dari Minang, atau Bandung Bondowoso dalam legenda cinta yang bertepuk sebelah lengan Lorojonggrang – Bandung Bondowoso.
Masyakat muslim terbagi dua aliran dalam menerima takdir: qodariyah dan jabariyah. Aliran qodariyah menyebut bahwa hidup manusia ibarat wayang, apa-apa yang akan dilalui sudah ditentukan Sang Dalang. Aliran jabbariyah menyatakan, takdir manusia ditentukan oleh manusianya sendiri. Baik dan buruknya sikap manusia, sepenuhnya ditentukan oleh dirinya. Tuhan hanya memberi akal sebagai forqon (pembeda).
Di Indonesia, penganut jabariyah lebih mayoritas. Karena itu, ketika biduwan Desy Ratnasari menyanyikan “takdir memang kejam”, diprotes umat, dan diubah menjadi “cinta memang kejam.”
Edisi cetak dapat dilihat di www.jurnalnasional.com edisi tabloid Minggu No.24 Juli minggu ke III
percaya dech... tapi kenapa kamu meloncat waktu gw panggil...
ReplyDelete