Sekelumit kalimat berbunyi sugih tanpa bandha, mengajarkan agar manusia tidak menempuh cela dalam berusaha.
SERINGKALI manusia baru merasakan betapa bernafas adalah berkah ketika ia salesma. Juga tidak bersyukur ketika gusi dan gigi sedang sehat walafiat. Baru nyadar, betapa gusi dan gigi yang sehat ialah kekayaan berharga ketika rasa nyut-nyut menyerang.
Itulah kita, manusia, lebih sering alfa merima kekayaan yang intangible, yang batin, yang tidak kasat mata. Kesehatan, sebagaimana juga kepandaian, keamanan, budi pekerti, akal waras, berkumpul padu bersama handai tolan, adalah maujud dari kekayaan yang tanpa benda itu.
Mungkin betul uang adalah salah satu sumber kekayaan. Tetapi apalah artinya kekayaan jika badan dan batin menderita. Mirah delima yang bergelimang toh tidak bisa menyelamatkan Firaun yang sedang sekarat ketika ditenggelamkan di Laut Merah.
Manusia bisa kaya dan raya, tanpa haru menumpuk benda-benda, menabung uang, atau bergelimang gelang atau giring-giring emas. Manusia bisa kaya tanpa harta. Namun, untuk sampai pada kesadaran itu, memang tidaklah semudah mengucapkannya. Menjadi kaya tanpa harta, bukan semata-mata di kata-kata, tapi juga di laku dan kayakinan.
Jurnalis handal awal abad 20-an, Raden Mas Panji Sosrokartono, juga baru dapat menuliskan kata-kata bijak itu setelah melanglang tahunan di Eropa, terkhusus Belanda. Adiknya Raden Ajeng Kartini itu menilus sekelumit kalimat seperti ini.
Tilaripun pangkat menangipun budi. Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasoraken. Trimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih. Langgeng tan hana susah tan hana bungah, antheng mantheng sugeng jeneng.
(Meninggalkan segala atribut, mengutamakan budi perketi. Kaya tanpa harta, kuat tanpa ajimat, menyerbu tanpa serdadu, menang tanpa merendahkan. Menerima dan pasrah, kosong dari ambisi, jauh dari rasa takut. Suka dan duka sama saja, tenang, tajam, dengan nama yang harum).
Frase Sugih tanpa bandha, memang frase multi tafsir. Namun, kita semua bisa merasakan auranya: harta bukanlah segala-galanya dalam melakoni hidup ini.
“Sugih tanpa bandha adalah adalah kearifan lokal yang multiinterpretasi. Bisa mengandung arti bahwa yang paling utama itu semestinya kita mengejar kaya spiritual,” kata Sulistyo Tirtikusumo yang menjabat Direktur Kepercayaan Kepada Tuhan yang Maha Esa, Direktorat Jenderal Nilai Budaya dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Menurut Sulsityo, masyarakat tradisional Nusantara bukan sekedar fasih mengucapkan sugih tanpa bandha, tapi menjadi pelaksana yang setia. Hingga kini, masyarakat pedalaman masih menganut hal itu. Masyarakt dayak yang masih beranting-anting, penduduk Papua yang masih mengenakan koteka, suku pedalaman rimba, masyarakat Kampung Naga, tetap hidup bersahaja. Masyarakat Papua misalnya, tetap kaya batin sekalipun dalam keseharian hanya berjaket kulit alami dan berkoteka.
“Justru ketika hutan Kalimantan dibabat, orang Dayak merasa jadi miskin, dan timbullah gejolak. Ketika emas orang Papua dikeruk, mereka berontak, dan mereka ingin menjadi kaya seperti orang Jawa,” kata Sulistyo, kemarin.
Petuah sugih tanpa bandha bukan milik orang Jawa saja, hanya karena ditulis-tegaskan oleh Raden Mas Panji Sosrokartono. Nilai yang itu bersifat universal. Milik warga dunia. Namun, warga dunia yang waras tentunya.
Sebagai misalnua, di Jazirah Arabia , ketika ditanya Malaikat Jibril apakah ingin menjadi orang kaya, Nabi Muhammad menjawab tidak ingin. Sesekali bahkan Nabi Muhammad bersedia miskin. Di India, Sidharta Gautama meninggalkan Istana berikut kemewahannya, dan memilih jalan sunyi untuk memperkaya batin.
Di Amerika sendiri, yang identik dengan kemakmuran dan kekayaan, mantan Presiden Fraklin Delano Roosevelt menulis happiness is not in me possession of money, it lies in me joy of achievement, in the thrill of creative effort.
Konsep sugih tanpa bandha sebenarnya tidak mentah-mentah menampik rezeki. Inti dari petuah ini adalah mengutakan kejujuran. Kekayaan, jika diraih melalui jalan lempang dan keringat berkucuran, kemudiah sebagiannya disedekahkan, tentu dibenarkan, bahkan dalam ajaran Islam dianjurkan. Sebab, sebuah hadis mengatakan, kemiskinan itu mendekatkan pada kekufuran. Artinya, ajaran Islam tidak menganjurkan umat menjadi duafa, tapi juga tidak memerintahkan berbuat tamak lagi loba.
Ajaran sugih tanpa bandha lebih mengajak pada perbuatan untuk mengutamakan akal waras dan kemuliaan. Orang Sunda misalnya, kalau memberi nasihat kepada anak suka berkata, sing cageur, sing bageur, (semoga sehat, semoga baik). Kata cageur juga bisa berarti waras, dan kata baguer maksudnya baik budi pekertinya. Inti ajaran itu ialah pada titah pengendalian diri, pengendalian nafsu, supaya manusia tidak terjerumus demi menegejar materi.
Memang, ustad di mesjid suka mengatakan, ada tiga kata berakhiran ta yang seringkali membuat manusia tergelincir, yaitu harta, tahta, dan wanita. Ketiga hal itu, bermuara pada nafsu manusia. Menurut ustad, ada empat nafsu manusia yang harus dikendalikan, yaitu 1) aluamah, nafsu yang berkait dengan rasa lapar, haus, ngantuk, dan lainnya, 2) amarah, nafsu yang menyebabkan marah, iri, dengki, dan lainnya, 3) mutmainah, nafsu yang menimbulkan sifat tamak, serakah, kikir, mementingkan diri sendiri, dan lainnya, dan 4) sopiah, yang menyebabkan manusia bersifat ingin memiliki, menguasai, bersenang-senang, hedonisme, dan lainnya.
Dalam sejarah Nusantara, wilayah dan etnis Jawa adalah yang paling bergolak, yang gejolak itu justru memberinya kaya falsafah. Saya setuju pada sebuah pendapat yang pernah saya baca, bahwa Jawa diciptakan supaya neraka ada contohnya. Maksudnya, bahwa manusia Jawa ketika berhadapan dengan harta, tahta, dan wanita, seringkali berdarah-darah. Bahkan, 90% sejarah kekuasaan Raja Jawa, berakhir dengan kudeta.
Sekelumit kalimat sugih tanpa bandha ini ditulis orang Jawa untuk kum manusia pada umumnya. Namun, saya memaknainya, titah ini lebih dialamatkan kepada para penguasa supaya umat tidak dibawa-bawa sengasara.
* Edisi cetak dapat dibaca pada www.jurnalnasional.com rubril Oase edisi 12 Juli 2007.
No comments:
Post a Comment