Tuesday, July 5, 2011

Inda C Noerhadi: Pasar Harus Dikontrol



Soal nilai dalam seni rupa kita, sulit dicari acuannya. Nilai dalam karya seni memang intangible dan sulit diukur. Namun ada nilai komersial yang ada ukurannya. Nilai ini pun, bisa ikut mengacaukan nilai lainnya bila tidak tidak dikontrol. Beralihnya benda seni bersejarah dari Indonesia adalah contoh karena pasar dan nilai tidak terkontrol.
Berikut perbincangan Doddi Ahmad Fauji dari Koktail dengan Inda Citraninda Noerhadi yang berperan sebagai kurator, organizer, pengurus asosiasi galeri, pengajar, dan di sela-sela kesibukannya masih sempat melukis. Inda menurutkan, pasar perlu dikontrol. Berikut petikan perbincangannya.

Bagaimana kisahnya Anda bisa berkenalan dengan seni rupa, seni lukis khususnya?
Saya dan kembaran saya lahir di Amsterdam. Ceritanya, ibu saya studi geologi di Utrech, ayah saya studi di Amsterdam, ketemu di Eropa terus nikah, kami lahir kembar di Belanda, lalu dibawa pulang ke Tanah Air. Pulang ke Indonesia naik kapal. Terus ada penumpang satu orang dari Genoa, ternyata pelukis Mochtar Apin. Pak Mochtar, memberi inspirasi bagi keluarga kami untuk bersentuhan dengan seni lukis.
Waktu kami kelas dua SMP, ibu kami, Toety Heraty, meneruskan studi filsafat di Balanda. Nah, anaknya yang sudah besar-besar dibawa ke Belanda, saya dan kembaran saya, Shinta namanya. Di sana kami sekolah di Sekolah Indonesia-Nederland SIN), Wassenaar, Den Haag, Belanda. Di SIN kami diajari melukis, guru kami melukis di SIN saat itu Pak Sri Hady. Malamnya, kami belajar melukis di Academie voor Beelden de Kunsten, Den Haag selama enam bulan.
Waktu kelas dua SMA kami pulang ke Bandung. Waktu itu ayah saya jadi guru besar di ITB. Kami mendampingi di Bandung sampai lulus SMA. Lalu saya kuliah di UI Jurusan Arkeologi, jurusan klasik. Waktu itu dosen saya Bu Edi Sedyawati, dan sekarang saya sama-sama dengan Bu Edi mengajar dua matakuliah di Arkeologi UI.
Tahun 1983 saya selesai kuliah dengan skripsi Pakaian dan Status Sosial dalam Relief di Candi Borobudur. Lalu saya belajar bahasa Inggris di Point Park College, The International Student Affairs Center: English as a Second Language (ESL), Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika. Kemudian saya mengambil program Master di Master of Arts, The Faculty of Arts and Sciences, University of Pittsburgh, Pennsylvania. Selama kuliah ini, saya belajar praktik mengenai museum dan persoalannya pada museum milik universitas.

Program apa yang Anda dalami di University of Pittsburgh?Saya mengambil Program art history (sejarah seni –red). Tesis saya mengenai ganesha hosala dari India Utara yang menjadi koleksi dari Art Museum yang lokasinya belakang-belakangan dengan universitas tempat saya belajar. Tahun 1986 saya pulang ke Tanah Air, lalu menjadi asisten dosen di UI.
Lalu ada tawaran kerja di American Express Bank, dan saya keterima jadi marketing executive. Saya mulai menggarap bank program. Akhirnya terpikir mengapa tidak coba kerjasama dengan galeri seni rupa untuk menghiasi kantor American Express Bank dengan lukisan. Waktu itu saya datangi Mondecor Gallery. Namun di tengah proses, saya ditawari kerja oleh teman di bidang konsultasi. Saya terima ajakan itu, dan dari sini saya kembali pada kesenian.
Di tempat kerja ini tidak office hour, jadi saya mulai memiliki banyak waktu luang, dan mulailah kembali belajar melukis, sampai akhirnya mulai pameran tahun 1994. Tapi sebelum pameran, pada 11 Desember 1993, saya membuka Cemara 6 Galeri ini. Tapi perlu Anda ketahui, karier saya dalam melukis, totally terpisah dengan manajemen galeri. Pameran saya selalu di tempat yang lain.

Jadi tidak pernah pameran di galeri Anda sendiri?
Pernah sih, tapi pameran bersama, dan itu juga tidak sering.



Lalu?
Pameran jalan, ngelola galeri jalan, ngajar juga jalan. Tahun 2004 saya mengambil studi doktoral mengenai hak cipta untuk karya seni lukis modern. Sekarang saya padat sekali, selain menjadi curator di Galeri Nasional, saya juga diminta mengajar oleh Bu Edi di UI untuk studi Kaidah Kesenian Hindu-Budha, Teori dan Pendekatan Sejarah Kesenian. Selebihnya, waktu saya ya di galeri ini.

Menyela sedikit, mengapa mahasiswa arkeologi itu kuliahnya lama-lama?
Karena kuliah arkeologi tidak cukup hanya duduk di bangku kuliah. Mereka harus turun ke lapangan, melihat situs-situs, ikut dalam penggalian benda purbakala. Ini membentuk watak avonturir (mengembara –red), jadinya, mereka senang menjelajahi peninggalan sejarah untuk dipelajari. Semakin sulit dipelajari, semakin asyik dan lupa kembali ke kampus.

Anda belajar praktik mengelola museum di negara modern, bagaimana dengan museum di negara kita?
Tiga minggu yang lalu saya ke Taman Mall Angrek, mengantar keponakan mau main ice skating. Saya bilang ke adik saya, ibunya keponakan saya, mengapa kita musti pergi ke Singapura, sementara di sini begitu banyak fasilitas, dan semua tersedia. Belanda apa saja ada. Mall di sini dan Singapura sama, isinya juga sama. Namun museumnya sangat jauh beda. Dari sisi toiletnya saja, kita bisa membandingkan museum kita dengan Singapura.
Belum lama saya ke Heritage Conservation Center Singapura, lalu ke Malay Heritage Museum, Asian Civilization Center, Singapore City Gallery, Museum of National University Singapore. Saya kaget di Heritage Conservation Center Singapura, karena mereka bisa menyimpan rapi peninggalan-peninggalan yang asal-usulnya dari kita, terutama tekstil-tekstil lampau. Mereka memiliki sekira 3.000 tekstil, di antaranya ada batik dari Indonesia.
Kemudian saya masuk ke Singapore Art Museum, mereka memiliki hampir 400 keramik asal Indonesia. Jumlah ini nyaris sama dengan koleksi yang dimiliki oleh Museum Seni Rupa dan Keramik negara kita.

Mengapa bisa sampai ke mereka?
Itu melalui balai lelang. Karena itu, yang menjadi pemikiran penting adalah sistem pengawasan cagar budaya benda bergerak. Ini harus menjadi pikiran kita bersama, terutama tentu pemerintah yang berwenang. Saya juga bertanya-tanya, mengapa koleksi seni milik Istana Negara dipindah semua ke Yogya, termasuk karya Rade Saleh sudah ada lima dibawa ke sana. Ini pemindahan yang sangat beresiko karena pengawasan cagar buadya kita masih lemah.
Pernah ada seminar mengenai perlindungan benda cagar budaya, termasuk yang bergerak. Saya bilang, ada peraturan pemerintah mengenai perlindungan cagar budaya benda bergerak, tapi hanya berapa radius kilo meter kita seminar dari Istana, justru ada pemindahan yang lolos dari pengawasan pemerintah. Ini bagaimana? Lalu salah satu arca dari museum di Solo bisa lolos dan dicuri, ini bagaimana?
Jadi di sini harus ada sinergi terutama di antarlembaga pemerintah sendiri, jangan sektoral seperti itu. Kita musti mencontoh Singapore jangan hanya dari mall dan puast belanjanya saja, tapi juga museumnya. Ada tiga museum di Sngapura, bekerja secara sinergi, dan saling melengkapi. Mereka melakukan konservasi bersama-sama, tidak sektoral, sehingga terkontrol.


Solusi lain?

Kita punya Asosiasi Museum, juga sekarang ini punya asosiasi galeri. Mereka harus bergerak bersama, sebab mereka punya peranan penting dalam memelihara warisan budaya, dan hal-hal lainnya. Sebagai misal Asosiasi Galeri Indonesia, memiliki peranan dalam mengontrol nilai-nilai yang berlaku di pasar. Memang asosiasi ini masih baru, jadi belum bergerak.

Siapa saja anggota Asosiasi Galeri Indonesia?Ada 13 yang turut mendirikannya. Tapi anggotanya baru 12. Ketuanya Edwin Rahardo, lalu ada saya dan Chrisdarmawan dari Galeri Semarang. Anggotanya, Duta Fine Art Foundation, Galeri 678, Cemara 6 Galeri, Nadi Gallery, Galeri Mondecor, Langgeng Icon gallery, Canna Gallery, Edwin’s Gallery, Galeri Semarang, Andy’s Gallery, Vanessa Art Link, Trisan Gallery.

Galeri Lontar di Utan Kayu bagaimana?
Harusnya Galeri Lontar masuk ke dalam asosiasi ini.
Asosiasi ini yang memang nantinya harus berperan. Karena saya lihat di Singapore, peranan asosiasi ini sangat penting dalam penyeleksian event-event seni rupa, termasuk memantau harga pasar. Saya melihat ada kehawatiran di sini kalau asosiasi tidak segera bergerak, banyak hal jadi kacau dan tidak konsisten.

Bagaimana dengan Galeri Nasional?
Galeri Nasional selama ini dikenal sebagai pusat perhelatan seni rupa. Yang paling penting di dalam rapat dewan penasehat, saya katakan, kalau hanya berbicara program kegiatan, galeri-galeri swasta juga sudah lebih agresif membuat program. Nah, Galeri Nasional harus memiliki visi dan misi kea rah museum. Galeri merangkap museum seni rupa, itu yang harus dilakukan dan tidak bisa terjangkau oleh galeri swasta kan? Lalu juga cara kerjanya harus mengikuti aturan international code dalam permuseuman dan pergalerian. Nah, permuseuman itu harus benar-benar tertib dalam registrasi karya, perawatan, konservasi, pameran, dan lain-lain. Lalu mengenai pameran dari luar galeri, harus diajukan melalui proposal dan selama ini hal itu sudah berjalan, namun memang belum bisa benar-benar selektif.

Supaya lebih ideal seperti galeri nasional di negara modern, apa yang harus segera diadakan di galeri nasional kita?
Dari sisi jabatan, Eselon III untuk kepala galeri nasional jelas ini tidak memadai. Tidak bisa berbuat banyak karena anggarannya terbatas. Tapi banyak yang bisa dilakukan meskipun baru tingkat Eselon III, seperti contohnya di Nasional Gallery Kuala Singapura yang baru akan didirikan pada 2012 nanti. Mereka menggunakan dua gedung, dan pengelolaannya semi swasta.
Nah, galeri nasional di kita juga sebaiknya dikelola semi swasta supaya bisa bergerak leluasa, secara birokrasi maupun anggaran. Paling tidak, bisa menjual merchandise, atau koleksi-koleksi direproduksi, hingga bisa dijual untuk menambah anggaran. Sekarang, semua produk galeri nasional tidak boleh dikomersialisasi. Pokoknya, galeri nasional kita memang harus dibenahi dari segala sisi. Paling tidak, secepatnya galeri nasional harus menjadi balai layanan umum.

Soal melukis, Anda masih melukis, dan kapan terakhir pameran?Oh masih. Akhir tahun lalu saya pameran, tapi pameran bersama saja.


Nama : Dr. Inda Citraninda Noerhadi, MA.,
Tempat/Tgl. Lahir : Amsterdam/16 Februari 1958

Pekerjaan :
1993 - sekarang : Direktur Cemara 6 Galeri, Jakarta, Art Consultant/Programmer untuk proyek Hotel, Perkantoran, Apartemen, Klinik dan Rumah Tinggal.
April 2006 : Pengajar pada Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Maret 2005-2006 : Ketua Bidang Admin. & Keuangan,
Maret 2003-2006 : Dewan Pengurus Harian & Anggota Komite Seni Rupa, Dewan Kesenian Jakarta

Mei 2002 - sekarang : Tim Kurator Galeri Nasional Indonesia.
2001-2002 : Pengajar pada Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Kesenian Jakarta.
1986-1993.1 : Marketing Executive, American Express, Travel Related Services, American Express.
1986 : Asisten Pengajar, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Penghargaan :
Januari 2003 : Terpilih sebagai Perempuan Pemimpin Indonesia, Tipe Bunga Melati dalam buku “Leadership Quotient”, oleh Dr. Martha Tilaar dan Wulan Tilaar Widarto, M.Sc., Penerbit Grasindo.
April 1999 : Anugerah Kharisma Kartini Indonesia, Yayasan Pembina Mode Indonesia, Majalah Mode.
Pendidikan :
Juli-Des. 2005 : Pelatihan Konsultan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bekerjasama dengan Fakultas Hukum – Universitas Indonesia.
24 Juli 2004 : Doktor dalam Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

1986 : Master of Arts, The Faculty of Arts and Sciences, University of Pittsburgh, Pennsylvania, USA.
1985 : Praktek Museum, Fine Arts Gallery, University of Pittsburgh, Pennsylvania, USA.
1983-1984 : Point Park College, The International Student Affairs Center : English as a Second Language (ESL), Pittsburgh, Pennsylvania, USA.
1983 : Sarjana Sastra, Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
1979/1980 : Penggalian Arkeologi pada Situs Candi Sodjiwan, Yogyakarta.
1977 : Penggalian Arkeologi pada Situs Sukadiri, Banten Lama, Jawa Barat.
1975 : Sekolah Menengah Atas (SMA), SMA Negeri I, Bandung.
1972 : Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Indonesia Nederland (SIN), Wassenaar, Den Haag, Nederland.
1969 : Sekolah Dasar (SD), SD Negeri Besuki, Jakarta Pusat.

Pendidikan Melukis :
1995 : Belajar pada Ben Stalk, Pelukis Belanda dan Dany Suganda.
1994 : Belajar pada Ruud Venekamp, Pelukis Belanda, Dosen Tamu di Institut Kesenian Jakarta.
1993 : Belajar pada Roelijati Soewardjono, Pendiri Grup Ekspresi Warna.
1973 : Belajar melukis di Academie voor Beelden de Kunsten, Den Haag, Nederland.
1972 : Belajar pada Sri Hadhy, Den Haag, Nederland.

Pameran Tunggal :
4 Nov. s/d 16 Des. 2000 :“Cultural Sensitivity”, The Gallery, Chedi Hotel, Ubud – Bali.
Telah puluhan kali mengikuti pameran bersama, dimulai sejak 1993, dan terakhir pada 26 Nov – 6 Des 2007: “Karya untuk Kawan III”, Komnas Perempuan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Galeri Nasional.
Pengalaman Lain :
Mei-Juni 2006 : Ketua Pelaksana II BIENNALE JAKARTA 2006, Dewan Kesenian Jakarta bekerjasama dengan Galeri Nasional Indonesia dan Museum Seni Rupa & Keramik, Galeri Lontar, Cemara 6 Galeri.
9-18 Des. 2005 : Kurator “Pameran Batik Inovatif”, karya KRT. Daud Wiryo Hadinagoro, Galeri Nasional Indonesia.
Agustus s/d Des. 2006 : Tim Penyusunan Kriteria Keaslian Lukisan, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Tahun Anggaran 2005.
Januari 2002 : Juri “Lomba Lukis Anak Sedunia”, Galeri Nasional Indonesia.
Juni 2001 : Juri “ Kompetisi Poster Jakart@2001”, Jakarta.
(dan masih banyak lagi).
Aktivitas lain di bidang seni mulai sejak 1983, yaitu:
1983 : Asisten Yazir Marzuki dalam pembuatan buku “Koleksi Museum Istana”, Jakarta.

Art Consultant / Art Programmer
2003 – 2004 : PT. Persero Danareksa, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
2003 : Le Royal Club, Le Meridien Hotel.
2004 : LeMeridien Hotel, Jakarta Pusat.
2001 : Perdana Library, The British Council, Gedung S.Widjojo Center.
(dan masih banyak lagi) Pertama menjadi art programmer pada:
1993 : Dai-Chi Hotel, Segitiga Senin, Jakarta Pusat.


#foto oleh doddi ahmad fauji
@edisi cetak termuat dalam koktail nomor 27::>> 29 maret - 2 april

catatan: perbincangan edisi ini kurang kuat, sehingga rencananya akan dilakukan wawancara ulang.

tulisan yang nyambung