Kurator, kritikus, pengajar seni rupa, adalah tiga komponen yang dibutuhkan dalam pergaulan seni rupa. Maju atau mundurnya gerak seni rupa, turut ditentukan oleh tiga komponen tadi. Karena itu, ketiga komponen ini harus memiliki dedikasi yang kuat, wawasan yang luas, dan bekal ilmu analisisi yang memadai, supaya mereka mumpuni dalam membenahi seni rupa.
Tiga komponen ini bisa saja menyatu dalam diri seseorang. Suwarno Wistrotomo contohnya. Bagaimana pendapat dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini mengomentari perkembangan seni rupa di Tanah Air, ikuti perbincangan singkat dengan Doddi Ahmad Fauji dari Koktail. Berikut petikannya.
Bisa diceritakan secara singkat hasil dari Biennale Jogja IX yang baru lewat?
Secara keseluruhan, saya ingin mengatakan Biennale Jogja IX dapat dilalui dan berakhir dengan sukses. Bahkan saya ingin mengatakan, Biennale Jogja kali ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, adalah yang paling berhasil; berhasil menggulirkan dan menawarkan tema yang bagus, menggugah, dan kontekstual, yakni Neo-Nation, berhasil mengundang diksusi kritis, berhasil mengundang 164 peserta, dan berhasil menghadirkan karya-karya yang secara umum berkualitas memadai, berhasil dibuka Bapak Sri Sultan Hemngkubuwono X, berhasil membuat Press Tour bersama Pak Sultan, mengunjugi tiga venue pameran. Insya Allah berhasil menerbitkan katalog yang bagus (rencana April 2008), dan berhasil mengundang komentar banyak pihak. Kami (kurator) dan seluruh staff manajemen, bekerja sangat serius dalam waktu hanya sekitar lima bulan.
Ada apa dengan tema Neo-Nation, apa karena mau menghadapi satu abad Kebangkitan Nasional, atau seniman dianggap tidak nasionalis sehingga harus dikasih terapi kejut?
Secara spesifik bukan bicara sebatas itu, apalagi sebuah terapi kejut. Bukan! Neo-Nation, kami (kurator) sepakati sebagai tema, karena ini mempersoalkan ikhwal identitas. Saya kira, kita tengah mengalami krisis yang cukup akut terkait dengan persoalan identitas kekitaan, ikhwal nation (sebagai identitas). Kita sering melihat gejala separatisme dengan cara semakin terbuka. Lantas kita semua seperti terkejut dan termangu-mangu, sesungguhnya apa yang tengah terjadi?
Identitas dan nation merupakan persoalan universal, melanda siapa saja, di mana saja, dengan segala variannya. Dalam berbagai lapis generasi, pasti memiliki pengalaman yang berbeda dalam hal ‘mengalami keindonesiaan’. Poin penting dari tema ini adalah upaya membaca dan memahami tentang ‘pengalaman keindonesiaan dengan cara pandang dan cara berpikir yang baru, yang terkait erat dengan problem dan pergeseran situasi sosial budaya yang melingkupi keseharian kita kini.
Anda sangat aktif menjadi kurator pameran. Prinsip-prinsip dalam mengkurasi pameran yang Anda terapkan, seperti apa?
Ya, terlampau sering ya? Tapi pekerjaan ini (kurator) tak terelakkan, dan datang bertubi-tubi. Lamaran terus datang, he he he. Seniman begitu banyak, dan kegiatan pameran juga sangat beragam. Apa boleh buat, kurator ikut sibuk. Prinsip saya sederhana, yakni karyanya menantang untuk dibaca, dimaknai, dan dipresentasikan. Kemudian pamerannya berpotensi mengundang diskusi, atau memiliki dampak (apa saja) terhadap apresiator. Maka, saya percaya, pameran semacam ini pastilah ‘ada gunanya’. Jika senimannya masih hidup, faktor seniman menjadi penting. Maksud saya, apakah senimannya cukup artikulatif, bisa berdialog, terbuka, kooperatif, serta memiliki komitmen yang meyakinkan. Aspek-aspek itu sangat penting.
Sebagai kritikus, pengamatan Anda tajam sekali, seperti tampak dalam tulisan di katalog pameran Anggar Prasetyo dan Laksmi Shitaresmi di Canna Gallery. Tapi ketika jadi kurator, tulisan Anda lebih nampak sebagai pembacaan umum dan tiada kritik yang berarti. Mengapa?
Terima kasih atas respon kritis Anda. Menurut pandangan saya, antara kritikus dan kurator memang berbeda peran dan produknya. Kritikus adalah seseorang dengan jarak kritikalnya bertindak membaca sebuah karya atau peristiwa seni rupa, dengan mengerahkan segala daya jelajah dan daya kritisnya, melihat kelemahan dan keunggulannya, mempertimbangkannya, dan (biasanya) berakhir pada tulisan. Jangan lupa, apapun kesimpulan seorang kritikus, bukanlah upaya memberikan makna tunggal atau absolut terhadap karya yang dikritiknya. Amatannya, hanyalah sepotong pemaknaan dari perspektif kritikusnya.
Sementara itu, kurator melakukan tindakan pengamatan, pembacaan, pada suatu karya atau peristiwa seni rupa, yang diakhiri dengan mempresentasikannya (menjadi pameran misalnya). Kurator hanya melakukan pengkajian dan pembelaan kritis, mengapa karya-karya (atau peristiwa) seni rupa tersebut dibaca demikian, dan dianggap memenuhi kualifikasi untuk diposisikan dalam ruang tertentu. Jadi, sangat tidak etis, jika kurator juga ‘menilai negatif’ atas pilihan karyanya. Sama seperti kritikus, hasil bacaan kurator hanyalah sepenggal pemaknaan, dengan sederet argumentasi. Penjelasan saya ini, mudah-mudahan, sekaligus dapat membantu pemahaman atas kesimpangsiuran banyak orang dalam memahami peran kritikus dan kurator, yang berpendapat, seharusnya dua hal itu dilakukan oleh dua orang yang berbeda. Saya bilang, dua hal itu bisa dilakukan oleh orang yang sama, sejauh paham, kritis, dan proporsional menyikapi pekerjaannya.
Ada yang menilai, setidaknya menurut saya, kurator itu tak jauh beda dengan art promotor atau artist promotor. Menurut Anda?
Sebagai kesadaran profesi, saya kira tidak sama. Kurator hanya berkonsentrasi pada pembacaan, pemaknaan, dan presentasi atas karya atau peristiwa seni rupa. Tugas promotorlah yang memikirkan bagaimana jejaringnya, pasarnya, atau monilitas senimannya untuk terus melenting ke dunia seni rupa yang lebih luas dan meyakinkan. Tentu saja, apa yang dikerjakan kurator dapat digunakan sebagai pertimbangan penting dalam mempromosikan seniman.
Mengapa orang selalu malu disebut kolekdol atau art dealer?
O ya, masak sih. Baru tahu saya. Yang malu mungkin yang nggak yakin dengan pilihannya itu. Kolekdol atau art dealer juga profesi terhormat lho, jika dilakukan dengan cara-cara terhormat.
Ilmu apa yang musti dikuasai untuk menjadi kurator, sebab ada kesan seseorang dengan mudah menjadi kurator independen tanpa bekal pisau analisis yang memadai?
Itulah resiko dari sebuah profesi yang demikian terbuka, di tengah tatatan yang masih rapuh. Semua orang bisa mengaku-ngaku sebagai kurator, juga setiap orang bisa mengaku sebagai seniman. Tetapi, produk, kesungguhan, wawasan, dan komitmennyalah yang akan membedakan antara yang satu dengan yang lain.
Seorang kurator, minimal paham sejarah seni, mengenal dengan baik sejumlah ilmu bantu (filsafat, sosiologi, antropologi, dll), dan berbagai fenomena kesenian atau seni rupa, agar semua pandangan kritisnya memiliki argumentasi dan dasar yang kuat.
Apa di akademik, misalnya di ISI Yogya, ISI Denpasar, ISI Surakarta, STSI Bandung, FSRD ITB, ada jurusan kuratorial?
Sejauh yang saya tahu hingga hari ini belum ada.
Berarti kurator saat ini lahir secara otodidak?
Itulah yang terjadi. Kurator di Indonesia yang sudah banyak jam terbangnya, sesungguhnya ‘melahirkan dirinya sendiri’ yang didorong oleh situasi, bahwa harus ada yang memilih dan memerankannya. Tapi saya dengar, ada beberapa orang muda, yang memiliki ijazah sebagai kurator, lulusan luar negeri. Bagus itu. Kita tunggu debutnya.
Mengapa perguruan tinggi seni rupa di Tanah Air belum ada yang membuka jurusan Art History atau Kritik Seni, apa memang belum dibutuhkan?
Seperti Anda tahu, kita ini nyaris selalu terlambat merespon gerak zaman. Begitu kan? Anda juga tahu, betapa kini Kritikus atau Kurator sesungguhnya sangat diperlukan? Saya pribadi, sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu mewacanakan, setidaknya di internal lembaga saya (ISI Yogyakarta), untuk membuka jurusan, atau minat utama teori seni. Tetapi lembaga masih belum mau merespon.
Apakah perguruan tinggi seni rupa di Tanah Air sudah ideal secara komprehensif? Apa yang masih kurang dan perlu segera diperhatikan oleh pemerintah?
Saya harus jujur mengatakan, belum ideal. Meskipun, Anda tahu, Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta memiliki alumnus yang demikian moncer dan gemerlap di panggung seni rupa Indonesia, bahkan Internasional. Tetapi, tentu tidak serta merta bisa diklaim, itu sepenuhnya mencerminkan kondisi lembaga yang ideal. Sebab kemonceran para alumninya itu ditentukan oleh banyak faktor. Tetapi secara umum, kelemahan dalam lembaga pendidikan tinggi seni rupa kita adalah, antara lain, miskinnya fasilitas (studio dan pirantinya), etos dan didiplin (dosen dan mahasiswanya) yang lemah, masih kesulitan menciptakan academic atmosphere, bahkan kadang di beberapa jurusan terlihat disorientasi.
Penerapan jurusan atau minat utama seni lukis, seni grafis, seni patung, kriya, dan disain, mungkin saja perlu ditinjau kembali, dalam pengertian dikuatkan sekalian, atau diubah. Nah, ini persoalan kurikulum, terkait dengan birokrasi yang tak semudah membalik telapak tangan. Kuncinya, menurut saya, diperlukan para birokrat yang visioner dan responsif terhadap perubahan, sehingga berusaha selalu tepat memosisikan diri dalam arus perubahan yang demikian cepat. Tentu saja, pemerintah harus paham dan berkehendak (memiliki political will), bahwa memperhatikan pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi negeri ini di masa depan. Kesenian kita, khususnya seni rupa kita, demikian gemilang potensinya, tetapi apakah pemerintah tahu potensi ini? Apakah anggota DPR yang sering akrobatik itu tahu potensi dan kepentingan (pendidikan) kesenian bagi negeri ini?
Meloncat ke soal lain. Bagaimana Anda menilai karya para perupa Indonesia yang belakangan ini laku dengan harga mencengangkan di balai lelang Singapura atau Hongkong?
Soal kualitas, ya ada yang bagus, ada yang biasa. Saya berpendapat, dunia lelang adalah dunia antah-berantah. Banyak hal yang tidak masuk akal, bisa terjadi di ruang lelang. Tapi itu tak apa-apa. Biar aja. Bukankah seni rupa menjadi berpotensi memacu adrenalin, kayak nonton sirkuit F-1? Yang penting, apa yang terjadi di ruang lelang (harga-harga) jangan dijadikan refensi oleh seniman/perupa untuk menentukan langkah dan sikapnya. Sebab bisa gawat, karena sang seniman berada di dunia tidak nyata. Karena itu, diperlukan kesepahaman, antara seniman dan promotornya, entah galeri, manajer, atau art dealer-nya. Ini memang gampang diomongkan, tapi menjadi utopia kayaknya ya, ha ha ha ha. Ya, saya bisa ngomong, karena saya memang bukan seniman, bukan pedangang, juga bukan makelar ha ha ha.
Mengapa pelaku seni rupa (terutama art promotor, pemilik galeri, kurator dan kritikus) tidak pernah memperlakukan secara adil karya seni rupa seperti lukisan kaca dari Cirebon, lukisan dari Jelekong atau Sukawati, atau patung dan gerabah karya seniman tradisi. Apa karya mereka itu jelek atau biarkan saja disebut kerajinan?
Ha ha ha saya juga punya pertanyaan seperti Anda untuk promotor atau galeri. Mari kita dorong mereka membagi perhatiannya. Tentang kurator atau kritikus, saya kira memang mereka tengah “diserap” oleh kekuatan modal. Dalam kalkulasi pasar seni rupa sekarang ini, seni tradisi, atau seni rakyat, tidak menjadi bagian yang penting, kecuali terjadi ‘pencanggihan’ format. Tapi sesungguhnya tidak demikian yang terjadi di perguruan tinggi seni. Banyak kajian akademik tentang seni-seni yang Anda sebutkan itu, tetapi masih berhenti dan teronggok di perpustakaan jurusan atau lembaga penelitian. Mengapa? Karena belum ada promotor yang peduli.
Anda perhatikan, sponsor-sponsor besar, masih juga mempertimbangkan aspek pasar jika ingin memberi dukungan. Idealnya, terdapat banyak institusi pendukung atau penyangga, yang membagi perhatian, dan memberi ruang bagi seni-seni yang masih di atau terpinggirkan. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Bentara Budaya Jakarta atau Yogyakarta, oleh Rumah Budaya Tembi, oleh Yayasan Karta Pustaka di Yogyakarta, adalah contoh yang menarik, karena institusi tersebut memberikan ruangnya bagi seni-seni yang tengah redup.
Bagimana nasib seni rupa Nusantara setelah pejuangnya, Mamannoor, tiada?
Memang, harus diakui Kang Maman memiliki komitmen yang tak tertandingi untuk memenuhi ambisinya menghadirkan Seni Rupa Nusantara. Saya kira usaha Kang Maman tetap menjadi inspirasi. Hanya saja pendekatannya berbeda-beda. Kawan-kawan kurator di Galeri Nasional Indonesia, saya percaya, akan meneruskan gagasan dan semangat ini dengan caranya sendiri.
Mengapa seni rupa China melaju pesat, dan kita jadi pengekor mereka?
Seni rupa China maju pesat ya. Tapi kita jadi pengekor, benarkah? Yang kurang pada kita adalah, kita ini terlampau sibuk dengan diri sendiri, tak ada kehendak untuk sinergi dan bersama-sama, sambil menisbikan kerja orang lain. Contohnya, salah satunya seperti saya sebut di muka, tentang tulisan di koran luar negeri itu. Sudah demikian, tak ada back up dari negara. Tak harus uang lho, tapi berupa kebijakan, kan bisa. Kemudian yang sangat tampak adalah etos kreatif dan etos kerja. Kita lebih lembek, mudah merasa puas, padahal belum apa-apa, atau belum jadi siapa-siapa. Mudah jadi bintang, dengan kelas tertentu, padahal sesungguhnya masih entah siapa? Seniman kita yang berada di level bintang yang sesungguhnya masih terlampau sedikit, antara lain Heri Dono, Entang Wiharso, Agus Suwage, Nindityo, mungkin juga Eko Nugroho.
Dari aspek etos kerja, dan fasilitas yang ada, juga kekompakan pilar penyangganya, China sungguh tak main-main. Lihatlah fasilitas dan suasana akademi dan proses belajar-mengajarnya, studio para seniman, kompleks galeri yang dibangun negara, event-event prestisius seperti biennale, triennale, dan art fair yang gegap gempita. Lihatlah sikap organisasi, asosiasi, kritikus, atau kuratornya. Nggak ada yang merasa paling cerdas, kemudian menghina-hina kurator lain. Hampir tak ada kritikus hanya melihat negatifnya, kemudian dijual di luar negeri. Hampir tak ada itu. Kita masih harus belajar banyak. Antara lain belajar membuka diri, toleran tanpa kehilangan sikap kritis, dan bersedia menghargai capaian-capaian orang, sekecil apapun capaian itu.
Apa yang Anda bayangkan, atau harapkan dengan seni rupa Indonesia tahun 2015?
Mengapa pada tahun 2015? Pendek amat, cuma jarak tujuh tahun dari sekarang? Apa yang bisa kita lakukan denga hanya tujuh tahun? Mengingat kita ini termasuk orang yang sulit belajar dari sejarah. Buktinya? Banyak, bagaimana Galeri Nasional yang belum bisa leluasa membuat program-progam penting, karena tidak leluasanya anggaran? Bagaimana kita masih terlalu miskin kajian yang dapat dipublikasikan. Bagaimana kita masih terengah-engah mewujudkan museum yang baik dan benar, dsb. Tetapi jika kita mau, tujuh tahun cukup untuk memulai dan bebenah, bekerja serius, fokus, untuk meraih yang ideal itu.
Cita-cita utopis Anda dalam bidang seni rupa?
Ha ha ha banyak. Antara lain, saya memimpikan, ada sponsor yang rada nekad, ‘membiayai saya untuk riset dan penulisan, sampai mepublikasikannya’, tanpa direcoki oleh pekerjaan lain, sehingga dalam beberapa waktu, selama riset, saya dan keluarga saya tetap aman, damai, sejahtera, dan hanya diselingi mengajar mahasiswa, ha ha ha. Asik ya? Bagi saya, ini membayangkan kemewahan, hingga dapat diprediksi, dalam sekian tahun terbit sekian buku. Tetapi di Indonesia, hal itu masih mimpi terlalu mewah. Sebab belum ada sponsor yang nekad berinvestasi dalam bidang kebudayaan.
Hobi Anda sehari-hari di luar seni rupa?
Sederhana saja, baca buku, dengerin musik apa saja, terutama jazz, dan sambil sesekali sibuk dengan tanaman di halaman rumah. Saya ini orang rumahan, betah di rumah, ngobrol dengan keluarga, dengan isteri, kadang-kadang dengan mertua atau saudara, sambil melihat dua anak saya yang mulai sibuk. Anak pertama, laki-laki (Gading) kuliah semester dua di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, yang kedua (Gita), kelas tiga SMA 9 Yogya, sedang ada di Vermont, USA, mengikuti program YES (Yout Exchange Studies), yang akan segera kembali ke Indonesia Agustus 2008 nanti. Sering kawan-kawan datang ke rumah, ngobrolin apa aja. Sederhana ya....! Sesekali, kalau keuangan dirasa longgar, belanja beberapa buku dan CD. Wah, terasa seperti orang kaya lho, belanja kok buku dengan CD (Compact Disk) ha ha ha ha....!
Suwarno Wisetrotomo, dilahirkan pada tgl 10 Januari 1962 (meskipun karena kesalahan sejak awal, tertulis di surat-surat resmi 29 April 1962), di Kulon Progo, Yogyakarta, anak ke 12 dari 11 bersaudara. Menyelesaikan pendidikan SMP di Kulon Progo (1978), pendidikan seni rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR/dulu SSRI) Yogyakarta (1982), pendidikan S-1 Seni Rupa di Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI Yogyakarta (1987), dan menyelesaikan Master (S-2) di UGM Yogyakarta (2001). Sejak 1989 menjadi Dosen di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, dan (sejak 2005) mengajar di Pascarjana ISI Yogyakarta.
Di samping menulis kritik dan mengkuratori berbagai pameran, baik di dalam maupun di luar negeri, juga menjadi Pemimpin Redaksi ARS-Jurnal Seni Rupa dan Disain (sejak 2006), menjadi Editor Majalah Kebudayaan MATA JENDELA (sejak 2005), menjadi Anggota Redaksi Jurnal SENI-Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni ((sejak 1992), dan menjadi Anggota Dewan Kebudayaan Propinsi DIY (2001-2008).
Menjadi pembicara di berbagai forum seminar di dalam negeri maupun luar negeri, antara lain, sebagai Pembicara pada “Conference Contemporary Art with Humanity Concern” dalam rangka The Second Beijing International Art Biennale, di Anhui, China (23-25 September 2005); menjadi Pembicara pada International Aesthetic Conference ASIAN Society of Art, di Villa Prana Shanti, Gianyar, Bali (10-14 Nopember 2006), dan menjadi Pembicara dalam “The Tide of the Art Studies of Asia – The 5th International Aesthetic Conference” di Ritsumeikan University, Kyoto, Jepang (29-29 Agustus 2007).
#foto >:: dok pribadi
@edisi cetak termuat dalam koktail edisi 25::> 13 - 19 maret 2008