Tuesday, July 5, 2011

Tisna Sanjaya: Jangan Konsumtif Melahap Kehadiran Media Baru



Salah satu karakter seniman adalah kukuh dalam prinsip. Ia tidak mudah goyah oleh iming-iming pembaruan, tidak lekas hanyut oleh arus perubahan, tidak gampang tergiur oleh gemerlap kemewahan. Tetapi seniman kreatif tidak mandeg, tidak keukeuh memonopoli estetika seakan paling benar, melainkan lentur dalam pendekatan tolerans dalam bersikap. Memandang seluruh aliran estetika sama dan sederajat, dan terbuka menerima segla kemungkinan eksploratif.

Pendepat itu mengemuka dari perupa yang juga pengajar seni grafis di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Tisna Sanjaya dalam perbincangan dengan Doddi Ahmad Fauji dari Koktail. Berikut petikannya.


Apa kabar, sedang sibuk mengerjakan apa saja belakangan ini?Alhamdulillah saya selalu disibukkan oleh pekerjaan menumbuhkan energi yang menyenangkan. Belakangan ini, saya sedang intensif dengan karya seni di televisi STV sebagai Si Kabayan Nyintreuk, sudah berjalan satu tahun lebih, yang ditayangkan tiap malam Selasa pukul 17.30, sudah 54 episode. Tonton aja deh.
Saya juga sedang mencari ilmu ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya untuk program doktoral. Di sana menemukan tema Air, wah ajaib. Saya bersyukur di sana dipertemukan dengan orang-orang yang selalu mencintai kesenian dan kebudayaan sebagai jalan perjuangan hidup. Juga sedang asyik mengerjakan karya seni untuk pameran tunggal di Art Sphere Gallery Jakarta Bulan Maret, dan Bulan Desember 2008 Pameran Tunggal di Galeri Nasional. Tahun 2009, diundang Pameran Tunggal di VWFA Gallery Contemporary Space Singapore. Beberapa pameran bersama tahun ini sedang saya siapkan secara khusus karya-karyanya.


Saya dengar informasi melalui pameran grafis di Galeri Soemardja ITB, Anda mengajak mahasiswa seni grafis FSRD ITB untuk mengobrak-abrik teknis grafis konvesional, maksudnya?Waaah, ngga benar. Masa teknik konvensional diobrak-abrik? Nggak boleh dong. Kita harus mempelajari teknik seni grafis konvensional secara mendalam, apalagi di perguruan tinggi seni rupa, wajib hukumnya mempelajari dan menguasai teknik etsa, litografi, cetak saring, cukilan kayu, digital print, dan banyak beragam teknik serta konsep seni yang perlu dipelajari sebagai dasar-dasar untuk perjuangan mencapai seniman sejati. Dengan media teknologi canggih serbakomputer serta proses kreatif yang berhubungan dengan pengetahuan bahan seni grafis, mempelajari proses kreatif seniman grafis mulai dari Albrecht Durrer, Kathe Kollwitz, Otto Dix, Dieter Roth, Hokusai, Suromo, Mochtar Apin, Haryadi Suadi, Ay Tjoe Cristine. Andre Tanama sampai pada generasi seni grafis komunitas Decenta, Taring Padi, Grafis Minggiran, Grafis Distro, Grafis Underground Ujung Berung, Grafis Red Point dst.
Yang harus diobrak-abrik atau dirombak itu mungkin pola pikir yang mandeg, pemalas, ke pola pikir yang kreatif mau terus belajar. Seniman grafis mestinya, ya berkarya secara tekun, sabar dan berani menyampaikan karya seni grafis sebagai pilihan jalan hidup. Jika sudah khatam dasar-dasar pembelajaran seni grafis, kita akan memasuki taraf pembebasan. Artinya, kebebasan kreatif itu tidak gratis, tapi dicapai dengan eksplorasi, memasuki dulu proses yang sepi dari hiruk pikuk mode yang serbapolitik kebudayaan instan.


Dengan adanya penemuan piranti teknologi digital dan pencanggihan software komputer, sepeti apa dampak dan perkembangan wacana grafis di tingkat inetrnasional?Semua media dari yang sederhana serbamanual seperti seni grafis cukilan kayu atau plat tembaga yang di-etsa, sampai media supercanggih serbadigital print, itu hanyalah alat! Kita harus mengenal, mengetahui dan memahami semua peralatan itu untuk tujuan menjadi karya seni. Nah, untuk sampai pada tingkat karya seni yang sungguh-sungguh, karya seni itu tidak gampang. Harus melalui proses perjuangan. Antara lain berjuang untuk rajin berkarya seni, untuk membaca tidak hanya bidang seni grafis, tapi berbagai hal yang fokus untuk menumbuhkan energi penciptaan karya seni.
Perkembangan dan wacana seni grafis di dunia tentu saja tidak serta merta hanya ditentukan oleh kecanggihan alat atau media yang dipergunakan, tapi sejauh mana isi, intensitas, komitmen karya seni maupun senimannya dalam karya seni dan menyikapi kehidupan ini. Contohnya, seorang seniman grafis Nicolas De Yesus dari Mexiko yang baru berpameran seni grafis di ARK Gallery Jakarta beberapa waktu lalu, dia mempergunakan media manual etsa yang sederhana, tapi karya seninya sangat menawan, penuh energi. Ratusan karya seni etsa Nicolas diciptakan dari tema kontekstual perlawanan kultural yang santun sebagai etnik Indian yang hidup di Mexiko, yang mulai terdesak oleh prinsip kapitalisasi. Karya seni etsanya mampu mendorong dan menjembatani warganya untuk menyuarakan penghentian kekerasan proyek pembangunan dan atau proyek pembangunan yang merusak alam, dan karya seni etsanya demikian indah dicetak di atas kertas yang dibuat oleh warga sekitarnya, dicetak dengan kwalitas yang prima konstan dengan edisi yang cukup banyak, di atas 75 edisi. Karya seni grafisnya kokoh, sehingga hampir semua museum, galeri, serta perorangan mengoleksinya.


Dampaknya di Indonesia?Kita harus antusias terhadap perubahan zaman dan perkembangan berbagai piranti media dengan cara merayakan dengan kerja keras, dengan rendah hati mau belajar lagi. Sebagai seniman, tentu jangan jadi konsumtif melahap kehadiran media baru ini, jadi perayaan atas jalan pintas mencipta untuk nafsu ekspresi yang serampangan. Membuat karya seni grafis di atas batu litografi yang sangat terbatas, baik format maupun edisi mencetaknya, tidak lantas jadi rendah dibanding digital print yang mampu mencetak dengan cepat, beragam warna, format yang tak terbatas.
Saya kira, juga yang terjadi dalam dunia teater dan film dengan munculnya puluhan stasiun televisi yang menayangkan setiap hari berbagai sinetron. Apakah lantas teater mati? Justru dunia teater dan seniman teater yang punya komitmen semakin menawan, seniman film sejati semakin fokus dan bersinar dalam konteks kebudayaan. Dalam berbagai hal, atas nama perubahan, reformasi saya kira bertahap akan kita raih, pemenangnya adalah mereka yang optimis pada komitmen yang mau bekerja keras, hijrah dari pesta kerumunan untuk menyepi masuk ke dalam perubahan itu sendiri.


Dengan adanya situs pribadi semisal blog, friendster, dan sebagainya, seni dasain grafis mendapat apresiasi luas dari masyarakat, terutama generasi muda, tapi mengapa orang-orang seni rupa masih juga menganggap seni grafis itu nomor dua setelah seni lukis? Kita harus mempercayai dunia yang kita tekuni dengan sabar dan tawakal. Tak ada kelas satu dan kelas dua. Kok kesenian disamakan dengan tinju, ada kelas berat, ringan, kelas layang. Seni jangan hanya diukur oleh kuantitas. Kualitas seni lukis tidak selalu paralel dengan nilai harga lukisan yang terjual. Coba Anda bayangkan, para pemain teater atau penyair. Berapa harga satu puisi, berapa honor sebagai aktor teater setelah berbulan-bulan berlatih dan pementasan hanya satu dua hari dengan bayaran nasi bungkus setelah pementasan?
Seni lukis dan seni grafis itu media, proses kreasi penciptaan, tata cara, medan sosialnya dst. Berbeda. Tentu saja kritikus seninya juga harus yang punya wawasan, pengetahuan yang memadai untuk kedua bidang ini, demikian juga harga dan pasarnya juga berbeda.


Bisa Anda prediksi masa depan seni grafis di Indonesia?Masa depan seni grafis di Indonesia adalah proses akumulasi dari apa yang kita kerjakan hari ini atas pembelajaran dari kemaren.


Selain menggrafis, membuat instalsi, belakangan Anda juga melukis. Mau menjadi perupa generalis, serba bisa, atau tergiur pasar seni lukis yang berkali-kali mengalami booming?
Saya hidup dan belajar dari tradisi seni tahun 80an, sejak mahasiswa di seni rupa IKIP sampai di ITB, tidak pernah saya dan komunitas saya membatasi diri dalam ruang kesenian yang ekslusif satu bidang seni grafis, saya bergabung dengan Studiklub Teater Bandung sebagai penata artistik atau sebagai aktor, juga dengan kelompok teater di Kampus. Jaman saya mahasiswa, antara studio seni lukis, grafis, patung, dan keramik berada dalam satu kesatuan, istilahnya major seni, jadi kami belajar semua cabang seni rupa, juga minor desain. Apalagi dalam komunitas Jeprut, tak dikungkung oleh formalitas cabang kesenian, dilanjutkan dengan pengembangan pada performance art, dan seni instalasi.
Demikian kecilnya wawasan kita jika hanya masuk pada salah satu kotak formalisme seni grafis. Jadi buat saya, medium seni lukis di atas kanvas, merupakan salah satu medium ekspresi yang biasa saja, seperti juga media seni patung, teater, instalasi, performance art, dll. Jika saat ini seni lukis kebetulan sedang mengalami fase booming dan lukisan saya berada dalam ruang lingkup transaksi pasar, tak ada yang aneh.


Ada beberapa pelukis yang memanfaatkan teknik grafis, yaitu mendasain objek dalam komputer, hasilnya diprint dalam kanvas, kemudian dilabur dengan cat, bagaimana Anda mengomentari metode melukis seperti ini?Teknik seni grafis telah banyak memberikan inspirasi pada seniman, seperti karya Andy Warhol yang mencetak karya seri foto seniman sahabat-sahabatnya yang dicetak dengan media silk screen print di atas kanvas. Juga seniman POP ART lainnya seperti George Hamilton. Seniman Robert Rauschenberg mencampuradukan berbagai kemungkinan teknik seni grafis ke atas kanvas menjadi karya seni lukis. Demikian pula karya FX Harsono yang mempergunakan media digital print ke atas kanvas. Agus Suwage karya potret dirinya dicetak dengan media grafis di atas kanvas, lalu diberi tambahan brush stroke dengan cara manual cat minyak. Pada karya seni lukis Deden Sambas dan Irman Rahman dari Bandung, memakai teknik Cego alias Cetak Gosok yang sangat sederhana, menggosok bagian belakang teks atau gambar foto kopi yang telah di laburi minyak terpentin, hasilnya nempel seperti sebuah kolase di kanvas.
Kekayaan visual dan karakter seni lukis akan semakin indah jika senimannya banyak melakukan eksperimen dalam pengolahan bahan. Seniman muda sekarang banyak yang berkaraya seni lukis dengan memakai media komputer, in focus, atau OHP sebagai alat bantu untuk mentransfer image dari proses fotografi.


Komentar Anda terhadap bidang seni rupa secara komprehensifMedan sosial seni rupa di Indonesia sangat menarik. Selalu terjadi perubahan yang dibayar dengan munculnya perupa-perupa pengganti dari setiap perubahan dengan diikuti oleh para pemikir dan proses terciptanya infrastruktur yang absurd, tapi tetap hidup dan penuh gairah. Yang harus menjadi perhatian kita adalah bahwa gairah panen ini menyebarkah ke bidang seni rupa yang lain selain senirupa, lebih sempit dan kerdil lagi seni lukis kontemporer?


Apa yang kurang dalam dunia seni rupa?Wah tentu kita harus kritis dan mencari solusi terhadap dunia pendidikan seni rupa di Indonesia.
Perguruan tinggi seni rupa kurang antisipatif dalam menyikapi perubahan zaman, proses reformasi selama 10 tahun harus menjadi momentum yang kuat untuk segera melakukan perubahan. Staf pengajar harus mulai ditawarkan pada publik, jika keadaan terus seperti ini dipertahankan, maka akan selamanya mengalami kebuntuan. Demikian pula posisi rektor dan dekan mestinya ditawarkan jabatan ini pada publik untuk audisi.


Apakah media massa sudah mendukung kegiatan kesenian?Perubahan, perayaan atas gairah kebebasan berekspresi yang diraih oleh medan sosial seni rupa di Indonesia, adalah ruang yang dibuka, dimerdekakan, oleh media massa.


Galeri di Tanah Air kembali bertumbuh seperti pada awal reformasi, apakah ini dampak dari booming seni lukis, atau karena fenomena lain?99 % tujuan komersial, akibat dampak booming seni lukis, hampir seluruh galeri yang tumbuh di Indonesia belakangan ini mestinya juga, misalnya memamerkan seni lukis kaca Cirebon, seni lukis jelekong, seni rupa penyadaran komunitas Kagunan Tulungagung, Seni rupa gerbong bawah tanah, seni grafis underground, dst.


Galeri Nasional yang ideal menurut Anda?Jabatan ruang publik seperti Galnas, Taman Budaya, Kepala Disbudpar, Rektor dan Dekan perguruan tnggi seni, pemimpin redaksi media kebudayaan, sebaiknya ditawarkan kepada publik, pelamar membuat proposal, presentasi, audisi. Tim penilai berbagai pihak dari mulai pihak sponsor, pakar, wakil dari masyarakat kebudayaan, wakil dari institusi, dst.


Sekarang memasuki lagi tren booming seni lukis jilid keempat, komentar Anda?
Seniman yang terjual karyanya, kolektor dan kolekdol yang meraup hasilnya, serta pihak-pihak yang beruntung mendapat rezeki dari perayaan boom seni lukis, hendaknya menyisihkan rezekinya untuk solidaritas pada bidang kesenian yang intensif, tapi jauh dari melimpahnya uang. Seperti pada kasus maestro penari topeng cirebon Mimi Rasinah yang akan menjual seluruh topeng karuhunnya untuk biaya pengobatan. Dari panen boom seni lukis, sebagian kecil saja yang karyanya beruntung terjual, banyak juga seniman pelukis lain yang belum beruntung. Kejadian booming lukis dibangun secara absurd, panjang, oleh berbagai pihak, infrastruktur dan sejarah panjang seni rupa di Indonesia.


Semakin bermunculan seniman akademisi di Tanah Air, apa memang menjadi seniman harus melalui jalur akademis, terutama agar diperhitungkan?Menjadi diperhitungkan sebagai seniman tidak melulu melalui jalur akademi, sebab banyak seniman besar yang muncul dari proses secara alamiah dan belajar secara fokus dari keseharian.


Tapi mengapa dunia akademik kurang melahirkan kritikus seni rupa yang berbobot?Banyak juga kritikus seni rupa kini yang kuat dan selalu belajar dari proses perubahan dari konteks yang terjadi.


Idealnya seperti apa institusi pendidikan seni rupa di Tanah Air ini?Pendidikan seni di Indonesia adalah yang bisa menjadi oase bagi banyak orang, tempat untuk betul-betul memperdalam bidang seni rupa secara profesional yang melahirkan seniman, pendidik, desainer, pemikir, dst. Dosen-dosennya selalu melakukan eksplorasi, eksperimental, kreatif dalam proses penciptaan karya seni, tidak gampang tergiur sebagai tim sukses para politikus busuk, sehingga senimannya jadi buruk dan memble karyanya. Juga tidak gampangan kompromi menjadi barang instan karena tergiur oleh utopia pasar seni lukis.


Anda masih bermain bola?Ya, main bola adalah bagian dari proses kreatif saya sebagai seniman. Hampa rasanya jika tidak berada dalam medan sosial sepak bola.


Kaitan kesenian dan bola, di mata Anda?Sebagai seniman etsa saya berkarya sangat personal, sendiri menyepi ke ruang asam, ruang disiplin proses mengetsa yang berkarya di atas sebidang plat logam yang menoreh melukis di ruang, di atas sebidang logam yang gelap pekat. Saya menemukan kerja ensemble, kerja kolektif dalam kerumunan bermain bola yang tertunda di saat meng-etsa. Sepak bola semacam katarsis.


Bisa diceritakan cita-cita utopis Anda dalam bidang seni rupa?Saya mempercayai seni sebagai jalan hidup. Mestinya kita mampu jika bareng-bareng untuk membuat sebuah komunitas kebudayaan yang bisa memberikan inspirasi terciptanya kehidupan untuk saling menghargai kemanusiaan, sebagai energi pendorong untuk perdamaian, memberikan keterampilan dan menciptakan lapangan pekerjaan yang berguna untuk banyak orang, inspirasi seni kita terus didorong untuk mampu memberikan vibrasi kebaikan dari carut marut situasi bangsa kita tercinta ini.


Tisna SanjayaLahir di Bandung, 28 Januari 1958

Pendidikan
- Seni Rupa ITB 1979-1985
- Hohschuele fuer bildende kunste braunschweig jerman 1991-1994 dan 1997-1998 Meisterschueler.
- Studi program doktoral di ISI Yogyakarta (sedang berjalan).
Pameran antara lain di APT Brisbane Australia, Gwangju Biennale Korea, Triennale seni grafis Sapporo Jepang, Venice Biennale Italia, dan lain-lain.

}} foto oleh argus firmansyah
@edisi cetak termuat pada koktail edisi 24::>> 6 - 12 maret 2008

tulisan yang nyambung