Profesi kritikus kesenian, an sich kritik seni rupa, memang susah tempatnya di negeri ini. Sebab pula tidak banyak media massa yang mau secara khusus meng-endorse seseorang yang berposisi sebagai kritikus seni di media massa, kebanyakan hanya menugaskan wartawan-wartawan atau reporter yang ngeliput-ngeliput dan nyontek press release aja.
Pendapat itu disampaikan oleh Farah Wardani kepada saya dalam perbincangan kali ini. Seni rupa jelas membutuhkan orang seperti Farah, yang bergiat dengan sungguh-sungguh melakukan riset, melakukan pembacaan terhadap karya, atau mengomentari fenomena yang terjadi dalam seni rupa. Bagaimana Farah mengomentari fenomena seni rupa di Tanah Air khususnya, termasuk soal harga lukisan yang melambung, atau kondisi Galeri Nasional, berikut perbincangannya.
Apa kabar Farah, lama tidak ketemu. Sekarang sedang sibuk apa?
Baik. Sekarang saya sibuk menjalankan lembaga nirlaba yang berfokus pada riset dan dokumentasi seni rupa di Yogya, namanya Indonesian Visual Art Archive atau biasa disingkat IVAA. Ini adalah transformasi dari lembaga sebelumnya, Yayasan Seni Cemeti yang sudah berjalan sejak 1995. Kalau mau lebih jelas, bisa buka web kami di www.ivaa-online.org.
Mengapa sekarang pindah ke Yogya?
Memang waktu itu saya ditawari menggantikan Aisyah Hilal, direktur YSC sebelumnya, dan sekaligus merancang transformasi lembaga yang memang berada di Yogya ini. Selain itu, saya merasa Yogya lebih kondusif untuk kerja kesenian, selain karena kota ini memang pusat produksi seni rupa kontemporer di Indonesia, juga karena ritme hidup yang lebih rileks, dan suasana memungkinkan untuk lebih fokus pada pekerjaan saya. Tapi saya masih bolak-balik Jakarta karena keluarga dan sahabat-sahabat saya ada di Jakarta, itu tetap rumah saya. Jadi saya ke Jakarta seperti mudik liburan, berbeda dengan banyak orang lain.
Tidak semua orang tahu bagaimana Anda berkenalan dengan seni rupa, bisa diceritakan!
Seni rupa seperti apa? Seni rupa itu luas sekali, desain, arsitektur dan fotografi itu juga termasuk seni rupa. Kalau dunia seni rupa “murni” seperti yang sekarang sedang boom ini, itu hanya bagian kecil dari praktek seni rupa keseluruhan. Kalau dari kecil saya sudah berkenalan dengan seni rupa, memang kegemaran dan kebisaan saya dari dulu itu, waktu kecil kerjanya hanya menggambar dan baca komik atau buku-buku bergambar. Sampai kuliah akhirnya saya memutuskan masuk ke Desain Grafis Trisakti, karena memang tak membayangkan mau kerja yang lain selain yang berhubungan dengan dunia visual. Tapi kalau berhubungan langsung dengan dunia seni rupa kontemporer seperti sekarang ini, mungkin sekitar enam tahun lalu ketika saya sempat tinggal di Yogya beberapa bulan, magang di Rumah Seni Cemeti. Setelah itu, ya coba melakukan apa saja yang saya bisa di wilayah ini.
Lalu memutuskan studi arts history, mengapa?
Tidak ada alasan khusus selain saat itu saya (tahun 1999) memang maunya explore saja. Sepertinya, pengalaman kuliah di desain grafis dan menjadi desainer grafis serta illustrator saat itu, tidak cukup. Dan, dari dulu saya suka baca atau nonton dan menggali semua hal yang berhubungan dengan sejarah seni rupa. Jadi memang tergerak saja mau belajar itu. Dan kebetulan dapat beasiswa.
Apa saja pokok persoalan yang dibahas dalam arts history?
Tergantung. Karena biasanya studinya periodik. Biasanya secara kronologis itu dimulai dari kebudayaan peradaban kuno yang erat kaitannya dengan arkeologi, lalu zaman klasik seperti renaissance dan kemudian berlanjut setelah revolusi industri, baru mulai sejarah seni modern. Saya dulu ambil Sejarah Seni Modern, khusus abad 20.
Saya tidak tahu persis, tapi pernah dengar, kurator sebaiknya lulusan studi arts history. Menurut Anda?
Kalau ngomong sebaiknya, memang iya. Tidak usah harus lulusan atau punya degree itu, tapi minimalnya memiliki referensi dasar sejarah seni rupa, ya mempelajarilah. Tapi banyak faktor lain untuk menjadi kurator, bukan cuma itu. Yang paling penting sebenarnya adalah taste dan wawasan yang luas tentang kesenian.
Saya ingin tahu, prinsip kuratorial itu mengkritisi karya atau mempromosikan karya?
Tidak dua-duanya. Kuratorial itu intinya memberikan konteks terhadap karya seni atau pameran yang ia kuratori tersebut, atau kalau seperti saya tadi sebut soal taste itu, ya dia bisa menjelaskan nilai-nilai serta wawasan yang termuat dalam karya tersebut. Nilai ini bukan nilai nominal, seringkali bukan juga nilai estetika visual semata karena itu sangat relatif, tapi bahwa karya itu dapat berbicara tentang fenomena-fenomena tertentu, atau mewakili sebuah proses tertentu yang bisa segala macam. Intinya, ia memediasi gagasan-gagasan dalam karya tersebut dan menawarkannya ke publik, entah nanti akan dikritisi kembali atau berfungsi sebagai promosi itu sudah di luar kendali dia.
Sampai sejauh mana manfaat kurator bagi apresiator, mengingat banyak kurator yang hanya menyampaikan komentar umum pada katalog pameran, terkadang komentarnya tidak konseptual dan tidak kontekstal?
Saya tidak tahu siapa atau bagaimana yang Anda maksud dengan kurator yang hanya menyampaikan komentar umum pada katalog pameran. Ada begitu banyak pameran sekarang ini, ada yang bagus, ada yang tidak, jadi saya rasa tidak bisa digeneralisir seperti itu. Kadang kuratorial itu letaknya juga bukan hanya pada memberikan ‘komentar’ (meminjam istilah Anda) pada katalog, tapi ia mengemas keseluruhan pameran baik secara fisik maupun tekstual.
Bagaimana Farah memetakan seni rupa Indonesia berdasarkan teori arts history?
Hahahahaa teori art history yang mana? Tidak ada itu teori art history. Art history itu bidang studi, di dalamnya ada berbagai teori dan tergantung pada wilayahnya. Misalkan saya mau menganalisis soal fenomena seni kontemporer ’90-an yang banyak mengarah ke resistensi politik, mungkin bisa merujuk pada teori Marx atau Gramsci, atau bisa yang lain. Kalau bicara soal perkembangan seni rupa yang mengarah ke gender, ya mungkin merujuk pada teori yang berhubungan ke situ. Sama seperti kalau Anda mau tanya soal penjelasan ilmiah tentang suatu mesin pakai ‘teori fisika’, ya teori fisika yang mana.
Apakah pada pameran Manifesto yang akan digelar di Galeri Nasional bulan Mei nanti keragaman seni rupa akan ditonjolkan? Atau akan lebih menekankan pada fine art minded?
Saya terus terang tidak terlalu mengerti yang Anda maksud dengan Fine Art minded itu apa. Yang pasti, seleksi para perupa yang kami pilih cukup banyak, dan ada empat kurator, saya, Jim Supangkat, Rizki A Zaelani, dan Kuss Indarto. Intinya juga bukan semata soal keragaman seni rupa dan menyuguhkan sebuah pameran ‘paguyuban’ saja. Pada dasarnya kami melemparkan semacam ‘provokasi’ kepada seniman, terutama melihat arah eksplorasi kreatif sekarang ini dengan begitu banyak gegap gempita soal market, lelang dan bienal-bienal, nah statement seniman sendiri terhadap makna berkesenian sekarang ini, itu apa, dan karya yang ditampilkan itu mewakili statement individual tersebut?
Apa saja yang Anda lakukan saat turut mengkurasi pameran Manifesto itu?
Seperti yang biasa dilakukan kurator: riset, dialog, diskusi, penajaman gagasan, analisis, seleksi, pembacaan karya, penulisan, dan display.
Soal lain, beberapa karya lukis Indonesia bisa terjual mahal pada lelang di Singapura atau Hongkong, seperti karya Dipo Andi atau Agus Suwage. Komentar Anda?
Kalau masalah terjual mahal, ya karena itu hak si pembeli yang mau-mau aja beli dengan harga segitu karena itu juga bagian dari prestige dia, maka itu sudah di luar kendali kita, karena memang metode kerja lelang ya begitu, the highest bidder with the highest price, ya sudah karya itu terjual dengan harga segitu. Ya lelang itu kan menjadi semacam ajang unjuk diri bagi para kolektor yang notabene merepresentasikan kelas tertentu. Dan selain itu juga merefleksikan berbagai fenomena sosial dan ekonomi lain yang terlalu panjang dan kompleks untuk diuraikan di sini. Tapi kalau pertanyaan Anda intinya komentar saya tentang harga melambung tinggi, ya sederhananya itu tadi di atas. Kalau mau membahas masalahnya, coba lihat jawaban saya di pertanyaan selanjutnya.
Apa harga karya seni rupa perlu dikontrol supaya ada acuan?
Menyambung yang tadi, nah itu kalau mengontrol harga berarti mengontrol pembeli karena harga itu hadir oleh si bidder itu, dan itu sulit sekali, saya rasa mustahil. Yang bisa dilakukan adalah mengontrol sistem jual-beli karya seni-nya, misalnya ada parameter atau kebijakan tentang karya macam apa yang layak masuk lelang, atau misalkan assessment procedures sebuah lembaga bisa mebuat lelang. Karena setahu saya, lelang-lelang di luar negeri dari dulu juga punya standar sendiri dalam menunjuk si juru lelang atau auctioneer tersebut. Dan semua ini tidak hanya mengandalkan kami-kami pekerja seni, tapi juga praktisi hukum, pakar ekonomi, dan bidang-bidang lainnya.
Selain itu, banyak hal juga tetap kuncinya kembali ke seniman tersebut, kenapa misalkan ada proses goreng-menggoreng karya misalnya, itu seharusnya semua pihak mau mengatasi terutama yang bisa mengatur kebijakan, tapi di satu sisi kesadaran akan carut-marut dan dampak negatif dari situasi tersebut juga tidak ada di senimannya. Kenapa ada goreng-menggoreng, ya karena ada si penggoreng dan yang digoreng. Nah, yang digoreng itu yang juga mau-maunya aja digoreng, padahal mereka bisa menolak. Selama banyak seniman masih dengan rela dan senang hati digoreng, ya situasi ini juga tidak akan ada penyelesaiannya. Tapi saya pikir ini seleksi alam juga, seniman yang bagus dan punya kesadaran penuh dengan apa yang dia hadapi pastinya akan bertahan, sementara yang lain kalau tidak bagus atau membiarkan diri dan karyanya dimanipulasi oleh pasar, ya berlalu dan dilupakan begitu saja.
Selain itu, yang bagi saya penting adalah faktor pendidikan dan penyebaran informasi yang lebih luas tentang permasalahan di seni rupa, dan di sini salah satunya adalah tugas media massa juga, jangan cuma kerjanya memanfaatkan polemik yang ada dan hanya bereaksi terhadap satu fenomena tertentu, tapi memberikan informasi yang luas dan berwawasan. Hype tentang market ini sebenarnya saya lihat karena diekspos oleh media juga, interest-nya selalu tentang itu, karena mungkin dilihat lebih ‘menjual’ juga kali ya. Padahal banyak aktivitas-aktivitas lain di seni rupa yang tidak bersinggungan ke situ. Saya di sini mengelola IVAA, dan kami mendokumentasikan berbagai aktivitas seni seperti pergerakan mural di Yogya misalnya, dan banyak hal lain, dan semua itu bisa dilihat di website. Tapi memang kami juga butuh dukungan dari banyak pihak terutama media massa sebagai mitra distribusi informasi tersebut, tapi kebanyakan hanya tertarik dengan karya mana yang terjual paling mahal di lelang terakhir.
Saya melihat, perhelatan seni rupa di tingkat elite lebih meriah perniagaannya daripada wacananya, menurut Anda?
Di satu sisi mungkin benar, karena kalau Anda bilang ‘di tingkat elite’ maka di medan sosial seperti di Indonesia ini, ya begitulah. Kenyataannya kita ini masyarakat yang masih haus eksistensi, dan masing-masing punya cara sendiri untuk menunjukkan eksistensinya. Kami para pelaku seni rupa dalam artian produksi kreatif yang intinya seperti seniman, kurator, penulis, itu mungkin hanya masuk dalam 30% dari keseluruhan infrastruktur, ketika karya dan kerja kami dilempar ke publik umum, maka 70% dari proses itu mencakup urusan ekonomi, ya soal jual-beli itu. Dan ini bukan hanya di seni rupa, kenyataannya adalah setiap bidang di negeri ini apalagi menyangkut kelas sosial, maka kita berhadapan dengan masyarakat yang masih menilai semua hal dengan uang dan nilai ekonomi. Dan itu persoalan negara berkembang seperti kita.
Apa wacana seni rupa tidak perlu diurus, biarkan saja bekembang liar seperti halnya kurator?
Hahahahaaaaaa. Sederhananya: jelas perlu dan kalau Anda tanya saya, dari dulu saya dan rekan-rekan entah di IVAA atau banyak rekan lain di dunia seni rupa selalu berkutat dengan itu, mencoba mengembangkan wacana. Saya tidak tahu ya maksud sebenarnya dari pertanyaan Anda ini apa, karena kalau Anda mau lihat secara luas sampai sekarang, masih begitu banyak aktivitas seni yang tidak hanya berkutat di masalah jual-beli semata, tapi juga perkembangan gagasan seni dan budaya, seperti yang dilakukan banyak komunitas seni di Yogya ini termasuk lembaga saya, atau seperti ruangrupa di Jakarta. Dan karena biasanya kita berlaku di wilayah kerja sosial, maka kita kurang dana untuk publikasi atau distribusi yang lebih luas, dan ketika kepedulian pihak-pihak lain seperti media misalnya yang bisa sangat membantu, ternyata sangat minim. Mereka lebih senang menyorot urusan jual-jualan dan eksploitasi berita-berita tentang harga karya seni. Ya itu mungkin mencerminkan masalah lain ya, yang di luar kendali kami sebagai praktisi seni rupa.
Kalau masalah kurator berkembang ‘liar’ seperti yang Anda bilang, mungkin karena pada dasarnya dunia seni itu memang liar hahahhaaa…. Itu yang bikin jadi seru karena banyak sisi liarnya, makanya jurnalis-jurnalis seperti Anda pun selalu tertarik dengan yang liar-liar begitu kan, lebih gampang nulisnya hahahaaa…
Siapa yang ngurus wacana seni rupa ketika kebanyakan orang milih jadi kurator daripada kritikus?
Sebagian besar jawaban sudah terungkap di atas. Kebanyakan orang milih jadi kurator karena memang pada akhirnya itu bukan sekadar menjadi pilihan, tapi memang tuntutan yang ada mengarahkan ke situ, dan ada sarana yang menampung, membutuhkan dan mendekati, yaitu galeri, institusi seni dan budaya, museum dsb.
Profesi kritikus itu sendiri memang susah tempatnya di sini, karena tidak banyak media massa yang mau secara khusus meng-endorse seseorang yang berposisi sebagai kritikus seni di media tersebut, kebanyakan cuma menugaskan wartawan-wartawan atau reporter yang ngeliput-ngeliput dan nyontek press release aja. Biasanya art critic yang benar itu punya kolom sendiri di majalah, jurnal atau media tertentu, karena memang sarananya dia di situ. Nah, media ini sendiri juga banyak conflict interest-nya bukan? Saya tahu banyak penulis seni kesulitan juga untuk menyampaikan opini secara jernih dan jujur karena nanti disensor sendiri oleh medianya, karena media juga tidak mau cari masalah dengan pihak-pihak tertentu, misalnya.
Barangkali Farah punya pendapat tentang Galeri Nasional yang lebih ideal dari yang sekarang ada?
Ada koleksi permanen yang dikurasi secara jelas tentang sejarah seni rupa Indonesia, dengan maintenance preservasi yang bagus, dan dengan banyak program-program edukatif yang menarik dan aktif, entah dari lokal maupun luar negeri. Program ini nggak cuma pameran, tapi bisa film screening, diskusi, workshop, dsb., dan semuanya rutin. Jadi beneran sebagai art centre yang mengakomodir semua kebutuhan pencinta seni.
Omong-omong, aktivitas lain di luar seni rupa, apa saja?
Wah banyak ya. Aktivitas seni rupa ini cuma berapa persen dari kegiatan saya sehari-hari. Ya seperti orang-orang kebanyakan lah, ke kantor, ngurus keluarga, masak, belanja sehari-hari, hehehe.
Farah punya hobby yang unik?
Berburu barang bekas seperti mebel dan pernak-pernik tahun 50-60-an. Menyusun playlist musik di itunes semalaman, browsing artikel-artikel aneh di internet. Apakah itu cukup unik?
Cita-cita utopia Farah di bidang seni rupa, bagaimana?
Waduh. Apa ya. Ini pribadi kan? Kalau pribadi sih, saya mau lembaga yang saya jalankan sekarang itu, IVAA, bisa terus jalan dengan dukungan semua pihak di infrastruktur seni rupa, selain itu ya infrastruktur itu bisa lebih berkembang dan solid dengan terutama dukungan kebijakan di berbagai aspek lain seperti hukum, ekonomi dan pendidikan, juga pemerintah. Itu saja udah cukup utopis rasanya. Tapi kalau ditanya sekarang sebenarnya saya tak terlalu punya semacam mimpi-mimpi besar atau apa, seperti orang lain menjalankan pekerjaannya saja, ya jalani saja dan enjoy, dan dunia seperti ini masih banyak menyediakan kenikmatan dan seru-seruan itu, ya namanya memang dasarnya senang ya dijalani ya senang aja.
-------------
Biodata
Farah Pranita Wardani lahir di Jakarta, 1 August 1975, dan kini tinggal di Yogyakartya, Jalan Patehan Tengah 37, Yogyakarta 55133. Menempuh studi pada Goldsmiths College - University of London, London, England, MA in History of Art (20th Century), Department of Historical & Cultural Studies. Scholarship from The British Chevening Award, Foreign Commonwealth Office, United Kingdom. Sebelumnya, menempuh pendidikan Desain Komunikasi Visual pada Universitas Trisakti.
Sejak Januari 2007, Farah menjabat Direktur Eksekutif Indonesian Visual Art Archive (formerly named Cemeti Art Foundation), Yogyakarta. Sejak bulan Mei 2004 hingga sekarang, Farah menjadi Redaktur pada majalah Visual Arts yang terbit di Jakarta.
Farah pernah mengajar di Jurusan Seni dan Desain, Universitas Pelita Harapan, untuk studi sejarah seni-budaya Barat, Timur, dan Indonesian, selama Februari – November 2006. Mengajar pada Jurusan Seni dan Desain, Universitas Paramadina, untuk matakuliah sejarah seni visual dan kebudayan modern Indonesia, pada Februari 2003 hingga November 2006.
Sejak 2002, ia banyak menulis esay kritis bidang seni dan kebudayaan di Kompas, The Jakarta Post, Koran Tempo, Media Indonesia, Basis, Surat Yayasan Seni Cemeti, dan lain-lain. Juga sejak 2002 sampai sekarang, menjadi kurator independen di beberapa pameran dan galeri, di antaranya Cemeti Art House, Ruangrupa, Edwin’s Gallery, Nadi Gallery, Canna Gallery, CP Art Space, Puri Gallery, CCF Jakarta, dan konsultan kuratorial pada Toimoi Ar + Design Gallery, Jakarta.
Ia menulis buku bersama Wulan Dirgantoro dan Carla Bianpoen, diterbitkan oleh Yayasan Seni Rupa Indonsia pada Agustus 2007 dengan judul Indonesian Women Artist: The Curtain Opens.
**<>: edisi cetak termuat dalam tabloid koktail edisi 29 (10 - 16 april 2008)
||| foto dokumen pribadi
wah, suka baca juga?
ReplyDelete