Tuesday, July 5, 2011

Asikin Hasan: Harus Dilihat Kepentingannya Apa


Merayakan keragaman, itulah kesenian. Keragaman dalam artian yang seluas-luasnya. Ragam dalam bentuk, gagasan, ideologi, praktik ekonomi, dan lain-lain. Berbeda dari yang lain, aneh, nyentrik untuk sekadar sensasi atau mengejar esensi, harus dipandang sebagai praktik dari perayaan anekanta (beragam).
Sedari awal berdiri Galeri Lontar memang berbeda. Diniatkan untuk memamerkan karya-karya seni rupa kontemporer yang mungkin ’tidak laku’ dikomersialisasi. Tapi sekarang, karya-karya kontemporer justru yang sedang diburu. Menghadapi kondisi seni rupa terkini, bagaimana sikap Galeri Lontar, berikut perbincangan Doddi Ahmad Fauji dari Koktail dengan Asikin Hasan dari Galeri Lontar.


Bagaimana awalnya Anda bersinggungan dengan seni rupa,hingga memutuskan kuliah di FSRD ITB?

Sejak kecil saya suka menggambar, dan pernah jadi juara ketika SMA di kota Jambi. Di masa itu saya sudah kenal dengan karya-karya Affandi, But Mochtar, Ahmad Sadali, Vincent Van Gogh, dll. Pabila pagi sampai siang sekolah, maka malam hingga larut saya melukis dengan medium cat air di atas kertas, dan cat minyak di atas kanvas. Kadang-kadang dinding rumah, pakaian sehari-hari juga jadi medium untuk menggambar. Saya merasakan dunia seni rupa adalah tempat perantauan imajinasi yang sangat mengasyikkan.

Setamat SMA, saya sudah mantap untuk melanjutkan pendidikan di bidang seni rupa. Saya ikut ujian masuk Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, dan diterima. Di situ saya baru tahu ternyata kita punya banyak pilihan di seni rupa. Minat saya mulai bergeser dari seni lukis ke seni patung. Bagi saya seni patung jauh lebih menarik dan manantang, terutama karena kita berhadapan dengan ruang dalam arti sesungguhnya.

Mengapa sekarang memilih jadi kurator, atau diam-diam Anda masih mematung, melukis mungkin?

Mungkin karena sejarah. Pada 1994 tiga media massa cetak dibredel oleh pemerintah orde baru. Saya yang bekerja selaku wartawan untuk kawasan Jawa Barat di salah satu media tersebut, kehilangan tempat bekerja. Suasana sangat tak enak di masa itu, segala kegiatan yang berkaitan dengan orang banyak dicurigai dan ditekan oleh pemerintah dengan pelbagai cara. Sebagian besar orang terkurung dalam rasa takut, termasuk sebagian besar wartawan. Celah-celah kritik terhadap kekuasaan hanya tersisa pada media ungkap kesenian. Sebagian kecil teman-teman yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan berpendapat menyingkir ke utankayu dan mendirikan lembaga kajian informasi.

Di tempat yang sama pada 1996 didirikan pula Galeri Lontar, dan oleh karena itu diperlukan seorang kurator untuk mengelola pameran. Saya diminta untuk menjadi kurator, tanpa pengalaman mengurus pameran. Semua berlangsung sambil belajar sambil bekerja. Situasi ini sebenarnya gambaran sebagian besar kurator di sini. Baru beberapa tahun kemudian bersama beberapa teman, atas sponsor The Japan Foundation, saya mengikuti kursus singkat kurator di beberapa museum dan galeri di Tokyo, Hiroshima, Kyoto, dan Fukuoka. Pengalaman itu sangat berharga dan meyakinkan saya dan teman-teman untuk terus menekuni profesi yang terbilang baru ini.

Saya tak lagi mematung setelah memutuskan diri menjadi wartawan, kemudian kurator, tapi masih membuat sketsa untuk keperluan sendiri. Saya kira kita seharusnya berlaku profesional, dan memilih salah satu saja.

Prinsip-prinsip Anda dalam mengkurasi di Galeri Lontar?


Sedikitnya ada dua hal penting yang memengaruhi kurasi dan pameran di Galeri Lontar. Pertama; Galeri Lontar tak bisa dilepaskan dari cita-cita pendiriannya yaitu ruang bagi kebebasan berfikir dan berekspresi. Artinya, pabila diterjemahkan dalam pameran, kami mesti terbuka terhadap pelbagai gagasan, termasuk karya-karya garda depan atau perkembangan yang paling mutakhir yang ditujukan untuk kemajuan seni itu sendiri.

Di tahun pertama, Lontar telah mengenalkan misalnya karya-karya media baru; instalasi, video art, dan performance. Karya-karya jenis inilah yang mewarnai forum-forum besar internasional di pelbagai negara. Lontar juga segera meluaskan jaringannya dengan merangkul perupa media baru misalnya dari Finlandia, Perancis, Jepang dan Australia. Dengan pelbagai usaha karya-karya mereka dipamerkan di Galeri Lontar, tujuannya bagi kita untuk membandingkan dengan perkembangan yang berlangsung di tanah air. Dari situ kita bisa banyak belajar. Kedua; Munculnya Galeri Lontar untuk mengimbangi posisi galeri komersial. Ketika itu “booming” seni rupa pertama masih kuat menggema, dan galeri-galeri hanya berkenan memamerkan karya-karya yang laku dijual. Di luar itu karya-karya akan terlempar jauh dari arena permainan. Kritikus Sanento Yuliman, menandainya dengan tepat sebagai pemiskinan nilai, karena kecenderungan yang sama muncul berulang-ulang.

Kita mencoba mengakomodasi karya-karya yang terlempar dari arena permainan itu, antara lain “drawing”, grafis, lukisan kaca, komik, patung kayu, dll. Di luar seni lukis yang mengikuti arus utama, cukup banyak karya-karya perupa yang orisinal dan bermutu, tanpa menghiraukan perilaku pasar. Atau mereka sama sekali awam terhadap pasar. Saya yakin karya bermutu tak selalu ditentukan oleh kehendak pasar dan harga yang mahal, tapi oleh karya itu sendiri. Berdasarkan semangat itulah kurang lebih pilihan karya-karya serta kurasi pameran di Galeri Lontar dijalankan.

Sedangkan prinsip-prinsip kritik seni rupa, seperti apa?

Saya mulai menulis resensi seni rupa ketika menjadi wartawan. Tentu saja yang saya jalankan adalah prinsip jurnalistik. Kritik seni rupa dalam pengalaman itu tak lain memaparkan kenyataan obyektif karya-karya dan ruang pameran. Kalau kita mau melihat ke belakang, hampir semua penulis kritik seni rupa muncul dari kalangan wartawan atau penulis. Atau mereka yang mulanya menggeluti seni lukis tapi kemudian mengalihkan minatnya pada tulis menulis. Kadang-kadang ada juga teman pelukis yang terus melukis tapi juga menulis kritik. Karakter kritikus kita memang sangat khas. Tapi kita kekurangan sumber daya yang berminat pada bidang ini. Mencari pelukis sangat mudah, tapi menemukan kritikus sulitnya bukan main. Melihat keadaan sekarang, mungkin kita belum perlu berharap sesuatu yang terlalu jauh dari kritik seni rupa. Tulisan yang dapat memaparkan peristiwa pameran dan sedikit mengulas karya-karya berdasarkan pengalaman melihat dan mengamati dengan baik, itu saja sudah cukup.

Ketika orang-orang lebih tertarik menjadi kurator tinimbang kritikus, dunia kritik dan wacana bisa mandul. Pandangan Anda?


Tanpa itu pun dunia kritik kita mesti dibantu untuk dibangun. Kehadiran kritik mesti kita lihat sebagai bagian dari infra-struktur seni rupa itu sendiri. Kritik yang baik akan membantu melahirkan karya-karya yang baik pula. Kritik yang buruk akan menimbulkan informasi yang menyesatkan bagi publik. Kini kita makin membuthkan kritik yang baik. Apalagi situasi pasar yang bergerak cepat sendirian, tanpa tata acuan, tanpa kritik. Situasi seperti ini mengulangi apa yang pernah terjadi pada “booming” sekitar 80-an. Tak mudah melahirkan seorang kritikus yang tajam misalnya, seperti Sanento Yuliman. Orang yang secara sabar mendekati, memahami, dan memeriksa bagian demi bagian sebuah perkembangan.

Galeri Lontar nampak tidak mengejar komersialisasi, apa benar?

Mungkin karena kita sudah terlanjur ditandai selaku galeri alternatif, yang lebih banyak menyuguhkan pameran-pameran untuk apresiasi ketimbang yang lain-lainnya. Seperti berlangsung selama ini, sebagian besar karya-karya yang dipamerkan di Galeri Lontar, masih sulit dijual. Tapi, mungkin waktunya belum tiba. Di negara seperti Jepang misalnya, karya-karya “serius” yang dipamerkan di galeri alternatif, biasanya dibeli atau dikoleksi oleh sebuah museum.

Mengapa?

Dengan cara seperti itu galeri alternatif bisa terus hidup. Kalau tidak, ia akan segera tersungkur dilanda arus yang besar.

Selama ini, bagaimana dana operasional Galeri Lontar,dari mana?

Sejak 1997 Galeri Lontar adalah bagian dari Komunitas Utan Kayu. Segala kebijakan keuangan galeri diatur langsung oleh Yayasan Komunitas Utan Kayu. Kami memperoleh dana dari bantuan teman-teman. Dan, kerapkali pula pameran di Lontar merupakan kerjasama dengan lembaga kebudayaan asing, dan atau bahu membahu dengan perupa yang berpameran. Biaya pameran kita terhitung sangat kecil, dibanding galeri pada umumnya.

Galeri Lontar mulai memamerkan karya kriya diembel-embeli kontemporer. Ada rencana memamerkan kriya lainnya, misalnya grabah kontemporer, lukisan kaca kontemporer, totem terkini, dll?

Sejak semula Galeri Lontar menampilkan karya-karya kontemporer. Mungkin anda masih ingat, dulu kita menampilkan karya-karya keramik Suyatna yang menggunakan teknik raku. Sebuah teknik pembakaran yang dipelajarinya di Jepang, dan tak banyak dikembangkan oleh pekeramik di sini. Kita juga memamerkan lukisan kaca Hariyadi Suadi, dan terakhir karya-teman-teman dari Studio Kayu IKJ.

Apa yang hendak atau sedang dibaca dan dipetakan oleh Galeri Lontar dalam seni rupa Nusantara (Indonesia)?

Kita tak bermaksud memetakan, itu pekerjaan yang terlalu besar. Kita ingin selalu ada keragaman, dan memberi ruang alternatif, agar mereka yang dipinggir bisa ikut dalam permainan besar ini. Tapi sekarang, setelah reformasi semua sudah berubah dengan cepat, yang di pinggir kini sudah berada di tengah-tengah. Galeri-galeri yang dulu menolak perupa tertentu kini berebut menyambanginya satu persatu. Perupa yang dulu tak laku kini menjadi yang paling mahal. Semua bergerak dan berubah. Sepatutnya kita juga mempertanyakan posisi diri sendiri. Setelah semua berubah, sekarang saatnya kita berkompetisi membuat sesuatu yang lebih baik.

Anda masih meyakini adanya pemisahan hight art (fine art), visual art, dan low art (craft)?

Itu sangat ideologis. Pandangan tersebut sesungguhnya dibayang-bayangi oleh semangat estetika Yunani kuno, yang membedakan pekerjaan halus dan kasar. Kemudian diadopsi oleh seni rupa modern, lalu disahkan di lembaga pendidikan. Kita kan tahu, dalam pendidikan seni rupa ada pemisahan seni murni dan seni terapan, seni tinggi dan seni rendah. Kadang-kadang disebut juga seni terpakai dan seni tak terpakai. Pemisahan secara tegas seperti itu, mungkin hanya baik untuk keperluan dunia pendidikan. Dalam karya-karya masa kini, sebenarnya sudah tak relevan kita mempermasalahkan itu.

Mengapa?

Paradigma serupa itu bolehlah kita lihat selaku jejak perjalanan sejarah estetika. Kini semua sudah bergerak jauh. Sejak era 60-an di Eropa dan Amerika, cara pandang seperti itu telah dirontokkan dengan pelbagai eksperimen para seniman dengan melintas batas masing-masing, antara lain dimotori oleh kelompok Pluxus. Di Indonesia, pada 1975, Gerakan Seni Rupa Baru, kalau kita teliti pada pernyataan-pernyataannya dan karya-karyanya, sudah menyangkal teori tersebut.

Sudah berdiri asosiasi galeri swasta nasional dengan ketua Edwin Rahardjo. Galeri Lontar akan ikut bergabung?

Mungkin harus dilihat kepentingannya apa.

Mengenai Galeri Nasional yang ideal, menurut Anda?

Galeri Nasional memang harus ideal, sebab ia salah satu simbol bagi negara kita. Tapi tak banyak hal yang beranjak dari Galeri Nasional kita. Keadaannya masih seperti semula ketika berdiri, tak punya program jelas. Banyak pameran di Galeri Nasional, tapi bukan program dirinya, melainkan orang lain yang menyewa dan membuat pameran di situ. Pihak galeri masih menyimpan jawaban yang sama dari awal berdiri hingga kini yaitu keterbatasan dana. Tapi, keterbatasan itu sendiri tak pernah diatasi dengan cara yang elegan. Dengan keadaan seperti itu, bagaimana kita bisa berharap Galeri Nasional bisa menjadi barometer perkembangan seni rupa nasional.

Saya membayangkan Galeri Nasional itu kurang lebih seperti Singapore Art Museum yang, memiliki banyak sekali koleksi karya-karya perupa Asia Tenggara, dan memamerkannya secara berkala. Karya-karya Gerakan Seni Rupa Baru yang menandai perubahan besar dalam seni rupa kita, justru dikoleksi oleh museum tersebut, dan tak ada satu pun di koleksi oleh Galeri Nasional kita. Hal lain, patung kontemporer karya Titarubi dari Yogyakarta dalam ukuran raksasa, kini dipamerkan dan ditonton orang-orang dari pelbagai negara di National Museum of Singapore- sebuah museum yang sangat modern manejemen dan pengelolaannya. Lalu, di mana peran Galeri Nasional kita terhadap karya-karya yang menarik perhatian seperti itu.

Dukungan industri pers terhadap perkembangan wacana seni rupa, sudah terasa atau masih jauh panggang dari api?

Rubrik seni di media massa umumnya hanya pelengkap saja, belum ditangani secara serius. Saya kira persoalannya juga pada berapa luas pembaca rubrik itu. Selaku industri, pers tentu saja tak mau rugi membuang-buang halamannya begitu saja untuk alasan apresiasi. Apalagi pers tak bisa melepaskan dirinya dari hal-hal sensasional, misalnya ia akan jauh lebih tertarik melaporkan kegilaan pasar, harga lukisan yang mahal, kolektor yang menyimpan ratusan lukisan, ketimbang kupasan kritis terhadap karya-karya.

Tapi, kita pernah mengalami keterlibatan yang sungguh-sungguh dari media massa ketika munculnya Gerakan Seni Rupa Baru. Beritanya ditempatkan di halaman depan, itu berarti sama pentingnya dengan berita-berita politik dan nasional. Koran dan majalah ketika itu menyediakan berlembar-lembar halaman untuk laporan maupun opini atas pameran tersebut. Bahkan, tiga bulan setelah pameran pertama Gerakan Seni Rupa Baru (1975) berlalu, polemik masih terus bergulir. Hal serupa juga pernah terjadi pada 1993/94, ketika berlangsungnya Bienniale Jakarta IX. Saya kira pers juga menunggu munculnya dinamika baru dalam dunia seni rupa.

Anda bisa menjelaskan, mengapa pengunjung pameran di kita masih sedikit, apa yang gagal, dan bagaimana membenahinya?

Ini bukan persoalan kita saja, tapi persoalan seni kontemporer pada umumnya, dimanapun. Sekaligus menunjukkan bahwa seni kontemporer tetap menjadi sebuah medan pertunjukan dan tontonan yang elitis. Sulit kita berharap seni kontemporer tak terasing dari lingkungan sekitarnya. Di mana-mana, pameran seni rupa kontemporer selalu ramai hanya pada waktu pembukaan, hari-hari selanjutnya karya-karya akan tinggal dalam kesendiriannya. Saya tak tahu apakah ini sebuah kegagalan atau bukan.

Tapi, lain hal kalau kita mau bicara di luar itu. Misalnya pameran seni rupa dalam Festival Istiqlal beberapa tahun silam, itu dikunjungi oleh ribuan orang, seperti menonton sebuah pertandingan bola kaki. Belum pernah terjadi di Indonesia pameran dengan kunjungan sebanyak itu. Padahal pamerannya juga menamakan diri seni rupa kontemporer, dan dengan embel-embel Islam. Sangat mungkin ramainya orang berkunjung ke pameran itu, lebih tersebab ikatan emosional dan solidaritas Islam, ketimbang isi pamerannya sendiri.

Mengenai koleksi karya seni rupa milik Istana kepresidenan, sebaiknya dibagaimanakan,atau ditaruh di Galeri Nasional?

Sudah ada orang yang berwewenang mengurusi itu. Mungkin ada baiknya koleksi karya di sana tidak dipingit. Makin banyak orang melihatnya kan makin bagus. Yang penting publik diberi akses.

Apa yang sedang Anda perjuangkan saat ini, dalam hidup dan lain-lain?

Terus menerus berupaya agar hidup bisa lebih berkualitas, lingkungan yang juga berkualitas.

Anda punya hobby di luar ngurus kesenian?

Saya paling suka berenang. Biasanya saya berenang 2500 meter tanpa henti, seminggu 2 kali. Selain itu saya juga suka jogging, dan bersepeda. Semuanya olah raga murah tapi menyehatkan.

Cita-cita utopia Anda dalam bidang seni rupa?

Cita-cita jangan jadi utopia dong. Justru harus diperjuangkan agar bisa menjadi kenyataan. Saya ingin menulis buku tentang Gerakan Seni Rupa Baru dan seni rupa kontemporer Indonesia. Sejak mahasiswa di Bandung, data-data tentang itu sudah cukup banyak saya kumpulkan.



Asikin Hasan
Lahir di Jambi. Pendidikan terakhir Jurusan Seni (Patung) Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Pada 1991 hingga 1994 bekerja sebagai wartawan Majalah Berita Mingguan TEMPO (Biro Jawa Barat). Membuat penelitian tentang Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Menulis tentang pematung G. Sidharta Soegijo pada Art and Asia Pacific, jurnal seni rupa yang terbit di Australia. Mengamati perkembangan patung-patung monumental di ruang publik, dan menulis resensi pameran seni rupa di Harian Umum Kompas, The Jakarta Post, Tempo, dan jurnal Visual Arts.
Sejak 1996 sampai sekarang kurator Galeri Lontar, Komunitas Utan Kayu, Jakarta. Pada 1997 melakukan lawatan ke Rusia, mengunjungi Museum Puskhin- Moscow, Museum Hermitage-St. Petersburg, kemudian sejumlah museum di Paris-Prancis. Pada 1999, mengikuti workshop kurator di sejumlah museum di Jepang: Tokyo, Hiroshima, Kyoto, dan Fukuoka. Antara 1998-2000 kontributor untuk pameran “Yayasan kesenian Perak”, Malaysia.
Pada 2001 diundang selaku pengamat untuk ARS-01, Pameran Seni Kontemporer Internasional KIASMA, Helsinki, Finlandia. Editor buku “Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman”. Pada 2003 kurator untuk proyek media baru “TRANSIT”, Townsville, Brisbane, dan Darwin, Australia. Kurator, Trienal Seni Patung Kontemporer II, DKJ, Jakarta, Pada 2005 kurator Pameran Tunggal karya-karya pematung Rita Widagdo, Galeri Nasional, Jakarta, Kurator Biennale XII, Seni Rupa Kontemporer 2006, DKJ, Jakarta.


Ralat:
Pada Rubrik Perbincangan edisi 027 terdapat perbedaan penulisan nama. Pada cover tertulis nama Indah Nurhadi, sedangkan di halaman 44 – 45, tertulis Inda Citraninda Noerhadi. Cara penulisan yang benar dan sering digunakan adalah Inda C Noerhadi. Juga, terdapat beberapa bagian perbincangan yang kurang bersesuaian makna antara maksud Inda dengan teks yang tertulis. Karena itu, perbincangan dengan Inda C Noerhadi akan dilakukan ulang pada edisi yang akan datang.

-------------------
Pada halaman 4 rubrik kronik, judul tertulis Darwing (Coret) Empat Perupa, yang benar adalah Drawing (Coret) empat Perupa.

Redaksi mohon maaf atas kesalahan yang mengganggu kenyamanan Anda dalam membaca.

***edisi cetak dimuat pada Tabloid Koktail edisi 28
::>: foto dokumentasi pribadi

1 comment:

tulisan yang nyambung