Tuesday, July 5, 2011

Tubagus Andre: Kepala Galeri Nasional untuk Eselon II




Setiap negara modern pasti memiliki Galeri Nasional, bahkan galeri tingkat provinsi, dan tingkat pemerintah kota atau kabupaten. Dana operasional tentu saja dianggarkan dalam APBN atau APBD. Galeri Nasional mutlak harus ada dan terkelola dengan baik sebagai bentuk pelayanan pemerintah terhadap masyarakat guna memajukan daya apresiasi, meningkatkan nalar kognitif dan afektif, dan yang tidak kalah penting, menjadi simbol peradaban bangsa.
Kita secara resmi baru memiliki Galeri Nasional tahun 1999, setelah 54 tahun republik ini berdiri. Sungguh terlambat. Gedungnya terletak di Jalan Medan Merdeka Timur nomor 14, Jakarta Pusat. Bagaimana kondisi Galeri Nasional Indonesia, berikut perbincangan Doddi Ahmad Fauji dari Koktail dengan Kepala Galeri Nasional, Tubagus Andre.

Bagaimana kondisi infrastruktur GNI saat ini, bisa Anda rinci?
Kondisi infrastruktur GNI dalam tiga tahun terakhir ini terus dibenahi dan ditingkatkan secara bertahap, untuk memenuhi fungsinya sebagai museum seni maupun sebagai wahana kegiatan kreativitas dan apresiasi seni, khususnya di bidang seni rupa. Beberapa infrastruktur dikembangkan dengan melakukan rehabilitasi/renovasi gedung yang ada dengan fasilitas baru, seperti ruang penyimpanan koleksi (Storage), ruang seminar, gudang transit, pagar, plaza, toilet, dll. Khusus di Ruang Pameran Temporer (Gedung A), dilakukan perubahan pada lantai, plafon, trek lampu, dan gantungan karya agar lebih representatif.

Saat ini, di kawasan GNI juga bertambah gedung/ruang baru, yaitu: Gedung C (3 lantai) untuk ruang pameran temporer, pameran tetap koleksi GNI (permanen), ruang konservasi, dan strorage; Gedung D (Gedung Sebaguna) yang dapat digunakan untuk ruang pameran terbuka, workshop, ruang pertunjukan, dll; Kemudian ada Gedung untuk perpustakaan kebudayaan dan pariwisata, wisma seni, cafe/kantin, artshop, dan musholla.
Selain itu, sedang dibangun Jembatan (Annex) untuk lebih memudahkan akses pengunjung pameran temporer, pameran permanen yang terletak di kiri-kanan gedung utama. Keberadaan jembatan ini memungkinkan pengunjung bisa melihat seluruh pameran yang di gelar di GNI secara paralel.
Satu lagi adalah pembangunan Patung Ruang Terbuka (Patung Publik) di plaza depan gedung GNI. Pendirian patung modern ini menjadi elemen estetis dan penanda Galeri Nasional Indonesia sebagai institusi museum seni dan pusat aktivitas (apresiasi) seni rupa modern dan kontemporer. Patung ini diberi nama “Tangan” hasil karya pematung Indonesia, Prayitno Saroyo (pemenang terbaik Lomba Rancang Patung Ruang Terbuka Galeri Nasional Indonesia tahun 2006).


Pasti banyak infrastruktur yang belum ada dan harus segera dilengkapi oleh pemerintah agar ruang gerak operasional GNI lebih leluasa, apa saja?Tentu saja masih banyak infrastruktur yang harus dilengkapi, misalnya fasilitas ruang audio-visual, laboratorium restorasi dan konservasi yang representatif, serta penambahan ruang untuk pameran permanen agar lebih banyak koleksi GNI yang bisa dilihat oleh publik.


Berapa banyak koleksi milik GNI? Kapan saja dipamerkannya?Di GNI tersimpan sekitar 1800 koleksi karya seniman Indonesia dan mancanegara. Terdiri dari karya seni lukis, grafis, patung, keramik, instalasi, fotografi yang dapat dikatagorikan sebagai karya seni rupa modern. Dari sejumlah itu, tentu saja tidak seluruhnya karya masterpiece, ada karya yang biasa-biasa saja. Sebagian koleksi tersebut acapkali dipamerkan kepada publik, melalui berbagai kesempatan. Utamanya dipamerkan secara permanen yang setiap periodik dilakukan pergantian. Sampai tahun 2006 lalu, pameran tetap ditata berdasarkan dua konsep kuratorial, yaitu mengetengahkan tentang Perjalanan Seni Rupa Modern Indonesia dan Evolusi ke Seni Lukis Abstrak. Kemudian pada pada Juli 2007 bersamaan peresmian Pameran Nusantara oleh Bapak Menbudpar, Jero Wajik. Pameran permanen telah dilakukan penataan ulang yang disusun berdasarkan bingkai tiga konsep kuratorial, yaitu: Pameran Koleksi Sejarah: dari masa perintisan seni rupa modern Indonesia hingga saat kini; Pameran Koleksi Khusus: tentang lukisan pemandangan alam, dan Pameran Koleksi Internasional. Keseluruhan karya yang dipajang sekitar 200 koleksi. Jadi tidak benar jika ada yg mengatakan sejak ruang pameran tetap digunakan untuk kegiatan Cp Open Biennale (2003), ruangan itu tidak difungsikan lagi. Sesekali ditutup karena sedang dilakukan renovasi gedung.
Koleksi GNI selain dipamerkan secara permanen juga dipamerkan secara temporer, antara lain diprogramkan dalam bentuk Pameran Keliling ke tiap provinsi, di Medan (2006), Menado (2007), tahun 2008 direncanakan di Samarinda. Dalam kegiatan ini, selain memamerkan koleksi GNI, juga melibatkan seniman daerah, sehingga ajang ini bersifat sosialisasi sekaligus menggugah daya kreativitas dan apresiasi seni di daerah. Program sosialisasi koleksi GNI juga ditempuh melalui Pameran kerjasama internasional. Bulan November 2007 lalu, sekira 50 koleksi GNI dipamerkan di Balai Seni Lukis Negara (National Art Gallery Malaysia). Tahun ini, diprogramkan di National Museum of Philippines.
Koleksi GNI juga acapkali dipameran dalam pameran-pameran tertentu, misalnya disertakan dalam Biennale Jakarta 2006. Bahkan pada bulan Mei 2008 ini, bekerjasama dengan CCF, akan memamerkan koleksi mancanegara GNI yang merupakan hibah dari Pemerintah Perancis pada 1959.


Dalam setahun, berapa anggaran GNI. Sebutkan nominalnya?Sejalan dengan program pengembangan GNI, sejak tahun 2006 alokasi anggaran sekitar lima miliar. Diperuntukan bagi gaji pegawai, layanan dan jasa, pemeliharaan atau maintenance, pembangunan/renovasi fisik, dan program kegiatan


Berapa biaya operasional GNI per hari, per bulan. Apakah ada dana pemeliharaan untuk toilet, rumah ibadat, dan hal-hal spele lainnya?Tidak persis dapat dirinci per hari atau per bulan. Yang jelas, biaya untuk itu teralokasikan sesuai peruntukan dan skala prioritasnya


Berapa pula besar anggaran maintenance untuk koleksi milik GNI, jangan-jangan koleksi itu tak pernah diurus?Alokasi anggaran untuk pemeliharaan koleksi relatif, antara 2 atau 2,5% dari anggaran GNI. Anggaran tersebut diperuntukan mulai dari penyedian bahan sampai penanganan konservasi dan restorasi, baik secara preventif maupun kuratif. Koleksi GNI tentu saja diurus. Pemeliharaan koleksi GNI bukan semata tindakan konservasi/restorasi, tetapi juga penangan sistem penyimpanan, pengaturan suhu, administrasi koleksi (iventarisasi/data base), dokumentasi koleksi. Semua itu mendapat perhatian. Bahkan kami juga sudah membuat sistem dan prosedur pengelolaan koleksi. Kondisi saat ini memang belum optimal, tetapi secara bertahap akan ditingkatkan, tidak saja masalah anggaran, tetapi juga menyangkut sumber daya manusianya. (potong ini kalau kepanjangan).


Mengapa GNI boleh disewa oleh pihak lain, apa memang anggran dana yang sekarang tidak cukup?Sebenarnya tidak ada sewa untuk penggunaan fasilitas GNI, karena lembaga ini besifat nonprofit. Kalapun ada pihak lain yang menggunakan tempat di GNI, itu berdasarkan pertimbangan kesesuaian program dengan misi GNI. Acaranya terkait dengan kegiatan seni budaya, khususnya seni rupa. Khusus untuk kegiatan pameran dilakukan proses seleksi oleh Tim Kurator, kami memiliki prosedur untuk itu. Bila pameran itu layak digelar di GNI, maka baru dibahas mengenai oprasional pelaksanaannya, termasuk masalah pendanaan. Prinsipnya pameran bersifat kerjasama, baik langsung maupun tidak langsung. Kontribusi dana diperuntukan untuk tenaga preparator, teknisi, kebersihan, keamanan, dan bantuan daya. Jumlahnya juga relative, tergantung kesiapan organizer.
Soal anggaran GNI, ya dicukupkan saja. Khusus untuk kegiatan dalam setahun, diprogramkan untuk pameran sebanyak lima kali, diskusi, seminar, lomba, penayangan film dokumenter, sosialisasi GNI, performance art, dan lain-lain. Di luar program internal, digunakan untuk program yang relevan dari luar (eksternal) agar kegitan di GNI sepanjang tahun tetap ada.


Berapa sebenarnya anggaran GNI yang ideal dalam setahun, sebutkan saja nominalnya?Ya tergantung dari alokasi APBN. Ada pengaturan tersendiri, GNI ini adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT- Eselon III) di bawah Direktorat Kesenian – Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film – Depbudpar, yang memiliki batasan anggarannya. Dengan nilai yang sekarang saja, kami sudah melakukan banyak pengembangan, bahkan GNI bisa memiliki kendaraan oprasional dan bantuan pembangunan fasilitas publik untuk makam Raden Saleh di Bogor. Terkadang GNI juga memperoleh bantuan dari anggaran pusat untuk pengebangan sarana-prasaran. Ya, idealnya bisa ditambah lagi untuk menambah kegiatan internal.


Apa sebaiknya pejabat Kepala GNI itu minimalnya Eselon II supaya anggarannya memadai?Dalam konsep pendirian (Naskah Akademik) GNI sebenarnya lembaga ini untuk Eselon II seperti halnya Museum Nasional. Tetapi karena ada beberapa keterbatasan oleh MenPAN pada waktu itu (1998), distujui Eselon III saja. Ke depan, bisa saja diproyeksikan menjadi Eselon II, mengingat peran dan tanggungjawab lembaga ini sangat strategis. Di negara-negara lain, galeri nasional memang dijabat Eselon II. Tentu harus dipersiapkan secara matang, baik mencakup maintenance maupun sumber daya manusianya. Kalau sudah menjadi Eselon II, otomatis alokasi anggarannya bertambah secra signifikan.


Kami dengar GNI akan membangun gedung-gedung baru untuk melengkapi fasilitas. Kapan itu direalisasikan, atau hanya janji pemerintah?Sebenarnya menurut Master Plan yang dirancang sejak era Bung Karno dan kemudian beberapa kali mengalami perubahan, dikawasan Jl. Merdeka Timur 14 ini di khususkan untuk Wisma Seni Nasional, atau kemudian menjadi Pusat Pengembangan Kebudayaan Nasional. Jadi, GNI ini hanya salah satu bagian dari itu, di samping ada gedung Teater Nasional, Concert Hall, dan pusat informansi kebudayaan. Tetapi, karena berbagai kendala, saat ini hanya GNI yang sudah eksis. Pembangunan baru akan dilakukakan bila beberapa gedung lain (sekolah) yang masih ada di lingkunagn GNI bisa dipindahkan. Kami kira komitmen pemerintah untuk melindungi dan memajukan kebudyaan tetap konsisten.

Mengapa GNI miskin dengan produk pelengkap seperti barang-barang merchandise yang dapat dibeli pengunjung?Oh ya, produk merchandise memang sangat penting, ini berlaku umum di setiap lembaga seperti GNI, baik untuk diberikan secara cuma-cuma maupun dengan pembelian. Kami sudah memiliki artshop, dan sedang dipersiapkan terlebih dahulu Brand Design atau coorporate identity-nya. Ketersedian produk ini juga harus sejalan dengan animo publik untuk berkunjung ke GNI.


Apa karena program dan pameran di GNI kurang menarik sehingga sepi pengunjung?Kami kira bukan karena faktor itu, walaupun boleh saja ada anggapan seperti itu. Setiap program atau pameran di GNI jelas dipilih yang baik dan relevan. Dari data yang ada, dalam setiap pameran rata-rata dikunjungi sekitar 500 orang, bahkan untuk pameran tertentu bisa lebih di atas 1000-an pengunjung. Umumnya dari kalangan komunitas seni rupa dan mahasiswa. Barangkali yang belum terjaring adalah publik umum dan pelajar yang jumlahnya relatif sedikit. Hal ini bukan hanya semata publikasi (PR) yang perlu ditingkatkan, tetapi juga karna imej publik yg masih menganggap GNI bukan museum yang wajib kunjung bagi pelajar (sekolah) yang dibuka setiap saat. Umumnya menganggap GNI sebagai galeri untuk pameran temporer saja. Ini bagian dari upaya kami untuk melakukan sosialisasi dan publikasi (PR) secara terus-menerus melalui berbagai media.


Apakah Anda pernah mendata, berapa orang pejabat pemerintah yang rajin mengunjungi pameran di GNI dalam sebulan, atau sebenarnya tidak pernah ada menteri yang suka menonton pameran di GNI?Tidak secara khusus mendata untuk penjabat pemerintah. Tetapi dalam dua tahun terakhir ini, sesekali tentu ada pejabat pemerintah yang datang dan melihat pameran di GNI, terutama pada saat acara pembukaan pameran atau di hari-hari tertentu. Di antara Menteri yang pernah berkunjung adalah Bpk Ir. Jero Wacik, SE (Menbudpar), Ibu, Meutia Farida Hatta (Menteri Pemberdayaan Perempuan), Bapak Taufiq Effendi (MenPAN), Ibu Mari E. Pangestu (Menteri Perdagangan). Sedangkan untuk pejabat pemerintah liannya selain Sekjen, Dirjen NBSF, Dirjen Sepur, dan beberapa Direktur di lingkungan Depbudpar, juga ada Gubernur DKI Jakarta, Dirjen Dikti, Kadinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, dan lain-lain.


Dalam sebulan, berapa kali Menteri Kebudayaan dan Pariwisata berkunjung ke GNI?Tidak dalam hitungan bulan, karena Menbudpar tentu memiliki banyak acara dan aktivitas, tetapi beliau sudah beberapa kali datang ke GNI. Terakhir waktu beliau meresmikan Pameran Seni Rupa Nusantara ke 5 (Juli 2007). GNI sebagai lembaga di bawah naungan Depbudpar ada mekanisme sendiri untuk melakukan koordinasi dan pelaporan atas program GNI kepada pimpinan di atasnya hingga ke tingkat menteri.


Semua perupa ingin berpameran di Galeri Nasional Indonesia, bagaimana sebenarya aturan main yang berlaku untuk berpameran di GNI?Dari pendapat publik yang kami terima selama ini, memang banyak perupa atau galeri /impresario yang ingin memamerkan karya-karya perupanya di GNI. Mudah-mudahan alasannya karena lebih prestige dan maintenance yang representatif. Pada prinsipnya, GNI terbuka untuk pameran yang diusulkan oleh pihak dari luar. Prosedurnya, setiap usulan dilengkapi dengan proposal yang memuat tentang konsep kuratorial serta biodata dan reproduksi karya yang akan dipamerkan. Kemudian Kurator GNI akan menyeleksi dan mempertimbangkannya dari berbagai aspek. Utamanya dari aspek reputasi seniman dan kualitas karyanya. Tidak semua usulan dapat diterima. Informasi lengkap tentang prosedur pamearn di GNI dapat diakses pada website : www.galeri-nasional.or.id.


Apakah pameran di GNI boleh melakukan jual-beli karya?GNI lebih mengutakan pameran dalam bingkai kurasi untuk peningkatan daya apresiasi seni masyarakat dan pewacanaan yang berkembang dalam fenomena seni rupa Indonesia atau mancanegara. Soal adanya peminat untuk membeli karya tersebut, itu hal yang logis saja, dan tak terhindarkan. Yang terpenting, menaati aturan yang ada, misalnya tidak diperkenankan mengadakan lelang, tidak mencantumkan harga pada lebel karya, tidak menandai karya yang terjual dengan pita atau bunga merah, dan tidak boleh menurunkan/mengganti karya selama waktu pameran berlangsung.


Ada usulan dari masyarakat, sebaiknya GNI hanya untuk pameran yang bersifat retrospektif, dan tidak perlu terlalu mengikuti tren seni rupa terkini, bagaimana?Usulan itu baik saja. Dari sekian banyak konsep pameran, salah satunya bisa dalam bentuk restropektif, untuk lebih dalam memahami perjalanan tokoh seni rupa kita. GNI beberapa kali mengusung pameran seperti itu, mulai dari perupa Affandi, Barli, Popo Iskandar, A.D. Pirous, Sujana Kerton, dan lain-lain. Dalam tahun ini juga GNI bersama mitra kerja lain akan menggelar Pameran 100 tahun Salim (Perancis), Pameran Koleksi GNI, pameran Sanggar Bumi Tarung, dan pameran besar seni rupa Indonesia “MANIFESTO” yang akan melibatkan sekitar 350 perupa dari ankatan 60-an sampai saat ini. Tahun depan, diprogramkan untuk pameran perupa Handrio, Srihadi, dan Nashar.
Sementara keterlibatan pameran yang dianggap mengikuti trend seni rupa saat ini, saya kira itu bagian dari fungsi GNI untuk melakukan pengembangan terhadap perupa yang potensial, agar bisa dicermati dan dipetakan dalam wacana perkembangan seni rupa Indonesia dan Asia yang terus berjalan. Harapannya, GNI di masa datang bisa menjadi semacam barometer mutu perkembangan seni rupa Indonesia mutakhir, sekaligus berfungsi menjadi fasilitator bagi para perupa Indonesia dalam hubungan internasional.


Juga ada usulan, sebaiknya karyawan GNI itu yang benar-benar mencintai dan mengerti seni rupa, bukan sekadar PNS. Menurut Anda?Idealnya seperti itu, tetapi mengenai status resmi pegawai tentu saja harus PNS, mengingat GNI sebagai lembaga pemerintah. Mengenai pegawai GNI memang belum memenuhi kompetensi yang daharapkan. Tenaga ahli di bidang seni rupa sangat minim, lebih untuk bidang lain semisal ilmu komunikasi, public relation, konservasi. Sejak tahun 2003, GNI sudah mengusulkan untuk penambahan pegawai baru sesuai kompetensi yang dibutuhkan, tetapi belum terealisasi. Selama ini bisa ditangani dengan melibatkan mitra kerja, terutama kehadiran Tim Kurator GNI yang sangat berarti peran dan kontribusinya. Oh ya, Tim Kurator GNI saat ini adalah M. Agus Burhan, Inda C Nurhadi, Rizki A. Zaelani, Kuss Indarto, dan Surya Yuga (ex officio).


Mengapa Anda berani menjadi Kepala GNI ketika ditunjuk oleh atasan?Masalahnya bukan berani atau tidak berani. Jabatan itu adalah amanah dan kepercayaan yang harus diemban oleh seorang Aparatur Negara. Tentu atasan sudah mempertimbangkanya masak-masak. Saya sendiri memiliki latar belakang yang terkait dengan kompetensi di bidang seni rupa, permuseuman, kuratorial, dan manajemen seni. Itulah yang menjadi bekal yang perlu terus diasah untuk mengelola GNI ini. Berkat dukungan staf dan pimpinan, stakeholders dan jejaring GNI, saya kira tugas sebagai Kepala GNI dapat berjalan sebagaimana mestinya.


Program apa yang ada di kepala Anda untuk direalisasikan dalam membenahi GNI, agar lebih baik dari yang sekarang?Selama dua tahun lebih kami mengelola GNI, banyak gagasan dan program pengembangan GNI yang sudah direalisasikan, sebagaimana yang telah diutarakan di atas. Yang perlu mendapat prioritas lebih lanjut adalah masalah perawatan koleksi, pemberdayaan pameran permanent, dan menyebarluasan (publikasi) tentang eksistensi GNI agar dapat dimanfaatkan atau dikunjungi oleh masyarakat luas untuk keperluan studi atau rekreasi budaya. Dalam waktu dekat, kami akan membenahi bahan publikasi dengan membuat Brand Identity System and Implementation - GNI, mulai dari Building Signage, Official Brochure, Annual Program (Calender of Event, Flyer/Poster), dan lain-lain.
Selain itu, untuk menata lingkungan GNI, kami sedang memproses usulan kepada Pemprov DKI untuk memindahkan jembatan penyebrangan yang tepat berada di depan GNI agar view Gedung GNI lebih terlihat.


Apa saja kendalanya?Ya kendala ada saja, selalu terkait dgn SDM. Tetapi upaya-upaya yang benar dan signifikan akan terus ditempuh dengan atensi dan dukungan berbagai pihak.


Bisa diceritakan keterlibatan dan kecintaan Anda terhadap seni rupa sehingga layak menjadi kepala GNI?Soal kelayakan menjadi Kepala GNI tentu pimpinan dan masyarakat dapat menilainya. Sejak menentukan pilihan untuk kuliah di jurusan seni rupa IKIP Bandung (1982), tentu karena didasari atas kecintaan dan ketertarikan saya terhadap dunia seni rupa. Sepanjang perjalanan karier, banyak berkecimpung di bidang ini seni rupa, mulai jadi guru, penulis, kurator, restorator. Pengenalan dgn dunia permuseuman ketika tujuh tahun bekerja di Museum Nasional mengelola koleksi seni rupa yang menjadi salah satu cikal bakal pendirian GNI ini. Seperti yang telah disinggung di atas, saya telah diberi kesempatan untuk mengikuti berbagai penataran, diklat, workshop, studi banding di dalam maupun luar negeri, yang semuanya mengenai museum, galeri, konservasi, kuratorial, dan manajemen seni. Bekal itulah saat ini dapat diimplementasikan dalam mengemban amanah sebagai Kepala GNI.


Dalam seminggu, berapa kali Anda menonton pameran yang diselenggarakan bukan oleh GNI?Kalau tidak ada halangan, sebelum atau sesudah dipercaya menjadi Kepala GNI, saya berusaha untuk hadir melihat pameran yang berlangsung di beberapa tempat atau galeri lain. Bahkan kadang-kadang diminta untuk meresmikan pameran. Hal ini dilakukan di samping untuk memperdalam wawasan dan apresiasi seni, juga untuk menjalin dan mempeluas jejaring dengan stakeholder (komunitas) atau medan seni rupa. Dalam seminggu, minimal satu tempat yg dapat dikunjungi.


Ceritakan obsesi Anda dalam bidang seni rupa?Obsesi saya, berharap karya-karya seni rupa terbaik ciptaan perupa Indonesia dapat tersimpan dan dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia maupun di galeri yang perlu dibangun di setiap propinsi, agar karya tersebut menjadi asset budaya bangsa yang harus dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang bersifat edukatif-kultural, dan rekreasi kepada masyarakat lintas generasi. Selain itu, karya seni rupa harus tetap menjadi media komunikasi visual untuk menyampaikan pikiran, gagasan, pencerahan, dan estetika yang bermakna bagi setiap orang.


Kebanggaan, kepuasan, dan kepusingan Anda menjadi kepala GNI?Dalam mengemban tugas sebagai Kepala GNI, kebabanggaan yang utama adalah bila kepercayaan itu bisa dilaksanakan sebaik-baiknya. Kepuasan bersifat temporer yang tidak harus berhenti ketika saya mendapatkannya dalam suatu kesempatan, tetapi ketidakpuasan perlu dirasakan untuk memicu ke arah yang lebih baik lagi. Kalau kepusingan, adakalanya muncul ketika perencanaan dan realisasi program tidak berjalan sesuai dengan harapan.


BIODATA
Nama formal : Tubagus Sukmana
Nama panggilan : TB Andre
Riwayat Pekerjaan/Jabatan
1988 – 1990 : Guru kesenian SMA Negeri 31 Jakarta Timur
1990 – 1995 : Karyawan MUSEUM NASIONAL (Museum Gajah)
1995 – 1998 : Kepala Seksi Koleksi Seni Rupa MUSEUM NASIONAL
1998 – 2001 : Kepala Seksi Dokumentasi, Pameran dan Publikasi GALERI NASIONAL INDONESIA
2002 – 2003 : Kepala Seksi Seni Media Rekam Cetak Direktorat Kesenian KEMENTRIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
2005 – Sekarang : Kepala GALERI NASIONAL INDONESIA

Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan formal : S1 Jurusan Seni Rupa IKIP (UPI) Bandung – 1987
2. S2 Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana-Jakarta (2007 – sekarang)

Semasa kuliah pernah menjabat:
1. Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Seni Rupa / HIMASRA (1984 – 1985)
2. Wakil Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa FPBS (1995 – 1997)
3. Turut mendirikan dan aktif dalam kelompok kreatif seni KELUARGA ’82 (1984 1988)
4. Beberapa kali mengikuti pameran bersama di Bandung dan Jakarta.

Mengikuti Diklat/Penataran/Workshop/Lokakarya yang terkait dengan dunia kesenian, permuseuman, kuratorial al:
1. ASEAN Art Museum Profesional Worshop 1988 (COCI, Asia Link, DEAKIN University Australia) – Studi Banding ke 30 institusi (galeri, museum, akademi, dll) di Melbourne, Canbera, Sydney dan Brisbane.
2. Kursus Art Management 1994 (Kedubes Australia Jakarta – Quensland University of Technology, Australia)
3. Pelatihan Teknik Pengelolaan Seni, 1995 (Ditjen. Kebudayaan)
4. Workshop Kurator, 1997 (Direktorat Keseniam – The Japan Foundation)
5. Penataran Permuseuman Tipe Khusus, 1992 (Direktorat Permuseuman)
6. Lokakarya “Conservation an Collection Management”, 1996 (Direktorat Permuseuman Nusantara Jaya Foundation – The Ford Foundation and Asian Cultural Council, New York)
7. Lokakarya Manajemen Organisasi Budaya, 2001 (Yayasan Kelola, LPPM, Ford Foundation)
8. Mengikuti ASEAN CULTURE WEEK di Vietnam dan ASEAN YOUTH CAMP di Kamboja, 2004
9. Menghadiri 12th Asian Art Biennale Bangladesh 2006
10. Mengikuti ASIAN ART MUSEUM DIRECTOR'S FORUM, Beijing-China, 2006
11. Melakukan studi banding ke Museum of Art Fukuoka dan Fukuoka Asian Art Museum, Jepang
12. Mengikuti ASEAN Museum Director's Symposium, Singapore, 2007
13. Mengikuti ASIAN ART MUSEUM DIRECTOR'S FORUM, Singapore, 2007
14. Aktifitas lain pernah menjadi curator, restorator dan konsultan untuk penafsiran keaslian lukisan serta sesekali menulis artikel seni-budaya yang sempat dimuat pada jurnal, catalog pameran dan media massa, seperti: Republika, Kompas, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Majalah ASRI, dll.

::foto oleh >>:: dok pribadi

@edisi cetak dipublikasi dalam koktail nomor 23>>:: 28 februari - 5 maret 2008

tulisan yang nyambung