http://jurupotret.blogspot.com |
Martin Aleida memilih meninggalkan kantor jurnalistik yang sudah mapan, dan siap melarat untuk berkarya.
Ia belajar menjadi wartawan dengan menulis cerpen. Setelah menjadi watawan, ternyata tidak bisa produktif lagi menulis karya sastra. Itulah dia Martin Aleida. Kini Martin sudah tidak menjadi wartawan, dan kembali menulis karya sastra, sekalipun harus melarat.
Bagaimana pergulatan hidupnya, dan penilaiannya terhadap karya sastra kita saat ini, berikut petikan wawancara yang berlangsung di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Rabu 18 Juli 2007 lalu.
Bagaimana awal Anda bersentuhan dengan sastra dan jurnalistik?
Karena saya membaca karya HAMKA, juga karya Pram (Pramoedya Anantatoer –red). Saya menulis cerpen (cerita pendek) ketika kelas 2 SMA, tahun 1962, itu sebelum tragedi G30S/PKI. Saat itu di Medan, ada Koran namanya Indonesia Baru yang setiap hari memuat cerita pendek, di Jakarta ada Harian Indonesia yang juga memuat cerpen setiap hari. Karena tiap hari, seleksinya tidak ketat. Jadi, para pemula memiliki kesempatan karyanya bisa dimuat. Karya saya banyak dimuat di sana. Tidak ada honornya waktu itu.
Cerita pendek di sana tidak seperti sekarang, ada pembatasan karakter. Di sana, cerpen bisa panjang, dan pemuatannya bisa bersambung sampai tiga hari.
Saya juga aktif berteater. Saya pernah main di Gedung Kesenian Jakarta dan PGRI, tahun 1964. Grup taeter itu datang ke Jakarta, dan saya ikut main. Naskahnya Si Nandang, berdasarkan cerita rakyat. Ditulis oleh Emha, singkatan dari Ebrahim Hamid, yang meninggal di Belanda. Emha ini juga mengaransir musik tradisional, dan begitu popular. Ada kelompok musik yang suka diundang ke Istana, memainkan aransemen Emha, dan Presiden Soekarno suka setengah mati.
Kelanjutannya?
Tahun 1963, saya pindah ke Jakarta. Saya menjadi anggota redaksi majalah kebudayaan Zaman Baru. Tidak sampai setahun. Kemudian saya kerja serabutan. Lalu menjadi wartawan Harian Rakyat. Hampir setengah tahun saya meng-cover kegiatan Presiden, dari Januari sampai Juli 1965. Pada usia 23, saya sudah meliput kegiatan Presiden. Anda bayangkan, tanpa persiapan yang matang, hanya seorang lulusan SMA. Alasannya bisa diterima, karena kami suka menulis, itu saja. Alasan lain, pada waktu itu, kalau orang datang dari daerah yang berbahasa Melayu, kalau mau melamar jadi wartawan, itu sudah mendapatkan jaminan. Dari Sumatra, lebih mudah jadi wartawan.
Setelah meliput Presiden, saya mengikuti pelatihan Jurnalistik di Semarang, kemudian terjadi peristiwa itu. Pendidikan tidak selesai, kacau, dan bubar. Saya masuk lagi ke Jakarta setelah 2 Oktober 1965. Koran sudah ditutup. Semua orang menyelamatkan diri, termasuk saya.
Tapi saya ditangkap, awal 1966. Setengah tahun saya ditahan. Terus terang, saya mujur. Saya tidak sampai dipukul, tidak dikirim ke Salemba, atau ke Pulau Buru. Saya kira itu keajaiban, miracle. Kami ditangkap enam orang. Ada teman, naman ya Putu Oka Sukanta, babak belur dihajar, karena dalam kantong dia ada surat korespondensi dengan teman di Lekra. Ia dicurigai ada hubungan dengan PKI.
Di kantong saya, yang ada adalah surat dari pacar, dan surat wasiat dari orang tua saya yang mau naik haji. Waktu itu, kalau mau menunaikan haji tidak seperti sekarang, membutuhkan waktu tiga bulan dan harus siap mati. Saya menerima wasiat, sebagai anak, saya akan menerima bagian di sini, tanah di sini. Intrigatornya jadi bingung, sebab pada waktu itu, simpatisan PKI selalu dituding ateis. Ini kok ada simpatisan yang orang tuanya mau naik haji. Saya jelaskan, tak ada hubungan antara agama dengan kepercayaan politik. Dan, ini menjadi miracle yang membuat saya dikeluarkan dari tahanan.
Saya bersyukur tidak sampai dipukuli, tidak dikirim ke Pulau Buru, atau ke penjara Salemba.
Di mana memang ditahannya?
Jejaknya sudah tidak kelihatan. Ada namanya Kodim 0501, letaknya sekarang itu di belakang gedung Bank Indonesia. Di seberangnya, ada sekolah tua, milik katolik, nah di situlah camp konsentrasi.
Hiburan kami satu-satunya adalah, bisa duduk di taman bekas sekolah itu. Tak jauh dari situ, di jalan Budi Kemuliaan, itu kan ada rumah sakit bersalin. Tiap sore, kami melihat ibu-ibu yang memeriksakan kehamilannya ke rumah sakit bersalin itu. Nah, itulah hiburan kami satu-satunya. (Martin tertawa mengenangkannya).
Kembali ke Bung Karno, yang terkesan saat Anda meliput Bung Karno?
Bung Karno itu sangat hangat. Bersahabat dengan wartawan. Bung Karno itu memiliki semacam gentlemen agreement dengan wartawan. Bung Karno suka mengundang wartawan untuk ikut makan. Kami pernah diundang makan dengan tamu. Di ruang makan, duduk Bung Karno, di sampingnya Titiek Puspa, kemudian pemilik rekaman kaset, namanya Yose kalau tidak salah. Ada Komisris Besar Polisi Sumirat, ada ajudan perempuan dari angkatan laut, lalu saya di sampingnya. Ajudan ini ngajak saya ngobrol terus. Akhirnya Bung Karno menegur. “Eh, sudah lama kalian kenal?” Saya jawab, “tidak baru kenal.” Lalu Bung Karno tertawa kecil. Tapi setelah itu, kami tidak ngobrol lagi. Kami makan dengan tenang.
Bung Karno itu sarapan dengan memakai kaos oblong, tidak pakai peci. Nah, dia tidak boleh dipotret dalam keadaan seperti itu. Kalau Anda baca autobiografi dia, di situ disebutkan, seorang Presiden, haruslah kelihatan dia seorang Presiden. Dan kami, artinya wartawan terutama fotografer, tidak mau mendeskripsikan keadaan Bung Karno seperti sedang berkaos oblong.
Apa Bung Karno pernah marah kepada wartawan?
Tidak, Bung Karno tidak pernah marah kepada wartawan. Dia hanya menyampaikan kritik pada umumnya ketika beliau berpidato. Misalnya menemukan kata-kata asing, baik Inggris maupun Belanda, ditulis tidak benar oleh wartawan, itu dia kritik, dan membenarkan spelling atau grammar-nya. Maklum, waktu itu kebanyakan wartawan kurang akurat menuliskan bahasa asing, dan mungkin readakturnya juga kurang bisa mengoreksi teks berbahasa Inggris atau Belanda.
Setelah keluar dari tahanan?
Wah itu luar biasa. Apa saja kami kerjakan. Hanya menjadi tukang becak yang tidak pernah saya lakukan. Kenapa, karena semua becak sudah ada penariknya. Saya menjual bensin di pinggir jalan, berdagang di Pasar Baru yang dikejar-kejar polisi. Menjadi pelayan di restoran Padang. Waktu ada festival HMI yang diselenggarakan di kantor pos seberang Pasar Baru, saya menjadi pelayan. Anda bayangkan, bagaimana dibentak orang.
Setelah kerja serabutan?
Saya diberikan pekerjaan oleh JS Hadis, dia Sekretaris Jenderal PWI Pusat dan wartawan Berita Yudha. Dia bilang mau buka toko di Pasar Jembatan Lima. Dia bilang, kau yang jalankan, dengan gaji waktu itu perhari 250 rupiah. Saya bilang, okay! Saya bilang sama JS Hadis, Goenawan Mohammad (GM) mau buka majalah baru, saya mau coba melamar. JS menyetujui. Saya sudah kenal dengan GM. Saya datangi dia, “Mas saya mau bergabung.” GM menjawab, “Okay masuk.” Saya masuk ke Tempo tanggal 15 Januari 1971 sebelum majalah ini terbit 6 Maret 1971. Saya di Tempo selama 13 tahun, sampai 1984. Majalah ini maju pesat. Oplah pertama hanya 12.500. Oplah kedua, bulan berikutnya, sudah naik 25.000.
Kenapa berhenti dari Tempo?
Ya, Anda tahulah kerja di jurnalistik. Mula-mula semua sepaham. GM bilang, cita-cita kita dalam jurnalistik sama. Tapi begitu majalah maju, mulailah timbul friksi, dan like or dislike. Waktu dikasih mobil misalnya, itu ditentukan sesuai jabatan, bukan dari fungsi. Syubah Asa misalnya, karena dia dibelikan Hartop, akhirnya harus nombok tiap bulan.
Saya mulai stress dan gila. Mobil saya pakai dua hari dalam seminggu karena biaya bensinnya mahal. Saya suka lari dari tempat tinggal di Depok ke kantor Tempo di Proyek Senen. Waktu itu, UI dan Margonda belum ada di Depok. Enak sekali waktu itu. Lari di Depok sampai Pancoran, dan di Pancoran belum ada jalan tol. Kita bisa lari di tengah jalan yang sunyi, dengan rumput-rumput yang tinggi, tumbuh di tepi jalan. Yang menyiksa, ketika mulai masuk ke Jl. Kuningan, barulah stress. Jalanan mulai macet. Saya pernah meng-cover kegiatan Marathon di tol Jagorawi sejauh 45 KM, saya ikut jadi peserta karena saya stress menghadapi kantor.
Selesai dari Tempo?
Saya bekerja setahun di TV NHK milik Jepang. Selesai dari NHK, saya dipanggil oleh kantor penerangan PBB untuk bekerja di sana. Karena bos saya orang Jepang, dan saya pernah kerja di NHK, dia pikir saya mengerti mentalitas orang Jepang. Ternyata bos saya di kantor berita PBB ini gila kerja. Tapi dia memberikan pelajaran yang luar biasa. Kantor masuk jam 7 pagi, dia sudah ada dan bekerja. Kami pulang jam setengah delapan malam, dia masih bekerja. Apa yang dia kerjakan? Harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dia tidak bisa bahasa Indonesia. Nah saya kebagian. Mati!
Dia tidak mengerti bahasa Indonesia, tapi bisa menemukan kesalahan terjemahan kita. Penemuannya bukan pada bahasa, tapi pada tanda baca. Misalnya, kalau saya menerjemahkan United Nations menjadi Perserikatan Bangsabangsa tanpa strip, wah dia akan ngamuk, memusuhi saya selama dua hari.
Dia bilang, “Kalau kalimat ini tanda bacanya salah, berarti ini kalimat yang salah. Saya tidak bisa bahasa Indonesia, Tapi yang begini saja sudah salah, pasti banyak yang salah dari terjemahan kamu ini.”
Waktu saya disuruh bikin press release, saya membuat draf di kertas baru. Di manapun, termasuk di Tempo, pastilah pakai kertas baru. Tapi dia marah, dan bilang kalau bikin draf bikinlah di kertas bekas. Dia sendiri, memperlihatkan ke saya, kalau membuat draf itu terkadang di bungkus rokok. Dia bilang, “ini pemborosan. Gunakan kertas bekas!”
Sesudah itu?
Saya pensiun dari kantor PBB tahun 2001. Saya pikir, saya terlalu lama bekerja untuk di luar diri saya. Sudah waktunya saya bekerja untuk diri saya, biarlah saya melarat. Saya kembali lagi menulis. Tahun 1969, tiga cerpen saya dimuat di Majalah Horison. Tapi setelah bekerja di Tempo, saya tidak bisa menulis lagi. Untuk melatih menulis, saat itu bekerja di Tempo sangat tepat, karena saat itu banyak penulis. Sebenarnya sejak 1998 saya kembali lagi menulis karena waktunya memungkinkan untuk menulis tema-tema yang saya sukai.
Penilaian Anda terhadap karya sastra kita saat ini?
Kesusastraan kita tetap bergerak. Tapi ada yang saya sesalkan, banyak sastrawan terutama esais, tidak berpijak pada bumi dia. Mereka terpesona, katakanlah oleh realisme magis dari Amerika Latin. Saya tidak anti pada bacaan. Saya juga membaca. Apa yang mereka baca, saya baca juga, tapi mungkin jumlahnya lebih sedikit.
Tetapi masalah Amerika Latin dengan masalah kita itu lain, kondisi sosial politiknya berbeda. Ini yang namanya tidak berpijak pada dunia sendiri. Kita punya masalah sendiri, ini yang diabaikan oleh sastrawan kita, terutama kritikus, esais, dan penulis prosa. Mereka cenderung menjadi pengekor, epigon dari kecenderungan kesusastraan di Amerika Latin. Misalnya Gabriel Garcia Marquez, Paolo Coelho. Mereka terpesona. Tapi kalau Anda perhatikan kesusastraan kita, Chairil misalnya, dia juga epigon dan tidak orisinal. Tapi kita hormati dia karena bagaimanapun dia membawa semangat baru dalam perpuisian kita. Ini yang saya sayangkan.
Selain itu?
Ada kalangan tertentu yang saya kira menampilkan kesusastraan yang bukan esensi dari permasalahan sosial kita. Atau mungkin mereka tidak peduli dengan perkembangan sosial yang terjadi di luar diri mereka. Misalnya, mereka berbicara masalah sastra dan sex. Pertanyaan saya, apa yang dicapai dengan tema-tema ini. Mereka hendak membebaskan diri dari masyarakat yang luas. Pertanyaan saya, diri yang mana?
Sekarang sedang hangat polemik sastra dan sex, komentar Anda?
Saya tidak mau terlibat dalam polemik itu, sebab bagi saya itu bukan esensi dari kesusastraan yang harus kita sumbangkan kepada masyarakat.
Ada tuduhan, seseorang tekah mengklaim diri sebagai nabi tapi tanpa wahyu. Tuduhan itu menarik, tapi apakah ini masalah sastra kita. Sama dengan kebebasan pers dan kebebasan berkarya, kita memang bisa menulis apapun. Tapi kita pada akhirnya harus memilih, Anda menulis untuk siapa? Pilihan ini menjadi konsekuensi dari latar untuk kita berkarya.
Yang belakangan ini muncul adalah pemaksaan estetika dari kelompok tertentu kepada kelompok yang lebih luas. Menurut saya, ini sama bahayanya dengan totalitarianisme.
Salah satu yang berperan mewarnai sastra adalah redaktur media massa, bagaimana menurut penilaian Anda?
Redaktur media massa sudah bekerja dengan baik. Tapi yang merisaukan, lahirnya komunitas-komunitas yang ingin menyebut lebih unggul dari yang lain. Bahayanya, adanya upaya dari komunitas itu untuk menunjukkan yang terbaik, dia melakukan manipulasi. Jadi karya seseorang dikerubutin supaya kelihatannya baik, dan memang baik, tetapi sulit mempertanggungjawabkannya.
Kalau cerita Anda misalnya diperbaiki oleh seseorang, terus Anda mau, maka Anda akan sulit mempertanggungjawabkannya, karena itu sudah ada intervensi orang. Namun, demi kehebatan dari komunitasnya, itu dilakukannya. Nah, sayang memang, di media massa tertentu, ada juga redaktur yang ikut melakukan intervensi. Namun, secara menyeluruh media massa sudah turut mendukung perkembangan sastra.
Ada kans sastrawan kita mendapat hadiah Nobel?
Kans selalu ada. Tapi kalau pertumbuhannya seperti ini, sulit rasanya. Panitia di sana kan tidak akan menghargai karya epigon. Bukan malasah bahasanya, tapi pada karyanya. Suka atau tidak suka, Pram menulis dalam bahasa Indonesia, tapi diterjemahkan ke berbagai bahasa. Itulah realitasnya.
Nama : Martin Aleida
Lahir : Tanjung Balai, Asahan, Sumatra Utara, 31 Desember 1943
Pendidikan : - SMA Tanjung Balai, 1963
- Studi Linguistik, George Town University, Washington DC, 1982
Pekerjaan :
- Wartawan majalah kebudayaan Zaman Baru, 1963
- Wartawan Harian Rakyat, 1965
- Wartawan Majalah Tempo, 1971 – 1984
- Wartawan NHK Jepang, 1984 – 1985
- Kantor Penerangan PBB (UNIC) Jakarta, 1985 – 2001
Karya sastra:
- Malam Kelabu, Ilyana dan Aku, 1998 (kumpulan cerpen)
- Layang-layang Itu Tak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi, 1998 (novelette)
- Leointin Dewangga, 2003 (kumpulan cerpen)
- Jamangilak Tak Pernah Menangis, 2003 (novel)
Penghargaan:
Dari Pusat Bahasa untuk kumpulan cerpen Leontin Dewangga, 2004
Dari Do Karim, Aceh, 2005.
edisi cetak termuat dalam tabloid jurnal nasional minggu.
Anda masih betah dg dunia jurnalistik nona yumar?
ReplyDeleteOm Martin Aleida, apa kabar?
ReplyDelete