Perbincangan dengan Djuli Djatiprambudi
TEKS DAN FOTO DODDI AHMAD FAUJI
Peradaban globalisasi yang pada tahun 1995-an masih menjadi wacana di Tanah Air, kini sudah menjadi banjir bandang yang sulit dihadang. Dari beberapa orang yang pernah saya tanyai, mereka mengatakan, mau tidak mau, kita akan terlibat ke dalam peradaban global. Contoh paling kongkret, kita sekarang memiliki hand phone, bahkan facebook, sebagai sarana dari peradaban global. Pertanyaan kemudian lahir, apakah sikap kita dalam berinteraksi dengan peradaban global ini harus pasif dan menjadi objek, atau mau maju ke depan sebagai subject matter yang akan ikut menentukan arah?
Dalam bidang teknologi, rasanya memang sulit bangsa ini bisa maju ke depan sebagai menjadi subjek yang ikut menentukan arah. Tetapi dalam bidang kesenian, hal ini sangat mungkin. Anda semua boleh menertawakan suatu prestasi yang pernah dicapai leluhur kita dalam bidang kesenian. Candi Borobudur bagaimana pun, pernah tercatat sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia. Wayang dinyatakan oleh Enesco sebagai The masterpiece of orallity for humanity in the world. Batik dan keris, juga sejumlah tarian atau situs budaya gubahan leluhur kita, dinyatakan sebagai warisan peradaban dunia. Yah, itu semua masa lalu.
Lalu bagaimana dengan masa kini, dengan karya dan pemikiran kita kini? Adakah kita akan berbangga diri karena bisa melahirkan karya paling kontemporer di tanah air, tapi ternyata tak lebih dari karya plagiat atau epigonistik dari karya orang lain?
Seniman kita, berikut karya dan pemikirannya harus maju ke depan, menjelajah ke delapan penjuru mata angin. Dan untuk menggapai hal itu, tentu tidak mudah. Sebab ini bukan sekedar mimpi. Ini mendekati angan-angan. Namun sekali lagi, hal itu tidak tertutup kemungkinan.
Rubrik perbincangan kali ini bersama Djuli Djatiprambudi, coba menelisik persiapan-persiapan yang mesti dilakukan, terutama oleh seniman, dalam menyikapi peradaban global yang kian agresif, supaya setidaknya, kita tidak hanya sekedar pengekor yang bebal lagi dungu. Berikut petikannya.
Dulu saya kenal Anda tinggal di Surabaya, tiba-tiba pindah ke Batu. Apa pindah biasa saja, atau ada kaitannya dengan ide-ide besar seni rupa?
Semula saya tidak pernah bermimpi tinggal di Batu. Tapi, setelah saya bertemu Slamet Henkus, kawan lama saya yang asli orang Batu, saya diprovokasi untuk pindah ke Batu. Ia pelukis Batu yang kuat, baik dalam konsep maupun visual. Ia pelukis yang mau berpikir dan mau belajar terus-menerus. Karena itu, saya tertarik berteman dengannya, walaupun dalam beberapa hal saya kurang sejalan dengan pikirannya.
Ia memprovokasi saya, karena mungkin merasa kalau saya pindah ke Batu, ada sesuatu yang bisa dikerjakan bersama dalam konteks seni rupa. Lama-lama saya tersihir oleh provokasinya. Ia ngotot terus, sampai bilang ke saya, ”Cak, kalau sampeyan tidak mau pindah ke Batu, sampeyan bukan sahabatku. Pokoknya sampeyan jangan kuatir, semuanya akan saya urus. Gratis”.
Waktu itu, Slamet juga bilang, Batu adalah kantong seni rupa di Jawa Timur, yang butuh corong untuk mengartikulasikan aktivitas seni rupa di Batu, dan Jawa Timur umumnya. Saya terus sadar. Batu memang sudah lama memiliki komunitas seniman yang lumayan banyak, dan karyanya lumayan baik. Mereka rata-rata punya potensi baik. Fakta-fakta inilah yang mendorong saya pindah ke Batu.
Apa setelah di Batu, hal yang Anda prediksi itu memang ada, atau hanya ilusi?
Ya itu tadi, memang ada, dan ternyata lumayan banyak. Di Batu saya kira hampir semua seniman memiliki bakat alam yang baik. Sebagian dari mereka memang ada yang lulusan perguruan tinggi seni rupa, tapi di sini saya melihat bakat alam yang lebih menonjol. Mereka belajar seni rupa lebih banyak dari pengalaman dari berbagai pameran, dan gesekan-gesekan antar-teman sesama seniman di lingkungannya.
Perkembangan kesenian bukan diakibatkan oleh kesadaran intelektual, artinya di Batu, mereka berkembang bukan dalam format pengaruh pendidikan formal an sich. Mereka berkembang melalui penggalian intensif dalam konteks personal. Di sinilah, saya kira justru menjadi kekuatan seniman-seniman Batu.
Karya mereka memiliki watak sendiri, latar-belakang penciptaan yang bervariasi, ini menarik sekali. Meskipun, belakangan ini, terdapat sejumlah seniman yang mulai masuk dalam tren stilistik seni rupa kontemporer. Saya kira ini gejala lumrah di era global. Masalahnya, ketika berada dalam tren itu, apakah seniman tersebut masih mampu menyodorkan perbedaan.
Apakah ada potensi spesial dari seniman Batu yang bisa menjadi identitas lokal, dan di mana potensi itu bisa dipertandingkan dengan potensi lokal dari daerah lain, atau bahkan dengan masyarakat global?
Kalau spesial dipahami dalam konteks adanya identitas kultural, atau adanya akar kultural dalam karya mereka, seperti seniman-seniman Bali, misalnya, saya kira tidak ada. Mereka hidup dalam kultur agraris yang mulai beranjak menjadi kultur modern. Di Batu, saya merasa semua kultur mencair. Tidak ada dominasi oleh kultur tertentu. Mereka sudah terbiasa hidup dalam pola yang cair itu, sekalipun alam pikirnya masih agraris. Alam pikir ini kan selalu bergerak kalau bersama-sama, komunitas terus-menerus membayangi alam bawah sadar mereka, dan dalam komonitas agraris biasanya ada kecenderungan memitoskan figur, dan ini dalam konteks seni rupa sekarang terasa menghambat kemajuan.
Secara kualitas, karya mereka punya potensi cukup besar untuk disandingkan dengan daerah lain, termasuk disandingkan dengan karya dari seniman lulusan ISI atau ITB. Kalau mereka harus diorbitkan di wilayah global, memang membutuhkan persiapan-persiapan yang serius. Persiapan intelektual, keterbukaan pikiran, kedewasaan, dan sikap profesional, saya kira penting dan mendesak bagi mereka. Memasuki dunia global, artinya berada dalam grafitasi ruang gaul yang kompleks, dan memerlukan norma-norma berbeda. Jadi, tidak mungkin, kalau pikirannya masih agraris, terbawa di tata gaul global, nanti malah ditertawakan.
Bagaimana sikap yang harus kita ambil dalam menghadapi globalisasi kesenian yang merupakan suatu keniscayaan, di mana kita tidak bisa mengelak dari globalisasi?
Globalisasi itu kan ibarat kita berada dalam ruang transaksi berbagai kepentingan dan potensi. Lha, kita punya potensi apa dulu. Terus, kita punya kepentingan apa kalau kita masuk di medan globalisasi. Sebab, kalau dua hal ini tidak dirumuskan dengan baik, maka kita akan menjadi bulan-bulanan di era global. Dalam transaksi yang hiruk pikuk itu, kita butuh kekuatan suprastruktur dan infrastruktur yang lengkap, baik, dan profesional. Apa kita selama ini sudah punya yang namanya ’political identity’? Kalau ini masih abu-abu, kita tidak punya pijakan untuk masuk di medan global.
China bisa mencuri perhatian dunia di segala bidang, termasuk seni rupa, karena memiliki ’political identity’ yang kuat. Sedangkan kita masih harus serba-berbenah. Dalam bidang infrastruktur, masih banyak yang perlu dibenahi. Museum belum ada yang baik, sedangkan galeri perspektifnya lebih komersial, balai lelang apalagi, kolektor sering terlihat mengikuti tren, jarang ada kolektor yang fokus dan mendalam pada karya seni tertentu, kurator juga kurang eksploratif di lapangan, kritik tidak berkembang, dan lembaga pendidikan seni selalu sempoyongan mengikuti perkembangan wacana dan praktik seni. Akibatnya, dunia seni rupa sekarang terjadi paradoks yang bukan main.
Sejarah seni didekonstruksi di medan pasar. Nilai seni dan sejarah menjadi cair. Tak ada penghargaan pada proses yang panjang dan berdarah-darah. Yang instant justru yang dihargai dengan gila-gilaan. Yang kanonik dan punya kontribusi jelas dalam perkembangan sejarah seni, justru berada di pinggir. Yang di tengah panggung seni, hari ini justru yang instant itu tadi. Kalau suasananya masih semacam ini, ya memang berat kita bertransaksi di era global. Kita paling hanya berposisi sebagai ’pembeli’ bukan sebagai ’penjual’.
Kita hanya mengkonsumsi wacana dan metode penciptaan yang berkembang di luar diri kita. Kita mestinya punya potensi sebagai ’penjual’ atau ’produsen’ wacana dan praktik seni. Bukan malah rame-rame menjadi pengekor apa yang terjadi di luar. Kita perlu memiliki kekuatan untuk menciptakan ’branding’. Ini penting dan harus.
Apakah seniman Batu memiliki peluang untuk maju ke tingkat internasional? Di mana letaknya, dan apa yang mesti disiapkan dengan segera untuk meraih peluang itu?
Peluang sih ada. Cuma persoalannya harus dikembalikan pada mental seniman. Mereka siap nggak bertarung di tingkat internasional? Seperti yang saya katakan tadi, untuk memasuki dunia internasional, tidak cukup kalau hanya mengandalkan ketrampilan atau karya bagus semata. Di luar itu, ada tuntutan lain, yaitu menjadi seniman yang well informed, terbuka dengan berbagai perkembangan, mau belajar untuk mempertajam gagasan, punya manajemen berkesenian secara terprogram, dan terus menerus membangun jejaring. Intinya, pola pikir harus diubah dulu, baru ada aksi yang tertata.
Di jaman sekarang perlu ditumbuhkan jiwa sebagai ’harimau’, bukan ’bebek’. Harimau itu kan gesit, tatapannya tajam, daya penciumannya hebat, langkahnya mantap, air mukanya berwibawa, kalau jalan gagah dan tidak grudugan. Sebaliknya, bebek selalu jalan grudugan, satu ke utara, yang lain ikut-ikut ke utara, kalau mau makan ya sekenanya, bahkan mengendus-endus comberan pun juga okay. Kalau macan, makannya terseleksi, pilih hewan yang gemuk berisi. Saya kira, kita semua harus punya watak ’harimau’, kalau ingin berbicara di dunia internasional.
Hambatannya?
Kalau ingin maju tiap orang selalu memiliki hambatan. Bahayanya, kalau hambatan sudah memasuki persepsi, maka bisa mengganggu langkah ke depan. Hambatan di Batu, saya kira soal mentalitas saja. Ya itu tadi, bagaimana mereka bisa meninggalkan alam pikir agraris.
Ini soal lain tapi masih berkait. Sebagai dosen seni rupa, bisa Anda jelaskan kondisi pendidikan seni rupa saat ini? Apa sudah mendukung era globalisasi, atau jauh tertinggal langkah?
Saya sudah singgung di depan, pendidikan seni rupa kita selalu pontang-panting mengejar perkembangan wacana dan praktik seni. Kurikulumnya terlalu fixed, karena itu terus menerus susah mengejar perkembangan. Misalnya, dalam konteks dunia seni rupa sekarang yang sudah demikian heboh, khususnya di medan pasar, dunia pendidikan seni rupa cuma duduk termangu, bengong, bahkan bingung mau berbuat apa.
Di dunia pasar, seni bergerak dengan basis kapital yang trilyunan rupiah tiap tahun. Sementara di dunia pendidikan seni rupa, yang mendidik calon-calon seniman hebat, berapa basis kapital yang dioperasikan? Perbandingannya terlalu jomplang. Kapital yang dioperasionalkan di pasar seni rupa, tidak memiliki kontribusi langsung bagi perkembangan dunia pendidikan seni rupa. Ibaratnya, pendidikan seni itu seperti petani yang selalu sengsara menumbuhkan benih, menanam, merawat, memupuk, sampai benih-benih itu benar-benar sehat. Tapi, begitu saatnya panen, para petani tidak merasakan hasilnya.
Seniman-seniman yang hebat, yang karyanya jadi rebutan di medan pasar dengan nilai ratusan juta hingga milyaran, ada nggak yang memikirkan menyumbang dunia pendidikan seni? Dalam dunia seni rupa seperti sekarang, seharusnya pendidikan seni rupa harus segera merespons, misalnya membuka program studi atau kalau belum bisa ya paling tidak memunculkan matakuliah seperti; manajemen seni, kuratorial, publikasi seni, perdagangan seni, dan sebagainya.
Saya ada bincang-bincang dengan seniman Batu, mereka menceritakan konsep kuratorial yang akan Anda kembangkan adalah curatorial by process. Bisa Anda jelaskan kelebihan dan kekurangannya?
Itu cara saya untuk menumbuhkan mental kreatif dan profesional. Dalam curatorial by process, saya ingin membangun dialog intensif dengan seniman, khususnya terkait dengan konsep berkarya, eksekusi karya, hingga provokasi ke publiknya. Saya tidak mau menjalankan kuratorial hanya berdasarkan pengamatan melalui foto secara sepintas lalu, terus kita dengan semena-mena membuat teks kurasi. Rasanya kurator model begini keminter amat. Melalui foto saja bisa dengan gampang membuat teks kurasi. Di dalam dialog tersebut, antara kurator dan seniman saling merangsang ide-ide kreatif. Kurator menjadi tahu proses eksekusi karya, dan kurator menjadi makin memahami jalan pikiran seniman dengan baik. Jadi, kuratorial itu harus berdasarkan pendekatan kualitatif, yang mengandalkan natural setting.
Proyek curatorial by process pertama kali saya kerjakan bersama kelompok MaosART di Batu. Mereka bekerja bersama saya selama 6 bulan untuk mengeksplorasi tema ’dislokasi’, karyanya telah dipamerkan di galeri Gracia Surabaya beberapa waktu lalu, dan hasilnya cukup baik. Sejumlah kolektor besar ternyata tertarik dan mengoleksi karya mereka. Kelebihan dari metode ini, semua agenda yang disepakati terjamin terlaksana tepat waktu, konsepnya terfokus, ada argumentasi yang baik, dan ada hasil yang bisa diprediksikan dengan jelas. Kekurangannya, saya kok belum menemukan ya...hehehehe.
Di era booming dan komodifikasi lukisan belakangan ini, bermunculan kurator sebagai peluang baru untuk terlibat dalam perniagaan seni rupa. Menurut kami, kemuculan itu bisa menimbulkan kekacauan dalam institusi kuratorial. Bagaimana pendapat Anda tentang profesi dan etika kurator?
Sebenarnya, kalau kurator mau ‘ikut campur’ ya nggak apa-apa. Cuma harus ada batas-batas etisnya. Kurasi yang baik menurut saya, ya harus sekaligus bisa memprovokasi pasar, biar pamerannya makin seru dan bermakna. Melalui teks kurasinya yang menarik, sebenarnya kan itu bisa jadi semacam ’iklan’ atau daya tarik pameran tersebut. Masalahnya, teks kurasi seringkali tampak terlalu banyak membawa-bawa teori, yang sebenarnya itu porsi kritikus atau teoritisi seni.
Publik seni yang tidak belajar teori seni akan pusing membacanya. Kurator itu harus bisa memprovokasi publik seni agar publik seni mengetahui titik penting pameran tersebut. Kurator selain mendeskripsikan, juga harus bisa mengeksplanasikan, dan memprediksikan pameran yang dikurasi menjadi bagian penting dari perkembangan seni. Praktik kurasi di Indonesia memang belum berjalan dalam konteks yang seharusnya.
Kurator di sini sebenarnya kan seperti tukang stempel, tapi mau dibayar murah. Ini celaka. Saya pernah riset kecil-kecilan, yaitu membandingkan porsi yang diterima seniman, galeri, dan kurator dalam suatu event pameran. Eh, ternyata porsi yang diterima kurator tidak sebanding. Misalnya, di suatu pameran menghasilkan 1 milyar. Biasanya galeri memotong 40%, artinya galeri menerima 400 juta, dan seniman menerima 600 juta. Berapa yang untuk kurator? Paling banter sekitar 25 juta. Jadi, situasi semacam ini tidak rasional. Bagaimana kita bisa maju, dan mau mengharapkan kurator bisa menjadi artikulator seni yang hebat, kalau situasinya semacam itu? Kalau kita mendengar honor yang diterima Hau Hanru, kurator China yang populer itu untuk suatu event, kita akan merasa malu dan ternyata kita masih sangat jauh bersanding dengan dia untuk urusan honor.
Terakhir, bagaimana seharusnya sikap seniman, kurator, dan pihak lain yang terlibat dengan kesenian, khususnya seni rupa, dalam menyikapi perubahan dan keadaan ke depan?
Kita harus sama-sama sadar, dunia ke depan itu tidak bisa dihadapi dengan cara-cara bodor dan penuh paradoks macam itu. Profesionalisme perlu dibangun dengan baik, sehingga kita saling tahu hak dan kewajibannya. Selama ini, kita kurang memperhatikan perimbangan soal hak dan kewajiban masing-masing profesi. Coba lihat, kenapa kritik seni kita tidak berjalan? Ini ada kaitannya tentang penghargaan. Menulis kritik tidak bisa diandalkan untuk hidup. Menulisnya susah, honornya kecil, belum kalau nanti muncul reaksi berlebihan atau ekstrim dari objek yang dikritik.
Di dalam dunia yang terus-menerus berubah, bahkan dengan hentakan-hentakan keras, kita, yang saya maksud medan seni di Indonesia, perlu memiliki pola pikir yang sama, yang dibangun atas grand design dalam konteks kebudayaan kontemporer yang kita tawarkan di dunia global. Seni rupa sekarang seperti bergerak dalam alur by accident, bukan by design. Jadi yang terjadi hanya saling memanfaatkan situasi, bukan merupakan gejala yang didasarkan atas logika-logika perkembangan kebudayaan yang benar-benar menawarkan nilai. Lihatlah dunia pasar seni rupa kita, itu gejala by accident.
KUTIPAN:
Memasuki dunia global, artinya berada dalam grafitasi ruang gaul yang kompleks, dan memerlukan norma-norma berbeda. Jadi, tidak mungkin, kalau pikirannya masih agraris, terbawa di tata gaul global, nanti malah ditertawakan.
Biodata:
Djuli Djatiprambudi
Lahir di Tuban, 12 Juli 1963. Pendidikan S1 diperoleh di Jurusan Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya/Unesa), S2 dan S3 (Program Studi Ilmu Seni Rupa dan Desain) di Sekolah Pascasarjana ITB.
Sejak 1986 hingga kini, aktif menulis persoalan seni rupa di sejumlah media massa dan jurnal seni rupa; Visual Arts Magazine, Kompas, Jawa Pos, Surya, Suara Merdeka, Media Indonesia, Surabaya Post, Majalah Gong, dsb. Dua kali ia memenangkan lomba menulis tingkat regional, dan dua kali tingkat nasional.
Menjadi staf pengajar mata kuliah Metode Penelitian Seni, Kritik Seni dan Estetika di Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya. Sejak tahun 2000, menjadi kurator independen. Buku yang pernah ditulis dan diterbitkan antara lain; BUNG KARNO, SENI RUPA DAN KARYA LUKISNYA (2001); DINAMIKA DWIJO SUKATMO (ditulis bersama Eddy Soetriyono, 2005); MOEL SOENARKO: PELUKIS REALIS-HUMANIS (2005); SPIRITUALITY OF ASRI NUGROHO’S ART (ditulis bersama Setiawan Sabana, 2006); salah seorang penulis dalam buku MODERN INDONESIAN ART FROM RADEN SALEH TO THE PRESENT DAY (2006); Salah seorang penulis dalam buku JARINGAN MAKNA TRADISI HINGGA KONTEMPORER (2006), MENGGUGAT SENI MURNI (2007), dan kontributor sejumlah penulisan katalog pameran seni.
TEKS DAN FOTO DODDI AHMAD FAUJI
Peradaban globalisasi yang pada tahun 1995-an masih menjadi wacana di Tanah Air, kini sudah menjadi banjir bandang yang sulit dihadang. Dari beberapa orang yang pernah saya tanyai, mereka mengatakan, mau tidak mau, kita akan terlibat ke dalam peradaban global. Contoh paling kongkret, kita sekarang memiliki hand phone, bahkan facebook, sebagai sarana dari peradaban global. Pertanyaan kemudian lahir, apakah sikap kita dalam berinteraksi dengan peradaban global ini harus pasif dan menjadi objek, atau mau maju ke depan sebagai subject matter yang akan ikut menentukan arah?
Dalam bidang teknologi, rasanya memang sulit bangsa ini bisa maju ke depan sebagai menjadi subjek yang ikut menentukan arah. Tetapi dalam bidang kesenian, hal ini sangat mungkin. Anda semua boleh menertawakan suatu prestasi yang pernah dicapai leluhur kita dalam bidang kesenian. Candi Borobudur bagaimana pun, pernah tercatat sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia. Wayang dinyatakan oleh Enesco sebagai The masterpiece of orallity for humanity in the world. Batik dan keris, juga sejumlah tarian atau situs budaya gubahan leluhur kita, dinyatakan sebagai warisan peradaban dunia. Yah, itu semua masa lalu.
Lalu bagaimana dengan masa kini, dengan karya dan pemikiran kita kini? Adakah kita akan berbangga diri karena bisa melahirkan karya paling kontemporer di tanah air, tapi ternyata tak lebih dari karya plagiat atau epigonistik dari karya orang lain?
Seniman kita, berikut karya dan pemikirannya harus maju ke depan, menjelajah ke delapan penjuru mata angin. Dan untuk menggapai hal itu, tentu tidak mudah. Sebab ini bukan sekedar mimpi. Ini mendekati angan-angan. Namun sekali lagi, hal itu tidak tertutup kemungkinan.
Rubrik perbincangan kali ini bersama Djuli Djatiprambudi, coba menelisik persiapan-persiapan yang mesti dilakukan, terutama oleh seniman, dalam menyikapi peradaban global yang kian agresif, supaya setidaknya, kita tidak hanya sekedar pengekor yang bebal lagi dungu. Berikut petikannya.
Dulu saya kenal Anda tinggal di Surabaya, tiba-tiba pindah ke Batu. Apa pindah biasa saja, atau ada kaitannya dengan ide-ide besar seni rupa?
Semula saya tidak pernah bermimpi tinggal di Batu. Tapi, setelah saya bertemu Slamet Henkus, kawan lama saya yang asli orang Batu, saya diprovokasi untuk pindah ke Batu. Ia pelukis Batu yang kuat, baik dalam konsep maupun visual. Ia pelukis yang mau berpikir dan mau belajar terus-menerus. Karena itu, saya tertarik berteman dengannya, walaupun dalam beberapa hal saya kurang sejalan dengan pikirannya.
Ia memprovokasi saya, karena mungkin merasa kalau saya pindah ke Batu, ada sesuatu yang bisa dikerjakan bersama dalam konteks seni rupa. Lama-lama saya tersihir oleh provokasinya. Ia ngotot terus, sampai bilang ke saya, ”Cak, kalau sampeyan tidak mau pindah ke Batu, sampeyan bukan sahabatku. Pokoknya sampeyan jangan kuatir, semuanya akan saya urus. Gratis”.
Waktu itu, Slamet juga bilang, Batu adalah kantong seni rupa di Jawa Timur, yang butuh corong untuk mengartikulasikan aktivitas seni rupa di Batu, dan Jawa Timur umumnya. Saya terus sadar. Batu memang sudah lama memiliki komunitas seniman yang lumayan banyak, dan karyanya lumayan baik. Mereka rata-rata punya potensi baik. Fakta-fakta inilah yang mendorong saya pindah ke Batu.
Apa setelah di Batu, hal yang Anda prediksi itu memang ada, atau hanya ilusi?
Ya itu tadi, memang ada, dan ternyata lumayan banyak. Di Batu saya kira hampir semua seniman memiliki bakat alam yang baik. Sebagian dari mereka memang ada yang lulusan perguruan tinggi seni rupa, tapi di sini saya melihat bakat alam yang lebih menonjol. Mereka belajar seni rupa lebih banyak dari pengalaman dari berbagai pameran, dan gesekan-gesekan antar-teman sesama seniman di lingkungannya.
Perkembangan kesenian bukan diakibatkan oleh kesadaran intelektual, artinya di Batu, mereka berkembang bukan dalam format pengaruh pendidikan formal an sich. Mereka berkembang melalui penggalian intensif dalam konteks personal. Di sinilah, saya kira justru menjadi kekuatan seniman-seniman Batu.
Karya mereka memiliki watak sendiri, latar-belakang penciptaan yang bervariasi, ini menarik sekali. Meskipun, belakangan ini, terdapat sejumlah seniman yang mulai masuk dalam tren stilistik seni rupa kontemporer. Saya kira ini gejala lumrah di era global. Masalahnya, ketika berada dalam tren itu, apakah seniman tersebut masih mampu menyodorkan perbedaan.
Apakah ada potensi spesial dari seniman Batu yang bisa menjadi identitas lokal, dan di mana potensi itu bisa dipertandingkan dengan potensi lokal dari daerah lain, atau bahkan dengan masyarakat global?
Kalau spesial dipahami dalam konteks adanya identitas kultural, atau adanya akar kultural dalam karya mereka, seperti seniman-seniman Bali, misalnya, saya kira tidak ada. Mereka hidup dalam kultur agraris yang mulai beranjak menjadi kultur modern. Di Batu, saya merasa semua kultur mencair. Tidak ada dominasi oleh kultur tertentu. Mereka sudah terbiasa hidup dalam pola yang cair itu, sekalipun alam pikirnya masih agraris. Alam pikir ini kan selalu bergerak kalau bersama-sama, komunitas terus-menerus membayangi alam bawah sadar mereka, dan dalam komonitas agraris biasanya ada kecenderungan memitoskan figur, dan ini dalam konteks seni rupa sekarang terasa menghambat kemajuan.
Secara kualitas, karya mereka punya potensi cukup besar untuk disandingkan dengan daerah lain, termasuk disandingkan dengan karya dari seniman lulusan ISI atau ITB. Kalau mereka harus diorbitkan di wilayah global, memang membutuhkan persiapan-persiapan yang serius. Persiapan intelektual, keterbukaan pikiran, kedewasaan, dan sikap profesional, saya kira penting dan mendesak bagi mereka. Memasuki dunia global, artinya berada dalam grafitasi ruang gaul yang kompleks, dan memerlukan norma-norma berbeda. Jadi, tidak mungkin, kalau pikirannya masih agraris, terbawa di tata gaul global, nanti malah ditertawakan.
Bagaimana sikap yang harus kita ambil dalam menghadapi globalisasi kesenian yang merupakan suatu keniscayaan, di mana kita tidak bisa mengelak dari globalisasi?
Globalisasi itu kan ibarat kita berada dalam ruang transaksi berbagai kepentingan dan potensi. Lha, kita punya potensi apa dulu. Terus, kita punya kepentingan apa kalau kita masuk di medan globalisasi. Sebab, kalau dua hal ini tidak dirumuskan dengan baik, maka kita akan menjadi bulan-bulanan di era global. Dalam transaksi yang hiruk pikuk itu, kita butuh kekuatan suprastruktur dan infrastruktur yang lengkap, baik, dan profesional. Apa kita selama ini sudah punya yang namanya ’political identity’? Kalau ini masih abu-abu, kita tidak punya pijakan untuk masuk di medan global.
China bisa mencuri perhatian dunia di segala bidang, termasuk seni rupa, karena memiliki ’political identity’ yang kuat. Sedangkan kita masih harus serba-berbenah. Dalam bidang infrastruktur, masih banyak yang perlu dibenahi. Museum belum ada yang baik, sedangkan galeri perspektifnya lebih komersial, balai lelang apalagi, kolektor sering terlihat mengikuti tren, jarang ada kolektor yang fokus dan mendalam pada karya seni tertentu, kurator juga kurang eksploratif di lapangan, kritik tidak berkembang, dan lembaga pendidikan seni selalu sempoyongan mengikuti perkembangan wacana dan praktik seni. Akibatnya, dunia seni rupa sekarang terjadi paradoks yang bukan main.
Sejarah seni didekonstruksi di medan pasar. Nilai seni dan sejarah menjadi cair. Tak ada penghargaan pada proses yang panjang dan berdarah-darah. Yang instant justru yang dihargai dengan gila-gilaan. Yang kanonik dan punya kontribusi jelas dalam perkembangan sejarah seni, justru berada di pinggir. Yang di tengah panggung seni, hari ini justru yang instant itu tadi. Kalau suasananya masih semacam ini, ya memang berat kita bertransaksi di era global. Kita paling hanya berposisi sebagai ’pembeli’ bukan sebagai ’penjual’.
Kita hanya mengkonsumsi wacana dan metode penciptaan yang berkembang di luar diri kita. Kita mestinya punya potensi sebagai ’penjual’ atau ’produsen’ wacana dan praktik seni. Bukan malah rame-rame menjadi pengekor apa yang terjadi di luar. Kita perlu memiliki kekuatan untuk menciptakan ’branding’. Ini penting dan harus.
Apakah seniman Batu memiliki peluang untuk maju ke tingkat internasional? Di mana letaknya, dan apa yang mesti disiapkan dengan segera untuk meraih peluang itu?
Peluang sih ada. Cuma persoalannya harus dikembalikan pada mental seniman. Mereka siap nggak bertarung di tingkat internasional? Seperti yang saya katakan tadi, untuk memasuki dunia internasional, tidak cukup kalau hanya mengandalkan ketrampilan atau karya bagus semata. Di luar itu, ada tuntutan lain, yaitu menjadi seniman yang well informed, terbuka dengan berbagai perkembangan, mau belajar untuk mempertajam gagasan, punya manajemen berkesenian secara terprogram, dan terus menerus membangun jejaring. Intinya, pola pikir harus diubah dulu, baru ada aksi yang tertata.
Di jaman sekarang perlu ditumbuhkan jiwa sebagai ’harimau’, bukan ’bebek’. Harimau itu kan gesit, tatapannya tajam, daya penciumannya hebat, langkahnya mantap, air mukanya berwibawa, kalau jalan gagah dan tidak grudugan. Sebaliknya, bebek selalu jalan grudugan, satu ke utara, yang lain ikut-ikut ke utara, kalau mau makan ya sekenanya, bahkan mengendus-endus comberan pun juga okay. Kalau macan, makannya terseleksi, pilih hewan yang gemuk berisi. Saya kira, kita semua harus punya watak ’harimau’, kalau ingin berbicara di dunia internasional.
Hambatannya?
Kalau ingin maju tiap orang selalu memiliki hambatan. Bahayanya, kalau hambatan sudah memasuki persepsi, maka bisa mengganggu langkah ke depan. Hambatan di Batu, saya kira soal mentalitas saja. Ya itu tadi, bagaimana mereka bisa meninggalkan alam pikir agraris.
Ini soal lain tapi masih berkait. Sebagai dosen seni rupa, bisa Anda jelaskan kondisi pendidikan seni rupa saat ini? Apa sudah mendukung era globalisasi, atau jauh tertinggal langkah?
Saya sudah singgung di depan, pendidikan seni rupa kita selalu pontang-panting mengejar perkembangan wacana dan praktik seni. Kurikulumnya terlalu fixed, karena itu terus menerus susah mengejar perkembangan. Misalnya, dalam konteks dunia seni rupa sekarang yang sudah demikian heboh, khususnya di medan pasar, dunia pendidikan seni rupa cuma duduk termangu, bengong, bahkan bingung mau berbuat apa.
Di dunia pasar, seni bergerak dengan basis kapital yang trilyunan rupiah tiap tahun. Sementara di dunia pendidikan seni rupa, yang mendidik calon-calon seniman hebat, berapa basis kapital yang dioperasikan? Perbandingannya terlalu jomplang. Kapital yang dioperasionalkan di pasar seni rupa, tidak memiliki kontribusi langsung bagi perkembangan dunia pendidikan seni rupa. Ibaratnya, pendidikan seni itu seperti petani yang selalu sengsara menumbuhkan benih, menanam, merawat, memupuk, sampai benih-benih itu benar-benar sehat. Tapi, begitu saatnya panen, para petani tidak merasakan hasilnya.
Seniman-seniman yang hebat, yang karyanya jadi rebutan di medan pasar dengan nilai ratusan juta hingga milyaran, ada nggak yang memikirkan menyumbang dunia pendidikan seni? Dalam dunia seni rupa seperti sekarang, seharusnya pendidikan seni rupa harus segera merespons, misalnya membuka program studi atau kalau belum bisa ya paling tidak memunculkan matakuliah seperti; manajemen seni, kuratorial, publikasi seni, perdagangan seni, dan sebagainya.
Saya ada bincang-bincang dengan seniman Batu, mereka menceritakan konsep kuratorial yang akan Anda kembangkan adalah curatorial by process. Bisa Anda jelaskan kelebihan dan kekurangannya?
Itu cara saya untuk menumbuhkan mental kreatif dan profesional. Dalam curatorial by process, saya ingin membangun dialog intensif dengan seniman, khususnya terkait dengan konsep berkarya, eksekusi karya, hingga provokasi ke publiknya. Saya tidak mau menjalankan kuratorial hanya berdasarkan pengamatan melalui foto secara sepintas lalu, terus kita dengan semena-mena membuat teks kurasi. Rasanya kurator model begini keminter amat. Melalui foto saja bisa dengan gampang membuat teks kurasi. Di dalam dialog tersebut, antara kurator dan seniman saling merangsang ide-ide kreatif. Kurator menjadi tahu proses eksekusi karya, dan kurator menjadi makin memahami jalan pikiran seniman dengan baik. Jadi, kuratorial itu harus berdasarkan pendekatan kualitatif, yang mengandalkan natural setting.
Proyek curatorial by process pertama kali saya kerjakan bersama kelompok MaosART di Batu. Mereka bekerja bersama saya selama 6 bulan untuk mengeksplorasi tema ’dislokasi’, karyanya telah dipamerkan di galeri Gracia Surabaya beberapa waktu lalu, dan hasilnya cukup baik. Sejumlah kolektor besar ternyata tertarik dan mengoleksi karya mereka. Kelebihan dari metode ini, semua agenda yang disepakati terjamin terlaksana tepat waktu, konsepnya terfokus, ada argumentasi yang baik, dan ada hasil yang bisa diprediksikan dengan jelas. Kekurangannya, saya kok belum menemukan ya...hehehehe.
Di era booming dan komodifikasi lukisan belakangan ini, bermunculan kurator sebagai peluang baru untuk terlibat dalam perniagaan seni rupa. Menurut kami, kemuculan itu bisa menimbulkan kekacauan dalam institusi kuratorial. Bagaimana pendapat Anda tentang profesi dan etika kurator?
Sebenarnya, kalau kurator mau ‘ikut campur’ ya nggak apa-apa. Cuma harus ada batas-batas etisnya. Kurasi yang baik menurut saya, ya harus sekaligus bisa memprovokasi pasar, biar pamerannya makin seru dan bermakna. Melalui teks kurasinya yang menarik, sebenarnya kan itu bisa jadi semacam ’iklan’ atau daya tarik pameran tersebut. Masalahnya, teks kurasi seringkali tampak terlalu banyak membawa-bawa teori, yang sebenarnya itu porsi kritikus atau teoritisi seni.
Publik seni yang tidak belajar teori seni akan pusing membacanya. Kurator itu harus bisa memprovokasi publik seni agar publik seni mengetahui titik penting pameran tersebut. Kurator selain mendeskripsikan, juga harus bisa mengeksplanasikan, dan memprediksikan pameran yang dikurasi menjadi bagian penting dari perkembangan seni. Praktik kurasi di Indonesia memang belum berjalan dalam konteks yang seharusnya.
Kurator di sini sebenarnya kan seperti tukang stempel, tapi mau dibayar murah. Ini celaka. Saya pernah riset kecil-kecilan, yaitu membandingkan porsi yang diterima seniman, galeri, dan kurator dalam suatu event pameran. Eh, ternyata porsi yang diterima kurator tidak sebanding. Misalnya, di suatu pameran menghasilkan 1 milyar. Biasanya galeri memotong 40%, artinya galeri menerima 400 juta, dan seniman menerima 600 juta. Berapa yang untuk kurator? Paling banter sekitar 25 juta. Jadi, situasi semacam ini tidak rasional. Bagaimana kita bisa maju, dan mau mengharapkan kurator bisa menjadi artikulator seni yang hebat, kalau situasinya semacam itu? Kalau kita mendengar honor yang diterima Hau Hanru, kurator China yang populer itu untuk suatu event, kita akan merasa malu dan ternyata kita masih sangat jauh bersanding dengan dia untuk urusan honor.
Terakhir, bagaimana seharusnya sikap seniman, kurator, dan pihak lain yang terlibat dengan kesenian, khususnya seni rupa, dalam menyikapi perubahan dan keadaan ke depan?
Kita harus sama-sama sadar, dunia ke depan itu tidak bisa dihadapi dengan cara-cara bodor dan penuh paradoks macam itu. Profesionalisme perlu dibangun dengan baik, sehingga kita saling tahu hak dan kewajibannya. Selama ini, kita kurang memperhatikan perimbangan soal hak dan kewajiban masing-masing profesi. Coba lihat, kenapa kritik seni kita tidak berjalan? Ini ada kaitannya tentang penghargaan. Menulis kritik tidak bisa diandalkan untuk hidup. Menulisnya susah, honornya kecil, belum kalau nanti muncul reaksi berlebihan atau ekstrim dari objek yang dikritik.
Di dalam dunia yang terus-menerus berubah, bahkan dengan hentakan-hentakan keras, kita, yang saya maksud medan seni di Indonesia, perlu memiliki pola pikir yang sama, yang dibangun atas grand design dalam konteks kebudayaan kontemporer yang kita tawarkan di dunia global. Seni rupa sekarang seperti bergerak dalam alur by accident, bukan by design. Jadi yang terjadi hanya saling memanfaatkan situasi, bukan merupakan gejala yang didasarkan atas logika-logika perkembangan kebudayaan yang benar-benar menawarkan nilai. Lihatlah dunia pasar seni rupa kita, itu gejala by accident.
KUTIPAN:
Memasuki dunia global, artinya berada dalam grafitasi ruang gaul yang kompleks, dan memerlukan norma-norma berbeda. Jadi, tidak mungkin, kalau pikirannya masih agraris, terbawa di tata gaul global, nanti malah ditertawakan.
Biodata:
Djuli Djatiprambudi
Lahir di Tuban, 12 Juli 1963. Pendidikan S1 diperoleh di Jurusan Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya/Unesa), S2 dan S3 (Program Studi Ilmu Seni Rupa dan Desain) di Sekolah Pascasarjana ITB.
Sejak 1986 hingga kini, aktif menulis persoalan seni rupa di sejumlah media massa dan jurnal seni rupa; Visual Arts Magazine, Kompas, Jawa Pos, Surya, Suara Merdeka, Media Indonesia, Surabaya Post, Majalah Gong, dsb. Dua kali ia memenangkan lomba menulis tingkat regional, dan dua kali tingkat nasional.
Menjadi staf pengajar mata kuliah Metode Penelitian Seni, Kritik Seni dan Estetika di Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya. Sejak tahun 2000, menjadi kurator independen. Buku yang pernah ditulis dan diterbitkan antara lain; BUNG KARNO, SENI RUPA DAN KARYA LUKISNYA (2001); DINAMIKA DWIJO SUKATMO (ditulis bersama Eddy Soetriyono, 2005); MOEL SOENARKO: PELUKIS REALIS-HUMANIS (2005); SPIRITUALITY OF ASRI NUGROHO’S ART (ditulis bersama Setiawan Sabana, 2006); salah seorang penulis dalam buku MODERN INDONESIAN ART FROM RADEN SALEH TO THE PRESENT DAY (2006); Salah seorang penulis dalam buku JARINGAN MAKNA TRADISI HINGGA KONTEMPORER (2006), MENGGUGAT SENI MURNI (2007), dan kontributor sejumlah penulisan katalog pameran seni.
No comments:
Post a Comment