Perbincangan dengan Saptoadi Nugroho
Teks dan Foto Doddi Ahmad Fauji
Tujuh Bintang Art Space, tergolong masih sangat belia. Tanggal 15 Agustus ini, genap berusia setahun. Namun demikian, semangat lari sprint dan endurance yang dimilikinya, boleh juga. Dalam setahun, bisa menyelenggarakan 14 kali pameran. Krisis global yang menghantam mulai Oktober 2008 yang hingga sekarang belum pulih benar, tidak menyurutkan keberaniannya untuk menyelenggarakan pameran yang tentunya membutuhkan biaya, juga dengan resiko karya yang dipamerkan tidak terjual. Menandai usia setahun itu, Tujuh Bintang menggelar award dengan tema the Dream.
Tujuh Bintang dikelola oleh Saptoadi Nugroho, seniman sekaligus pengusaha percetakan dan advertensi. Mengapa ia harus mendirikan galeri, dan mengapa pula harus berlari begitu cepat seolah mengejar suatu target, berikut penjelasannya melalui perbincangan edisi ini.
Pada tahun pertama Tujuh Bintang Art Space, memperlihatkan energi dan semangat yang begitu menggelegak, hingga dalam setahun bisa menggelar 14 kali pameran dengan diperkaya oleh kompetisi seni lukis dalam sekala besar.
Dari mana energi dan semangat itu Anda dapatkan?
Semangat itu berasal dari kuatnya rasa cinta saya terhadap dunia seni rupa, ya tentunya senirupa di ndonesia. Dari event pertama bulan Agustus 2008 hingga sekarang, Tujuh Bintang telah membuat 14 kali event pameran. Seniman Indonesia memang banyak dan beragam. Mereka mempunyai kekuatan baik dari segi ide maupun dari segi pencapaian teknis. Kehadiran Tujuh Bintang menjadi wadah untuk mereka berpameran. Walau baru usia setahun, saya memang punya niat untuk membuat event kompetisi skala nasional, terutama untuk para perupa muda di Indonesia. Terbukti dari event kompetisi terkumpul sekitar 1.508 karya gubahan 623 seniman. Di sini bisa kita lihat bagaimana antusiasnya para perupa muda untuk mengikuti kompetisi.
Kontribusi secara benefit dan profitnya seperti apa, baik bagi seniman, kurator, maupun pihak lain yang terkait?
Benefit yang didapat untuk kurator, jelas dong mereka bisa melihat banyaknya ragam karya –karya baru dari para perupa muda kita, sedangkan untuk para seniman tentunya ini merupakan ajang unjuk nyali, seberapa kuat ide/gagasan/temuan dan juga pencapaian artisitik secara teknis mereka dalam merespon event the Dream – Tujuh Bintang Art Space Art Award tersebut, sedangkan untuk pihak lain misal untuk para kolektor, tentunya mereka bisa melihat event award yang jarang diadakan di Indonesia. Karya award sepertinya memang banyak dirancang dan dibuat untuk keperluan Award tersebut, bila kita menemukan karya yang belum mendekati tema award, mungkin memang karya tersebut tidak dipersiapkan untuk mengikuti award.
Mengenai profit, baik itu untuk seniman, kurator, kolektor, ataupun untuk Tujuh Bintang sendiri, saya rasa semua mendapatkan profit dari segi pandangan masing-masing ya. Kalau untuk perupa, seandainya karyanya bisa terjual, ya mereka bisa mendapatkan ganti biaya produksi. Dan untuk kurator, profitnya bukan materi melainkan “menemukan” seniman baru yang berbakat. Kalu untuk pihak-pihak yang terkait, missl ada pihak lain yang berminat dengan perupa yang disukai, kan bisa mengajak pameran. Dari award ini, perupa akan menjadi sorotan para pencinta seni khususnya di Indonesia.
Ada kesan, Tujuh Bintang ini lebih banyak merangkul para perupa muda? Ada apa nih?
Nggak juga lah… Para senior pun banyak yang sudah dan sering berpameran di Tujuh Bintang. Memang di The Dream Tujuh Bintang Art Award ini kami memfokuskan perupa dengan usia maksimal 35 tahun, masa coba-cobanya dan keberaniannya untuk melahirkan karya yang baru, masih sangat kuat. Dan yang terutama, ya mencari generasi baru, sebagai generasi penerus dari para senoirnya.
Bagaimana pandangan dan sikap Anda terhadap senior, dalam artian seniman senior, pengelola galeri senior, kolektor senior, pokoknya yang serba-senior?
Ya mereka saya anggap sebagai guru sayalah. Meskipun saya nggak dianggap sebagai muridnya, juga nggak apa-apa.. he he he he… Masing-masing kan punya taste sendiri-sendiri. Dan Tujuh Bintang ya begini ini… Nggak kurang dan nggak lebih, standarlah. Dengan seniman senior, saya juga mulai dekat, dekat dalam artian sering ngobrol ngalor-ngidul. Saya mencoba untuk lebih paham dengan kesenian versi para senior saya. Banyak inside yang saya dapatkan dari mereka. Untuk galeri yang senior, saya sangat salut dengan mereka, dengan jerih payah dan susah payah mereka membangun jaringan antara seniman dan pecinta seni , dan hasilnya banyak sekali seniman dilahirkan oleh galeri tersebut. Untuk kolektor senior, mungkin untuk saat ini memang belum banyak yang menyambangi Tujuh Bintang Art Space, perlu waktu untuk bisa mendatangkan mereka ke Tujuh Bintang, apalagi lokasi kita kan di Yogyakarta. Tapi ada beberapa kolektor senior yang selalu datang dan men-support kami, hingga saat ini mereka sering datang ke pameran yang kami adakan.
Apa Anda punya obsesi untuk ekspansi di luar Yogya?
Mungkin bukan obsesi ya… Itu bagian dari masterplan yang sudah dibuat oleh Tujuh Bintang. Memang dalam setahun kami berkonsentrasi untuk kota Yogyakarta yang menjadi tempat Tujuh Bintang lahir. Kemungkinan mulai tahun depan kami akan membuat Tujuh Bintang Art Management, yang mempunyai job description membuat event di luar kota Yogyakarta.
Dunia semakin menyempit, hubungan internasional makin dekat dan mudah. Anda sudah merencanakan untuk go international, membawa seniman-seniman Indonesia ke tingkat internasional?
Itu bagian dari masterplan Tujuh Bintang. Ada beberapa pendekatan dengan galeri di luar negeri yang sedang kami tangani, memang kemungkinan besar akan kami lakukan mulai tahun depan. Dan kemungkinan kami juga akan membawa beberapa seniman untuk mengikuti ajang art fair.
Anda mengikuti perkembangan seni rupa internasional?
Ya, untuk menambah wawasan selalu saya sempatkan mengikuti perkembangan senirupa internasional. Minimal saya harus tau ada agenda besar apa yang sedang dibuat dan dipersiapkan di luar negeri, dan seniman siapa yang sekarang menjadi sorotan dunia seni rupa di luar negeri.
Apakah Tujuh Bintang menjalin relasi dengan art space dan seniman di luar negeri?
Saat ni memang sudah mulai ada semacam kerja sama dengan mereka. Memang usia Tujuh Bintang baru setahun, tetapi bukan berarti setahun itu kami berjalan dengan lambat. Setiap ada kemungkinan kerja sama dengan galeri atau artspace di luar negeri, pasti akan kami pelajari. Ada beberapa proposal yang sudah masuk hingga kini, tapi ya kami harus tahu juga portfolio mereka, nggak asal ada tawaran dari luar langsung kami iyakan. Untuk sementara, seniman dari luar memang bukan fokus kami. Fokus kami adalah membawa seniman dari Indonesia bisa keluar negeri. Ya paling tidak menambah portfolio para seniman tersebut.
Bagaimana Anda menjalin hubungan dengan galeri lain di Indonesia, khususnya di Yogya?
So far, hubungan dengan galeri di Yogyakarta sih baik-baik saja, malah amat baik. Kami dekat dengan mereka, dan mereka dekat dengan kami. Sebisa mungkin mereka juga hadir di pameran yang kami selenggarakan, minimal wakil dari galeri tersebut akan datang, begitupun sebaliknya. Bahkan kami sedang merencanakan pertemuan antar-pengelola untuk membahas beberapa hal, yang di antaranya adalah membuat schedule pameran. Terkadang pameran di Yogyakarta itu dalam sehari, misal hari Jum’at atau hari Sabtu, bisa bentrok 3 sampai 5 tempat secara bersamaan mengadakan pameran semuannya. Nah itu kan merugikan kita sendiri, terutama pengunjung pameran akan terbagi dan pameran itu kurang maksimal, kurang ramai maksudnya. Memang tiap pameran di Yogyakarta selalu ramai, ramai pengunjung maksudnya, he he he… Tapi ya memang Yogyakarta adalah kota seniman.
Obsesi seorang seniman biasanya memiliki buku biografi dan museum pribadi, kalau obsesi Anda seperti apa?
Kalau obsesi untuk memiliki buku biografi tentunya saya juga punya mimpi untuk membuatnya, hanya saja untuk saat ini kiranya perjalanan saya kok ya masih jauh ya. Masih banyak hal yang harus saya kerjakan dan harus saya tunjukkan bahwa memang saya mencintai dunia senirupa Indonesia. Walau sekecil apapun peran yang saya berikan, saya selalu ingin serius menggarapnya. Mengenai museum pribadi… waaahhh kayaknya agak kejauhan banget tuh. Membuat museum itu nggak gampang, dan museum itu harus bisa mewakili pribadi yang punya, di situ ada gabungan antara taste dan dana. Jadi ya masih jauhlah kalau mau bicara mengenai museum. Saya masih hijau mas…. Nunggu hijau agak tua aja masih lama kok. Kalau obsesi saya, ya tentunya seni rupa Indonesia semakin bisa diterima oleh dunia. Begitu banyak perupa Indonesia yang handal baik yang jam terbang berkaryannya sudah lama maupun yang masih muda. Perupa Indonesia kaya dengan ide, Anda bisa melihat begitu banyak ragam dan warna yang bisa kita apresiasi. Amat sangat bernai kok diadu dengan seniman misalnya dari China. Apalagi bila kita bisa mendapat dukungan dari pemerintah kita… Wah salut saya. Agar ke depan kita tidak jalan sendiri-sendiri . Hal tersebut memudahkan kita untuk menjadi yang terdepan. Bersatu kita pasti bisa.
Anda mengelola galeri, advertising, percetakan. Seperti apa manajemen waktu yang Anda gunakan?
Mengelola galeri itu lelah dan senang. Lelah saat persiapan dan senang saat pembukaan. Rasanya kerja keras perupa, curator, dan Tujuh Bintang bisa terbayar pada saat itu. Lega sekali. Susah saya gambarkan betapa bahagianya saat tamu mulai memasuki area pamer di Tujuh Bintang. Tujuh Bintang memang masih terlalu muda, belajar berjalan, tertatih-tatih, dan kadang juga terjatuh. Tapi kok ya semangat saya enggak habis-habis untuk tetap bertahan dan malah ingin bisa segera berlari. Mengenai bisnis saya di advertising, itu sudah lama sekali, sekitar 14 tahun. Sekarang ada beberapa client besar yang saya tangani. Sayang saya sudah jarang bisa berpresentasi di hadapan client saya, karena waktu saya juga amat terbatas, dan memang saya sedang fokus membesarkan Tujuh Bintang Art Space terlebih dulu. Di SACommunication, saya sudah memiliki tenaga-tenaga yang handal, dan mereka sudah masuk kategori “auto run”, pencet langsung jalan… he he he he. Nah, kalau untuk Starlight Printing, kami mempunyai dua tempat yang berbeda. Percetakan sudah terbentuk sekitar 5 tahun yang lalu, dan saat ini sudah berjalan dengan normal dan memiliki langganan yang tetap. Tugas saya hanya sebagai contoller, dan paling ya meeting mingguan saja. Percetakan nggak terlalu sulit kok, tidak memerlukan emosi yang mendalam.
Waktu saya pun terbagi menjadi tiga bagian. Setiap hari saya usahakan selalu masuk kerja jam 08.30 WIB, waktu pulangnya nggak jelas. Biasa saya pulang kerja sekitar pukul 21.00 atau 20.00 tiap hari. Sabtu pun saya masuk kerja. Nah pas hari Minggu, total waktu saya untuk keluarga. Begitu datang ke kantor, saya melihat perkembangan percetakan terlebih dulu. Baru sekitar jam 11.00, mulai di advertising sampai sekitar jam 15.00. Nah setelah itu, saya memikirkan untuh Tujuh Bintang. Mulai jam 18.00, kerjaan kadang saya campur, mana yang akan saya kerjakan duluan, meneruskan pekerjaan Tujuh Bintang Art Space, SACommunication, atau Starlight Printing. Kadang kalau pas senggang, ya saya gunakan untuk melukis, biar nggak stress mas, saya juga manusia yang butuh hiburan.. he he he he.
Bagaimana Tujuh Bintang membangun relasi dengan seniman dan kurator, misalnya dalam pembayaran karya seni yang laku, yang dipamerkan oleh Tujuh Bintang?
Membangunnya ya sambil lihat perkembangan saja, waktunya ke kiri ya ke kiri, waktunya ke arah kanan ya kanan. Nggak ada yang saya paksakan. Ikutin naluri saja. Waktu mau pameran, ya saya ngobrol ngalor-ngidul dengan kuratornya, lalu mereka menawarkan konsep sekaligus content perupanya. Setalah itu, ya kami dan kurator menghubungi perupa-perupanya untuk merespon tema yang disodorkan. Mengenai pembayaran, tertulis paling lambat 60 hari setelah karya terjual. Tapi kalau memang kami sudah mendapat pelunasan dari pembeli, biasanya nggak lama langsung kami bayarkan. Kami menghargai seniman yang telah mau membantu juga kok. Kami nggak mau mempersulit masalah pembayaran. Tabulah buat saya, lukisan yang tidak laku saja saya bisa malu dengan perupanya, apalagi saya telat bayar, wah nggak lah, nggak mau saya.
Kalau ada yang tidak laku, dan Anda tahu seniman tersebut belum mapan, apa yang Anda lakukan?
Ya kalau ada yang nggak laku memang kami kebalikan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara Tujuh Bintang dan perupa. Kadang banyak juga perupa yang tidak mengambil karyanya. Ya siapa tahu di kemudian hari masih bisa laku. Jadi lukisan tersebut kami simpan di gudang. Kadang ada buyer yang memang ingin melihat stock kami, dari situ mereka akan memilih untuk dibeli.
Apakah Anda mengikat seniman dalam sebuah kontrak dan komitemen khusus?
Adalah beberapa seniman yang kami kontrak. Saya mau lebih fokus untuk bisa berdiskusi dengan perupanya, untuk dapat membuat karya yang memang layak diapresiasi.
Apakah selama ini ada komplain dari seniman atau kurator yang bekerja sama dengan Anda?
Kalau kompalin pasti adalah, tapi jarang sekali kok. Saya malas berkonfrontasi dengan pihak lain. Saya hanya ingin kerja sama yang baik, kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Semua masalah bisa kita selesaikan . So far sih, nggak ada masalah kok, aman-aman saja dan nyaris semua masih dalam kendali. Kalaupun ada masalah kecil, pasti kami bisa menyelesaikannya dengan baik. Karena semua itu kan hanya masalah pembelajaran untuk saling menghargai komitmen.
Bagaimana jika ada seniman yang melanggar kontrak atau komitmen?
Ya dulu pernah terjadi, dalam kontrak tertulis 2 bulan setelah masa pameran karya masih menjadi tanggung jawab Tujuh Bintang, setelah itu karya baru akan kami kembalikan bila memang belum laku terjual. Nah pada waktu itu, selang dua minggu setelah pameran, ada beberapa perupa yang mengambil karyanya, dengan alasan mau dipamerkan di tempat lain. Ya sebenarnya kan tidak bisa, tapi ya akhirnya kami berikan saja. Saya nggak mau ada masalah. Kalau mau diambil, ya diambil saja. Tapi sejak itu, saya mulai hati-hati. Tapi itu juga hanya terjadi sekali kok. Masih banyak sekali perupa yang memang dilahirkan menjadi sosok perupa professional, menghargai arti kerjasama.
Apakah di gudang Anda terjadi penumpukan karya?
Ha ha ha ha ha… emang gudang beras apa? Karya itu numpuk sebenarnya memang masih dalam masa kontrak saja kok. Kecuali memang perupa tersebut menitipkan karya mereka di gudang kami dengan tujuan kalau memang ada peminat bisa langsung melihat wujud aslinya.
Siapa saja sebenarnya pembeli karya seni melalui Tujuh Bintang?
Wah kalau masalah pembeli, ya bisa dari mana saja. Ada memang yang support Tujuh Bintang, begitu melihat karya yang bagus, kemungkinan besar mereka mengambilnya untuk dikoleksi. Ya pembeli yang lain sudah mulai tampak, kadang dari Singapore, Jepang, bahkan kadang dari Belgia mengambil dari kami. Sekitar dua bulan lalu, kami memang mulai menawarkan karya-karya pameran maupun stock ke pihak luar. Mungkin gaya tertentu belum mendapat respon di sini, tetapi mata kolektor luar negeri malah bisa menerima. Jadi ya menurut saya, karya itu tidak ada yang jelek. Hanya masalah laku atau tidaknya saja, ha ha ha ha ha. Kalau laku kan everybody happy, ya kan?
Biografi singkat.
Nama : Saptoadi Nugroho
Lahir : Madiun, 29 Oktober 196
Pendidikan : ICB – Pariwisata 1990
Profesi:
President Director Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta
Presiden Director SACommunication
Persident Director Starlight Printing
Kiprah dalam seni rupa :
1. Membuat Event Lelang Lukisan”From Jakarta With Love” -Bantuan dana hasil lelang lukisan kepada korban tsunami 2007 – diterima di Istana Presiden.
2. Pemenang Penghargaan Khusus “Kompetisi 100th Kebangkitan Nasional di Jogja Gallery 2008.
3. Mendirikan Tujuh Bintang Art Space tahun 2008.
4. Menyelenggarakan the Dream - Tujuh Bintang Art Award 2009.
Teks dan Foto Doddi Ahmad Fauji
Tujuh Bintang Art Space, tergolong masih sangat belia. Tanggal 15 Agustus ini, genap berusia setahun. Namun demikian, semangat lari sprint dan endurance yang dimilikinya, boleh juga. Dalam setahun, bisa menyelenggarakan 14 kali pameran. Krisis global yang menghantam mulai Oktober 2008 yang hingga sekarang belum pulih benar, tidak menyurutkan keberaniannya untuk menyelenggarakan pameran yang tentunya membutuhkan biaya, juga dengan resiko karya yang dipamerkan tidak terjual. Menandai usia setahun itu, Tujuh Bintang menggelar award dengan tema the Dream.
Tujuh Bintang dikelola oleh Saptoadi Nugroho, seniman sekaligus pengusaha percetakan dan advertensi. Mengapa ia harus mendirikan galeri, dan mengapa pula harus berlari begitu cepat seolah mengejar suatu target, berikut penjelasannya melalui perbincangan edisi ini.
Pada tahun pertama Tujuh Bintang Art Space, memperlihatkan energi dan semangat yang begitu menggelegak, hingga dalam setahun bisa menggelar 14 kali pameran dengan diperkaya oleh kompetisi seni lukis dalam sekala besar.
Dari mana energi dan semangat itu Anda dapatkan?
Semangat itu berasal dari kuatnya rasa cinta saya terhadap dunia seni rupa, ya tentunya senirupa di ndonesia. Dari event pertama bulan Agustus 2008 hingga sekarang, Tujuh Bintang telah membuat 14 kali event pameran. Seniman Indonesia memang banyak dan beragam. Mereka mempunyai kekuatan baik dari segi ide maupun dari segi pencapaian teknis. Kehadiran Tujuh Bintang menjadi wadah untuk mereka berpameran. Walau baru usia setahun, saya memang punya niat untuk membuat event kompetisi skala nasional, terutama untuk para perupa muda di Indonesia. Terbukti dari event kompetisi terkumpul sekitar 1.508 karya gubahan 623 seniman. Di sini bisa kita lihat bagaimana antusiasnya para perupa muda untuk mengikuti kompetisi.
Kontribusi secara benefit dan profitnya seperti apa, baik bagi seniman, kurator, maupun pihak lain yang terkait?
Benefit yang didapat untuk kurator, jelas dong mereka bisa melihat banyaknya ragam karya –karya baru dari para perupa muda kita, sedangkan untuk para seniman tentunya ini merupakan ajang unjuk nyali, seberapa kuat ide/gagasan/temuan dan juga pencapaian artisitik secara teknis mereka dalam merespon event the Dream – Tujuh Bintang Art Space Art Award tersebut, sedangkan untuk pihak lain misal untuk para kolektor, tentunya mereka bisa melihat event award yang jarang diadakan di Indonesia. Karya award sepertinya memang banyak dirancang dan dibuat untuk keperluan Award tersebut, bila kita menemukan karya yang belum mendekati tema award, mungkin memang karya tersebut tidak dipersiapkan untuk mengikuti award.
Mengenai profit, baik itu untuk seniman, kurator, kolektor, ataupun untuk Tujuh Bintang sendiri, saya rasa semua mendapatkan profit dari segi pandangan masing-masing ya. Kalau untuk perupa, seandainya karyanya bisa terjual, ya mereka bisa mendapatkan ganti biaya produksi. Dan untuk kurator, profitnya bukan materi melainkan “menemukan” seniman baru yang berbakat. Kalu untuk pihak-pihak yang terkait, missl ada pihak lain yang berminat dengan perupa yang disukai, kan bisa mengajak pameran. Dari award ini, perupa akan menjadi sorotan para pencinta seni khususnya di Indonesia.
Ada kesan, Tujuh Bintang ini lebih banyak merangkul para perupa muda? Ada apa nih?
Nggak juga lah… Para senior pun banyak yang sudah dan sering berpameran di Tujuh Bintang. Memang di The Dream Tujuh Bintang Art Award ini kami memfokuskan perupa dengan usia maksimal 35 tahun, masa coba-cobanya dan keberaniannya untuk melahirkan karya yang baru, masih sangat kuat. Dan yang terutama, ya mencari generasi baru, sebagai generasi penerus dari para senoirnya.
Bagaimana pandangan dan sikap Anda terhadap senior, dalam artian seniman senior, pengelola galeri senior, kolektor senior, pokoknya yang serba-senior?
Ya mereka saya anggap sebagai guru sayalah. Meskipun saya nggak dianggap sebagai muridnya, juga nggak apa-apa.. he he he he… Masing-masing kan punya taste sendiri-sendiri. Dan Tujuh Bintang ya begini ini… Nggak kurang dan nggak lebih, standarlah. Dengan seniman senior, saya juga mulai dekat, dekat dalam artian sering ngobrol ngalor-ngidul. Saya mencoba untuk lebih paham dengan kesenian versi para senior saya. Banyak inside yang saya dapatkan dari mereka. Untuk galeri yang senior, saya sangat salut dengan mereka, dengan jerih payah dan susah payah mereka membangun jaringan antara seniman dan pecinta seni , dan hasilnya banyak sekali seniman dilahirkan oleh galeri tersebut. Untuk kolektor senior, mungkin untuk saat ini memang belum banyak yang menyambangi Tujuh Bintang Art Space, perlu waktu untuk bisa mendatangkan mereka ke Tujuh Bintang, apalagi lokasi kita kan di Yogyakarta. Tapi ada beberapa kolektor senior yang selalu datang dan men-support kami, hingga saat ini mereka sering datang ke pameran yang kami adakan.
Apa Anda punya obsesi untuk ekspansi di luar Yogya?
Mungkin bukan obsesi ya… Itu bagian dari masterplan yang sudah dibuat oleh Tujuh Bintang. Memang dalam setahun kami berkonsentrasi untuk kota Yogyakarta yang menjadi tempat Tujuh Bintang lahir. Kemungkinan mulai tahun depan kami akan membuat Tujuh Bintang Art Management, yang mempunyai job description membuat event di luar kota Yogyakarta.
Dunia semakin menyempit, hubungan internasional makin dekat dan mudah. Anda sudah merencanakan untuk go international, membawa seniman-seniman Indonesia ke tingkat internasional?
Itu bagian dari masterplan Tujuh Bintang. Ada beberapa pendekatan dengan galeri di luar negeri yang sedang kami tangani, memang kemungkinan besar akan kami lakukan mulai tahun depan. Dan kemungkinan kami juga akan membawa beberapa seniman untuk mengikuti ajang art fair.
Anda mengikuti perkembangan seni rupa internasional?
Ya, untuk menambah wawasan selalu saya sempatkan mengikuti perkembangan senirupa internasional. Minimal saya harus tau ada agenda besar apa yang sedang dibuat dan dipersiapkan di luar negeri, dan seniman siapa yang sekarang menjadi sorotan dunia seni rupa di luar negeri.
Apakah Tujuh Bintang menjalin relasi dengan art space dan seniman di luar negeri?
Saat ni memang sudah mulai ada semacam kerja sama dengan mereka. Memang usia Tujuh Bintang baru setahun, tetapi bukan berarti setahun itu kami berjalan dengan lambat. Setiap ada kemungkinan kerja sama dengan galeri atau artspace di luar negeri, pasti akan kami pelajari. Ada beberapa proposal yang sudah masuk hingga kini, tapi ya kami harus tahu juga portfolio mereka, nggak asal ada tawaran dari luar langsung kami iyakan. Untuk sementara, seniman dari luar memang bukan fokus kami. Fokus kami adalah membawa seniman dari Indonesia bisa keluar negeri. Ya paling tidak menambah portfolio para seniman tersebut.
Bagaimana Anda menjalin hubungan dengan galeri lain di Indonesia, khususnya di Yogya?
So far, hubungan dengan galeri di Yogyakarta sih baik-baik saja, malah amat baik. Kami dekat dengan mereka, dan mereka dekat dengan kami. Sebisa mungkin mereka juga hadir di pameran yang kami selenggarakan, minimal wakil dari galeri tersebut akan datang, begitupun sebaliknya. Bahkan kami sedang merencanakan pertemuan antar-pengelola untuk membahas beberapa hal, yang di antaranya adalah membuat schedule pameran. Terkadang pameran di Yogyakarta itu dalam sehari, misal hari Jum’at atau hari Sabtu, bisa bentrok 3 sampai 5 tempat secara bersamaan mengadakan pameran semuannya. Nah itu kan merugikan kita sendiri, terutama pengunjung pameran akan terbagi dan pameran itu kurang maksimal, kurang ramai maksudnya. Memang tiap pameran di Yogyakarta selalu ramai, ramai pengunjung maksudnya, he he he… Tapi ya memang Yogyakarta adalah kota seniman.
Obsesi seorang seniman biasanya memiliki buku biografi dan museum pribadi, kalau obsesi Anda seperti apa?
Kalau obsesi untuk memiliki buku biografi tentunya saya juga punya mimpi untuk membuatnya, hanya saja untuk saat ini kiranya perjalanan saya kok ya masih jauh ya. Masih banyak hal yang harus saya kerjakan dan harus saya tunjukkan bahwa memang saya mencintai dunia senirupa Indonesia. Walau sekecil apapun peran yang saya berikan, saya selalu ingin serius menggarapnya. Mengenai museum pribadi… waaahhh kayaknya agak kejauhan banget tuh. Membuat museum itu nggak gampang, dan museum itu harus bisa mewakili pribadi yang punya, di situ ada gabungan antara taste dan dana. Jadi ya masih jauhlah kalau mau bicara mengenai museum. Saya masih hijau mas…. Nunggu hijau agak tua aja masih lama kok. Kalau obsesi saya, ya tentunya seni rupa Indonesia semakin bisa diterima oleh dunia. Begitu banyak perupa Indonesia yang handal baik yang jam terbang berkaryannya sudah lama maupun yang masih muda. Perupa Indonesia kaya dengan ide, Anda bisa melihat begitu banyak ragam dan warna yang bisa kita apresiasi. Amat sangat bernai kok diadu dengan seniman misalnya dari China. Apalagi bila kita bisa mendapat dukungan dari pemerintah kita… Wah salut saya. Agar ke depan kita tidak jalan sendiri-sendiri . Hal tersebut memudahkan kita untuk menjadi yang terdepan. Bersatu kita pasti bisa.
Anda mengelola galeri, advertising, percetakan. Seperti apa manajemen waktu yang Anda gunakan?
Mengelola galeri itu lelah dan senang. Lelah saat persiapan dan senang saat pembukaan. Rasanya kerja keras perupa, curator, dan Tujuh Bintang bisa terbayar pada saat itu. Lega sekali. Susah saya gambarkan betapa bahagianya saat tamu mulai memasuki area pamer di Tujuh Bintang. Tujuh Bintang memang masih terlalu muda, belajar berjalan, tertatih-tatih, dan kadang juga terjatuh. Tapi kok ya semangat saya enggak habis-habis untuk tetap bertahan dan malah ingin bisa segera berlari. Mengenai bisnis saya di advertising, itu sudah lama sekali, sekitar 14 tahun. Sekarang ada beberapa client besar yang saya tangani. Sayang saya sudah jarang bisa berpresentasi di hadapan client saya, karena waktu saya juga amat terbatas, dan memang saya sedang fokus membesarkan Tujuh Bintang Art Space terlebih dulu. Di SACommunication, saya sudah memiliki tenaga-tenaga yang handal, dan mereka sudah masuk kategori “auto run”, pencet langsung jalan… he he he he. Nah, kalau untuk Starlight Printing, kami mempunyai dua tempat yang berbeda. Percetakan sudah terbentuk sekitar 5 tahun yang lalu, dan saat ini sudah berjalan dengan normal dan memiliki langganan yang tetap. Tugas saya hanya sebagai contoller, dan paling ya meeting mingguan saja. Percetakan nggak terlalu sulit kok, tidak memerlukan emosi yang mendalam.
Waktu saya pun terbagi menjadi tiga bagian. Setiap hari saya usahakan selalu masuk kerja jam 08.30 WIB, waktu pulangnya nggak jelas. Biasa saya pulang kerja sekitar pukul 21.00 atau 20.00 tiap hari. Sabtu pun saya masuk kerja. Nah pas hari Minggu, total waktu saya untuk keluarga. Begitu datang ke kantor, saya melihat perkembangan percetakan terlebih dulu. Baru sekitar jam 11.00, mulai di advertising sampai sekitar jam 15.00. Nah setelah itu, saya memikirkan untuh Tujuh Bintang. Mulai jam 18.00, kerjaan kadang saya campur, mana yang akan saya kerjakan duluan, meneruskan pekerjaan Tujuh Bintang Art Space, SACommunication, atau Starlight Printing. Kadang kalau pas senggang, ya saya gunakan untuk melukis, biar nggak stress mas, saya juga manusia yang butuh hiburan.. he he he he.
Bagaimana Tujuh Bintang membangun relasi dengan seniman dan kurator, misalnya dalam pembayaran karya seni yang laku, yang dipamerkan oleh Tujuh Bintang?
Membangunnya ya sambil lihat perkembangan saja, waktunya ke kiri ya ke kiri, waktunya ke arah kanan ya kanan. Nggak ada yang saya paksakan. Ikutin naluri saja. Waktu mau pameran, ya saya ngobrol ngalor-ngidul dengan kuratornya, lalu mereka menawarkan konsep sekaligus content perupanya. Setalah itu, ya kami dan kurator menghubungi perupa-perupanya untuk merespon tema yang disodorkan. Mengenai pembayaran, tertulis paling lambat 60 hari setelah karya terjual. Tapi kalau memang kami sudah mendapat pelunasan dari pembeli, biasanya nggak lama langsung kami bayarkan. Kami menghargai seniman yang telah mau membantu juga kok. Kami nggak mau mempersulit masalah pembayaran. Tabulah buat saya, lukisan yang tidak laku saja saya bisa malu dengan perupanya, apalagi saya telat bayar, wah nggak lah, nggak mau saya.
Kalau ada yang tidak laku, dan Anda tahu seniman tersebut belum mapan, apa yang Anda lakukan?
Ya kalau ada yang nggak laku memang kami kebalikan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara Tujuh Bintang dan perupa. Kadang banyak juga perupa yang tidak mengambil karyanya. Ya siapa tahu di kemudian hari masih bisa laku. Jadi lukisan tersebut kami simpan di gudang. Kadang ada buyer yang memang ingin melihat stock kami, dari situ mereka akan memilih untuk dibeli.
Apakah Anda mengikat seniman dalam sebuah kontrak dan komitemen khusus?
Adalah beberapa seniman yang kami kontrak. Saya mau lebih fokus untuk bisa berdiskusi dengan perupanya, untuk dapat membuat karya yang memang layak diapresiasi.
Apakah selama ini ada komplain dari seniman atau kurator yang bekerja sama dengan Anda?
Kalau kompalin pasti adalah, tapi jarang sekali kok. Saya malas berkonfrontasi dengan pihak lain. Saya hanya ingin kerja sama yang baik, kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Semua masalah bisa kita selesaikan . So far sih, nggak ada masalah kok, aman-aman saja dan nyaris semua masih dalam kendali. Kalaupun ada masalah kecil, pasti kami bisa menyelesaikannya dengan baik. Karena semua itu kan hanya masalah pembelajaran untuk saling menghargai komitmen.
Bagaimana jika ada seniman yang melanggar kontrak atau komitmen?
Ya dulu pernah terjadi, dalam kontrak tertulis 2 bulan setelah masa pameran karya masih menjadi tanggung jawab Tujuh Bintang, setelah itu karya baru akan kami kembalikan bila memang belum laku terjual. Nah pada waktu itu, selang dua minggu setelah pameran, ada beberapa perupa yang mengambil karyanya, dengan alasan mau dipamerkan di tempat lain. Ya sebenarnya kan tidak bisa, tapi ya akhirnya kami berikan saja. Saya nggak mau ada masalah. Kalau mau diambil, ya diambil saja. Tapi sejak itu, saya mulai hati-hati. Tapi itu juga hanya terjadi sekali kok. Masih banyak sekali perupa yang memang dilahirkan menjadi sosok perupa professional, menghargai arti kerjasama.
Apakah di gudang Anda terjadi penumpukan karya?
Ha ha ha ha ha… emang gudang beras apa? Karya itu numpuk sebenarnya memang masih dalam masa kontrak saja kok. Kecuali memang perupa tersebut menitipkan karya mereka di gudang kami dengan tujuan kalau memang ada peminat bisa langsung melihat wujud aslinya.
Siapa saja sebenarnya pembeli karya seni melalui Tujuh Bintang?
Wah kalau masalah pembeli, ya bisa dari mana saja. Ada memang yang support Tujuh Bintang, begitu melihat karya yang bagus, kemungkinan besar mereka mengambilnya untuk dikoleksi. Ya pembeli yang lain sudah mulai tampak, kadang dari Singapore, Jepang, bahkan kadang dari Belgia mengambil dari kami. Sekitar dua bulan lalu, kami memang mulai menawarkan karya-karya pameran maupun stock ke pihak luar. Mungkin gaya tertentu belum mendapat respon di sini, tetapi mata kolektor luar negeri malah bisa menerima. Jadi ya menurut saya, karya itu tidak ada yang jelek. Hanya masalah laku atau tidaknya saja, ha ha ha ha ha. Kalau laku kan everybody happy, ya kan?
Biografi singkat.
Nama : Saptoadi Nugroho
Lahir : Madiun, 29 Oktober 196
Pendidikan : ICB – Pariwisata 1990
Profesi:
President Director Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta
Presiden Director SACommunication
Persident Director Starlight Printing
Kiprah dalam seni rupa :
1. Membuat Event Lelang Lukisan”From Jakarta With Love” -Bantuan dana hasil lelang lukisan kepada korban tsunami 2007 – diterima di Istana Presiden.
2. Pemenang Penghargaan Khusus “Kompetisi 100th Kebangkitan Nasional di Jogja Gallery 2008.
3. Mendirikan Tujuh Bintang Art Space tahun 2008.
4. Menyelenggarakan the Dream - Tujuh Bintang Art Award 2009.
No comments:
Post a Comment