Perbincangan dengan Tjetjep Suparman
Batik Indonesia Terbaik di Dunia
TEKS DAN FOTO DODDI AHMAD FAUJI
“SERATUS tiga puluh lima juta jiwa, penduduk Indonesia…,” demikian musisi Rhoma Irama mengabadikan angka demograsi penduduk Indonesia pada pertengahan 1970-an. Sekarang pada tahun 2009, penduduk Indonesia sudah lebih dari 220 juta jiwa. Suatu pertumbuhan yang melaju begitu pesat.
Dampak paling konkret dari pertumbuhan penduduk yang begitu besar adalah semakin ketatnya persaingan memperoleh mata pencaharian. Dalam pada itu, telah terjadi pergeseran jenis pencaharian yang pada 1970-an masih bertumpu pada pertanian, sekarang beralih ke industri lebih mendesar. Untuk menjalankan beberapa sektor indsutri, dibutuhkan bahan baku dan bahan mentah. Ketersediaan bahan baku dan bahan mentah ada batasnya, bahkan ada bahan baku yang tidak bisa diperbaharui, misalnya industri pertambangan dan perminyakan. Bila cadangannya habis, ya sudah industri itu akan terhenti. Perusahaan akan tutup, dan angka pengangguran akan meningkat dramatis.
Sebelum bahan baku habis, sebagian dari perindustrian harus segera dialihkan pada sektor industri kreatif dan industri daur ulang. Menarik untuk membicarakan industri kreatif, mengingat pemerintah pun telah menengoknya jauh-jauh hari, dan tahun 2009 ini didesain sebagai tapal awal untuk memasuki wilayah ekonomi kreatif dengan mencanangkan Tahun Kraetivitas Indonesia.
Sebenarnya orang Indonesia dari dulu sangat kreatif dalam soal menyontek dan membajak. Tetapi bukan ini yang dimaksud dengan kreativitas. Itu justru menjadi kontraproduktif. Kita membutuhkan orang-orang kreatif yang terus-menerus mencari orisinalitas, atau setidaknya memodifikasi barang lama menjadi baraura zeits geit atau selaras dengan semangat zaman.
Dalam pada itu, pemerintah jangan pula hanya bisa mencanangkan “tahun ini” atau “tahun itu”, tapi juga harus betanggungjawab dalam memfasilitasi para kreator, memantaunya, dan turut memasarkan hasil-hasilnya. Pemerintah memang harus bertanggung jawab dari hulu ke hilir dalam pencangan Tahun Kreativitas Indonesia ini.
Urusan mengolah produksi kreatif dalah departemen yang berurusan dengan pendidikan dan seni-budaya, sedangkan yang bertanggung jawab dalam memasrkannya adalah departemen perdagangan. Departemen Kebudayaan dan Priwisata dan Departemen Perdagangan memang telah melakukan kerjasama untuk membangun industri kreatif di tanah air. Beberapa aksi telah dilakukan.
Untuk mengetahui perencanaan dan aksi Tahun Kreativitas Indonesia itu, perbincangan kali ini dilakukan bersama Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (NBSF Depbudpar), Tjetjep Suparman. Seperti apakah teori, aplikasi, dan aksi Ditjen NBSF Depbudpar dalam menjabarkan Tahun Indonesia Kraetif itu, berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda menjelaskan ekonomi atau industri kreatif yang sedang marak dibicarakan itu?
Begini, pergeseran peradaban dan dominasi paradigma ekonomi telah terjadi sejak periode kedua abad ke-19 hingga periode pertama abad ke-20, yang semula sektor pertanian sebagai mata pencaharian pokok, mulai beralih ke ekonomi kreatif. Saya memaknai ekonomi kreatif sebagai suatu kondisi iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumber daya yang tidak habis dan tetap aktual. Ekonomi kreatif bisa juga disebut sebagai industri keratif.
Industri kreatif dipandang sebagai kegiatan apapun yang dilakukan seseorang dengan mengandalkan kreativitas, keahlian, dan bakatnya yang memiliki potensi ekonomi dan mampu menciptakan peluang kerja bagi banyak orang.
Berbicara mengenai industri kreatif, berarti kita memasuki ranah penciptaan karya-karya baru yang belum pernah ada sebelumnya, atau mengolah yang sudah ada ke dalam kemasan yang baru, dan sekaligus memiliki nilai komersial.
Menciptakan karya baru yang belum pernah ada sebelumnya akan memudahkan bangsa ini untuk menembus pasar global dan bersaing di era globalisasi, karena karya-karya seperti itulah yang dibutuhkan di era sekarang ini.
Tapi banyak karya yang dihasilkan bangsa ini hasil contekan, misalnya di film?
Memang itu tidak bisa dimungkiri. Kita seharusnya mengembangkan industri kreatif ala Indonesia, yang pada intinya lebih dekat pada konsep industri budaya. Industri kreatif seharusnya dikembangkan bukan berdasarkan sifat rakus yang diajarkan dalam konsep kapitalisme, di mana suatu produk barang dan jasa secara terus-menerus diproduksi, dan masyarakat dipaksa untuk mengkonsumsinya tanpa sebenarnya ada kebutuhan untuk itu, dan tidak meningkatkan kualitas kehidupan.
Pada akhirnya, industri kreatif harus mendorong peningkatan budaya produktif di kalangan masyarakat Indonesia, tidak semata-mata menjadikan mereka sebagai konsumen atau “korban produsen”.
Jika bangsa Indonesia saat ini telah memutuskan untuk menjadi salah satu pemangku kepentingan di dalam industri kreatif, hal tersebut mengandung suatu kewajiban untuk meninggalkan kebiasaan meniru dalam berkarya. Seberapa jauh kita dapat melangkah ke arah itu, masih perlu dilihat, namun kelihatannya ini akan menjadi tugas yang juga tidak mudah.
Sebagai contoh, di dalam film industri nasional, masih banyak tayangan yang merupakan tiruan dari konsep-konsep yang telah ada atau bahkan sudah lama ditemukan di dalam industri perfilman Hollywood. Dengan demikian, selain para pencipta yang perlu dididik untuk menjadi penemu ide-ide baru, kemungkinan besar masyarakat yang menjadi konsumen pun perlu dididik untuk tidak membiasakan diri mengkonsumsi produk-produk barang dan jasa yang merupakan tiruan semata. Perlu dikembangkan budaya “malu” jika kita membuat suatu ciptaan atau konsumsi ciptaan seperti itu.
Itu baru pada tahap teoretik, tahapan yang lebih aplikatifnya seperti apa?
Kan pemerintah sudah mencangkan tahun 2009 sebagai Tahun Kreativitas Indonesia. Tugas kita bersama sekarang untuk mewujudkan industri kreatif sebagai salah satu ujung tombak pembangunan nasional, termasuk pembangunan ekonomi.
Melalui Departemen Perdagangan, pemerintah telah mengeluarkan blue print tentang ekonomi kreatif yang terdiri atas 14 sektor industri, yaitu: periklanan, film/video dan fotografi, musik, arsitektur, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, permainan interaktif, pasar seni dan barang antic, kerajinan, desain, desain fashion, televisi dan radio, layanan komputer dan piranti lunak, serta riset dan pengembangan.
Di antara ke 14 sektor, Depbudpar bertugas menangangi beberapa sektor, yang dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Seni dan budaya, yang meliputi fotografi, seni visual (seni rupa), seni pertunjukan, pasar seni dan barang antik,
2. Media, yang meliputi penerbitan, TV dan radio, media digital, film dan video,
3. Desain, yang meliputi piranti lunak, periklanan, arsitektur, desain interior, desain grafis, desain industri, dan fashion.
Aksinya seperti apa?
Pemerintah melakukan keberpihakan, yang dilakukan Depbudpar misalnya memberi stimulus pajak, dan bersama Ditjen Pajak melakukan langkah-langkah antara lain:
- Membebaskan pajak pada bahan baku film,
- Pengurangan pajak tontonan,
- Memfasilitasi berdirinya tempat proses system dolby, yang kita tahu di Indonesia belum ada, dan kalau kita memprosesnya di luar negeri akan sangat mahal pajaknya.
- Sedang merancang pajak dari tontonan film dapat dikembalikan kepada masyarakat film untuk pengembangan industri film.
Ada persolan yang dihadapi saat ini terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah, walaupun telah ada hasil penelitian awal yang menyatakan bahwa konsep HKI ini juga dikenal di dalam kebudayaan asli bangsa Indonesia, namun secara umum masih dapat dikatakan HKI bukanlah bagian dari budaya asli masyarakat kita. Dengan demikian, tugas pemetintah yang paling fundamental berkaitan dengan pengembangan industri kreatif adalah menciptakan sebuah “jembatan” untuk mengembangkan budaya penghargaan terhadap kraetivitas individual serta perlindungannya, termasuk perlindungan dari aspek hukum.
Langkah yang ditempuh untuk mengatasi itu?
Perlu diselesaikan dulu pada tahap awal, adalah membedakan pengertian industri kraetif dengan industri budaya, walaupun keduanya memiliki titik singgung dalam beberapa aspek. Dalam konsep tentang industri budaya, nilai yang hendak dikedepankan tidak hanya sekedar nilai materi/finansial, namun juga nilai-nilai budaya yang luhur.
Dalam industri budaya, akan muncul sejumlah persoalan lain yang juga menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama untuk diselesaikan, karena antara lain berkaitan dengan barbagai karya tradisional yang menjadi warisan budaya bangsa, namun juga memiliki potensi komersial yang sangat tinggi. Persoalan dimaksud sudah muncul ketika media massa mempublikasikan isu klaim batik dan angklung oleh Malaysia.
Menghadapi kenyataan seperti itu, langkah pemerintah seperti apa?
Menko Kesra Aburizal Bakrie bersama Menbudpar Jero Wacik telah menominasikan Batik Indonesia untuk dicantumkan dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan kepada UNESCO, yang merupakan satu dari tiga daftar yang dibuat di bawah Konvensi UNESCO 2003 mengenai Perlindungan Warisan Budaya Takbenda untuk Kemanusiaan, di mana Indonesia telah menjadi Negara Pihak.
Berkas nominasi yang dilengkapi dengan dokumentasi tertulis, foto, dan video itu telah dipersiapkan menurut panduan UNESCO oleh tim peneliti yang diketuai Ketua Yayasan KADIN Indonesia Umam Sucipto Umar, yang sepanjang 2008 lalu telah melakukan penelitian besar-besaran di lapangan, di antaranya berkorespondensi dengan komunitas dan ahli batik di 19 provinsi di Indonesia.
Hasilnya?
Pernyataan resmi yang dikeluarkan Sekretaris Warisan Budaya Takbenda UNESCO menyatakan bahwa berkas Nominasi Batik Indonesia telah lengkap dan selanjutnya menunggu hasil evaluasi Subsidiary Body yang bersidang dalam siding tertutup di Paris pada 11 – 15 Mei 2009. Menurut rencana, Subsidiary Body yang beranggotakan 6 Negara Pihak (Estonia, Uni Emirat Arab, Turki, Republik Korea, Meksiko, dan Kenya) akan menginformasikan hasil evaluasi kepada Indonesia pada 1 Juli 2009.
Sekarang kan sudah lewat tuh 1 Juli 2009. Hasilnya bagaimana?
Alhamdulillah, batik kita dinyatakan sebagai yang terbaik di dunia. September 2009 ini, sertifikatnya akan diserahkan UNESCO ke pemerintah kita.
Tindak lanjut yang dilakukan pemerintah untuk perbatikan di tahun kreatif ini, seperti apa?
Pada 22 Agustus 2008, telah dibentuk Forum Komunitas Batik, yang berperan untuk memfasilitasi komunikasi dan kerjasama antara spektrum komunitas batik yang luas, baik dari pemerintah maupun swasta, dalam rangka melindungi, menghidupkan dan mengembangkan kembali budaya batik untuk generasi masa kini dan mendatang secara berkesinambungan.
Ketua Institut Museum Batik, Dr.H. Mohammad Basyir Ahmad memberi contoh, Museum Batik di Pekalongan, Jawa Tengah, selama tiga tahun terakhir ini aktif dalam memperkenalkan modul pendidikan dan pelatihan batik dalam kurikulum tingkat Taman Kanak-kanak hingga politeknik.
Program pelatihan serupa telah dimulai di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta. Kegiatan tersebut telah menarik perhatian UNESCO, dan program pendidikan dan pelatihan tersebut telah dinominasikan sebagai “Best Practise” dalam daftar lain di bawah Konvensi UNESCO 2003.
Batik Indonesia Terbaik di Dunia
TEKS DAN FOTO DODDI AHMAD FAUJI
“SERATUS tiga puluh lima juta jiwa, penduduk Indonesia…,” demikian musisi Rhoma Irama mengabadikan angka demograsi penduduk Indonesia pada pertengahan 1970-an. Sekarang pada tahun 2009, penduduk Indonesia sudah lebih dari 220 juta jiwa. Suatu pertumbuhan yang melaju begitu pesat.
Dampak paling konkret dari pertumbuhan penduduk yang begitu besar adalah semakin ketatnya persaingan memperoleh mata pencaharian. Dalam pada itu, telah terjadi pergeseran jenis pencaharian yang pada 1970-an masih bertumpu pada pertanian, sekarang beralih ke industri lebih mendesar. Untuk menjalankan beberapa sektor indsutri, dibutuhkan bahan baku dan bahan mentah. Ketersediaan bahan baku dan bahan mentah ada batasnya, bahkan ada bahan baku yang tidak bisa diperbaharui, misalnya industri pertambangan dan perminyakan. Bila cadangannya habis, ya sudah industri itu akan terhenti. Perusahaan akan tutup, dan angka pengangguran akan meningkat dramatis.
Sebelum bahan baku habis, sebagian dari perindustrian harus segera dialihkan pada sektor industri kreatif dan industri daur ulang. Menarik untuk membicarakan industri kreatif, mengingat pemerintah pun telah menengoknya jauh-jauh hari, dan tahun 2009 ini didesain sebagai tapal awal untuk memasuki wilayah ekonomi kreatif dengan mencanangkan Tahun Kraetivitas Indonesia.
Sebenarnya orang Indonesia dari dulu sangat kreatif dalam soal menyontek dan membajak. Tetapi bukan ini yang dimaksud dengan kreativitas. Itu justru menjadi kontraproduktif. Kita membutuhkan orang-orang kreatif yang terus-menerus mencari orisinalitas, atau setidaknya memodifikasi barang lama menjadi baraura zeits geit atau selaras dengan semangat zaman.
Dalam pada itu, pemerintah jangan pula hanya bisa mencanangkan “tahun ini” atau “tahun itu”, tapi juga harus betanggungjawab dalam memfasilitasi para kreator, memantaunya, dan turut memasarkan hasil-hasilnya. Pemerintah memang harus bertanggung jawab dari hulu ke hilir dalam pencangan Tahun Kreativitas Indonesia ini.
Urusan mengolah produksi kreatif dalah departemen yang berurusan dengan pendidikan dan seni-budaya, sedangkan yang bertanggung jawab dalam memasrkannya adalah departemen perdagangan. Departemen Kebudayaan dan Priwisata dan Departemen Perdagangan memang telah melakukan kerjasama untuk membangun industri kreatif di tanah air. Beberapa aksi telah dilakukan.
Untuk mengetahui perencanaan dan aksi Tahun Kreativitas Indonesia itu, perbincangan kali ini dilakukan bersama Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (NBSF Depbudpar), Tjetjep Suparman. Seperti apakah teori, aplikasi, dan aksi Ditjen NBSF Depbudpar dalam menjabarkan Tahun Indonesia Kraetif itu, berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda menjelaskan ekonomi atau industri kreatif yang sedang marak dibicarakan itu?
Begini, pergeseran peradaban dan dominasi paradigma ekonomi telah terjadi sejak periode kedua abad ke-19 hingga periode pertama abad ke-20, yang semula sektor pertanian sebagai mata pencaharian pokok, mulai beralih ke ekonomi kreatif. Saya memaknai ekonomi kreatif sebagai suatu kondisi iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumber daya yang tidak habis dan tetap aktual. Ekonomi kreatif bisa juga disebut sebagai industri keratif.
Industri kreatif dipandang sebagai kegiatan apapun yang dilakukan seseorang dengan mengandalkan kreativitas, keahlian, dan bakatnya yang memiliki potensi ekonomi dan mampu menciptakan peluang kerja bagi banyak orang.
Berbicara mengenai industri kreatif, berarti kita memasuki ranah penciptaan karya-karya baru yang belum pernah ada sebelumnya, atau mengolah yang sudah ada ke dalam kemasan yang baru, dan sekaligus memiliki nilai komersial.
Menciptakan karya baru yang belum pernah ada sebelumnya akan memudahkan bangsa ini untuk menembus pasar global dan bersaing di era globalisasi, karena karya-karya seperti itulah yang dibutuhkan di era sekarang ini.
Tapi banyak karya yang dihasilkan bangsa ini hasil contekan, misalnya di film?
Memang itu tidak bisa dimungkiri. Kita seharusnya mengembangkan industri kreatif ala Indonesia, yang pada intinya lebih dekat pada konsep industri budaya. Industri kreatif seharusnya dikembangkan bukan berdasarkan sifat rakus yang diajarkan dalam konsep kapitalisme, di mana suatu produk barang dan jasa secara terus-menerus diproduksi, dan masyarakat dipaksa untuk mengkonsumsinya tanpa sebenarnya ada kebutuhan untuk itu, dan tidak meningkatkan kualitas kehidupan.
Pada akhirnya, industri kreatif harus mendorong peningkatan budaya produktif di kalangan masyarakat Indonesia, tidak semata-mata menjadikan mereka sebagai konsumen atau “korban produsen”.
Jika bangsa Indonesia saat ini telah memutuskan untuk menjadi salah satu pemangku kepentingan di dalam industri kreatif, hal tersebut mengandung suatu kewajiban untuk meninggalkan kebiasaan meniru dalam berkarya. Seberapa jauh kita dapat melangkah ke arah itu, masih perlu dilihat, namun kelihatannya ini akan menjadi tugas yang juga tidak mudah.
Sebagai contoh, di dalam film industri nasional, masih banyak tayangan yang merupakan tiruan dari konsep-konsep yang telah ada atau bahkan sudah lama ditemukan di dalam industri perfilman Hollywood. Dengan demikian, selain para pencipta yang perlu dididik untuk menjadi penemu ide-ide baru, kemungkinan besar masyarakat yang menjadi konsumen pun perlu dididik untuk tidak membiasakan diri mengkonsumsi produk-produk barang dan jasa yang merupakan tiruan semata. Perlu dikembangkan budaya “malu” jika kita membuat suatu ciptaan atau konsumsi ciptaan seperti itu.
Itu baru pada tahap teoretik, tahapan yang lebih aplikatifnya seperti apa?
Kan pemerintah sudah mencangkan tahun 2009 sebagai Tahun Kreativitas Indonesia. Tugas kita bersama sekarang untuk mewujudkan industri kreatif sebagai salah satu ujung tombak pembangunan nasional, termasuk pembangunan ekonomi.
Melalui Departemen Perdagangan, pemerintah telah mengeluarkan blue print tentang ekonomi kreatif yang terdiri atas 14 sektor industri, yaitu: periklanan, film/video dan fotografi, musik, arsitektur, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, permainan interaktif, pasar seni dan barang antic, kerajinan, desain, desain fashion, televisi dan radio, layanan komputer dan piranti lunak, serta riset dan pengembangan.
Di antara ke 14 sektor, Depbudpar bertugas menangangi beberapa sektor, yang dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Seni dan budaya, yang meliputi fotografi, seni visual (seni rupa), seni pertunjukan, pasar seni dan barang antik,
2. Media, yang meliputi penerbitan, TV dan radio, media digital, film dan video,
3. Desain, yang meliputi piranti lunak, periklanan, arsitektur, desain interior, desain grafis, desain industri, dan fashion.
Aksinya seperti apa?
Pemerintah melakukan keberpihakan, yang dilakukan Depbudpar misalnya memberi stimulus pajak, dan bersama Ditjen Pajak melakukan langkah-langkah antara lain:
- Membebaskan pajak pada bahan baku film,
- Pengurangan pajak tontonan,
- Memfasilitasi berdirinya tempat proses system dolby, yang kita tahu di Indonesia belum ada, dan kalau kita memprosesnya di luar negeri akan sangat mahal pajaknya.
- Sedang merancang pajak dari tontonan film dapat dikembalikan kepada masyarakat film untuk pengembangan industri film.
Ada persolan yang dihadapi saat ini terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah, walaupun telah ada hasil penelitian awal yang menyatakan bahwa konsep HKI ini juga dikenal di dalam kebudayaan asli bangsa Indonesia, namun secara umum masih dapat dikatakan HKI bukanlah bagian dari budaya asli masyarakat kita. Dengan demikian, tugas pemetintah yang paling fundamental berkaitan dengan pengembangan industri kreatif adalah menciptakan sebuah “jembatan” untuk mengembangkan budaya penghargaan terhadap kraetivitas individual serta perlindungannya, termasuk perlindungan dari aspek hukum.
Langkah yang ditempuh untuk mengatasi itu?
Perlu diselesaikan dulu pada tahap awal, adalah membedakan pengertian industri kraetif dengan industri budaya, walaupun keduanya memiliki titik singgung dalam beberapa aspek. Dalam konsep tentang industri budaya, nilai yang hendak dikedepankan tidak hanya sekedar nilai materi/finansial, namun juga nilai-nilai budaya yang luhur.
Dalam industri budaya, akan muncul sejumlah persoalan lain yang juga menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama untuk diselesaikan, karena antara lain berkaitan dengan barbagai karya tradisional yang menjadi warisan budaya bangsa, namun juga memiliki potensi komersial yang sangat tinggi. Persoalan dimaksud sudah muncul ketika media massa mempublikasikan isu klaim batik dan angklung oleh Malaysia.
Menghadapi kenyataan seperti itu, langkah pemerintah seperti apa?
Menko Kesra Aburizal Bakrie bersama Menbudpar Jero Wacik telah menominasikan Batik Indonesia untuk dicantumkan dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan kepada UNESCO, yang merupakan satu dari tiga daftar yang dibuat di bawah Konvensi UNESCO 2003 mengenai Perlindungan Warisan Budaya Takbenda untuk Kemanusiaan, di mana Indonesia telah menjadi Negara Pihak.
Berkas nominasi yang dilengkapi dengan dokumentasi tertulis, foto, dan video itu telah dipersiapkan menurut panduan UNESCO oleh tim peneliti yang diketuai Ketua Yayasan KADIN Indonesia Umam Sucipto Umar, yang sepanjang 2008 lalu telah melakukan penelitian besar-besaran di lapangan, di antaranya berkorespondensi dengan komunitas dan ahli batik di 19 provinsi di Indonesia.
Hasilnya?
Pernyataan resmi yang dikeluarkan Sekretaris Warisan Budaya Takbenda UNESCO menyatakan bahwa berkas Nominasi Batik Indonesia telah lengkap dan selanjutnya menunggu hasil evaluasi Subsidiary Body yang bersidang dalam siding tertutup di Paris pada 11 – 15 Mei 2009. Menurut rencana, Subsidiary Body yang beranggotakan 6 Negara Pihak (Estonia, Uni Emirat Arab, Turki, Republik Korea, Meksiko, dan Kenya) akan menginformasikan hasil evaluasi kepada Indonesia pada 1 Juli 2009.
Sekarang kan sudah lewat tuh 1 Juli 2009. Hasilnya bagaimana?
Alhamdulillah, batik kita dinyatakan sebagai yang terbaik di dunia. September 2009 ini, sertifikatnya akan diserahkan UNESCO ke pemerintah kita.
Tindak lanjut yang dilakukan pemerintah untuk perbatikan di tahun kreatif ini, seperti apa?
Pada 22 Agustus 2008, telah dibentuk Forum Komunitas Batik, yang berperan untuk memfasilitasi komunikasi dan kerjasama antara spektrum komunitas batik yang luas, baik dari pemerintah maupun swasta, dalam rangka melindungi, menghidupkan dan mengembangkan kembali budaya batik untuk generasi masa kini dan mendatang secara berkesinambungan.
Ketua Institut Museum Batik, Dr.H. Mohammad Basyir Ahmad memberi contoh, Museum Batik di Pekalongan, Jawa Tengah, selama tiga tahun terakhir ini aktif dalam memperkenalkan modul pendidikan dan pelatihan batik dalam kurikulum tingkat Taman Kanak-kanak hingga politeknik.
Program pelatihan serupa telah dimulai di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta. Kegiatan tersebut telah menarik perhatian UNESCO, dan program pendidikan dan pelatihan tersebut telah dinominasikan sebagai “Best Practise” dalam daftar lain di bawah Konvensi UNESCO 2003.
No comments:
Post a Comment