Tuesday, July 5, 2011

Ang Andy Bintoro: Sekelumit Rencana Fasilitas Baru

Perbincangan dengan Ang Andy

Tak jauh dari RS Fatmawati, Jakarta Selatan, kini beridiri galeri baru bernama D’Peak Art Space. Meski baru, tapi menarik untuk ditengok, karena luas ruangannya yang mencapai lebih dari 3.000 meter persegi. Terdiri dari tiga lantai, dengan halaman parker bisa menampung sekira 50-an unit mobil. Sampai saat ini, D’Peak menjadi galeri swasta paling luas di Jakarta.

Pada malam pembukaan D’Peak, 7 Agustus 2009, dihelat pameran berjudul Up & Hope dengan menampilkan sekira 180 karya seni rupa berupa lukisan, patung, dan instalasi dari pelbagai generasi seniman Indoensia. Pengunjung berdatangan termasuk dari luar Jakarta. Gedung baru, seperti hendak menandai adanya antusias baru di sana.

Sebelumnya, gedung ini adalah show room untuk mobil. Tetapi pemiliknya, Ang Andi Bintoro, menyulapnya jadi galeri seni rupa. Ada apa dan untuk apa semua ini?

Ang Andi ditemani salah satu pengelola D’Peak, Raymond Lukman, dan Denny Bintoro, salah satu anak Ang Andi yang juga menyukai seni rupa, menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan. Kali ini perbincangan tidak dilakukan face to face, tapi Raymond dan Denny ikut melengkapi jawaban Ang Andy Bintoro. Berikut petikannya.


Kenapa Anda mendirikan D’ Peak art space?

Anda bukan penanya pertama. Orang yang bertanya memang bingung, untuk apa membuat galeri sebesar ini?

Padahal ini adalah galeri yang banyak diidamkan oleh para seniman selama ini. Besar, dan bisa menampung banyak karya. Kami lakukan semua ini karena merasa terpanggil untuk turut serta membantu para pelaku seni di Tanah Air. Ini adalah usaha kami untuk memperlihatkan dukungan terhadap dunia seni Indonesia. Kami akan senantiasa memposisikan diri sebagai rekanan yang sederajat dengan para seniman Indonesia dalam membantu memperkenalkan karya anak bangsa ke dunia internasional. Kami percaya, banyak seniman Indonesia yang memiliki kemampuan baik dan beberapa di antaranya bahkan sudah cukup dikenal di dunia seni internasional.

Tidak cukup dengan medirikan D’Peak untuk memperkenalkan seniman dan karya seni Indonesia ke dunia seni internasional.

Kami juga mengoperasikan D’Peak di Singapura sejak medio 2008 lalu, dan sudah menggelar tiga kali pameran. Kami percaya, galeri di Singapura ini dapat dijadikan batu lompatan bagi seniman Indonesia untuk memperkenalkan dirinya ke dunia internasional. Nanti, 11 Oktober 2009, kami juga akan membawa seniman Indonesia ke Kota Seoul di Korea. Kami sekarang sedang mulai menyeleksi beberapa seniman yang berkualitas dan berbakat untuk dibawa ke sana.

Hal seperti itu sudah dilakukan banyak pihak. Anda hanya menggarami laut yang sudah asin. Bisa Anda tuturkan strategi yang berbeda, dan meyakinkan banyak orang?
Saya ingin katakan sesuatu, bahwa kami memiliki semangat. Itulah modal dasar yang dibutuhkan. Kami berharap dapat ikut menularkan semangat tersebut kepada banyak pihak, terutama kepada seniman. Tentunya kami sedang memikirkan berbagai strategi, tapi tidak perlu diceritakan di sini. Yang jelas, kami sedang membangun networking dengan galeri-galeri lain di Singapura, dan dengan Singapore National Museum. Setidaknya Singapura akan menjadi jembatan yang tepat. Kemudian kami akan masuk ke Korea, lalu ke Amerika, selanjutnya Eropa.

Perlu dipikirkan bersama saat ini adalah membuat art fair berskala internasional. Ini penting sekali untuk diikuti, sebab menjadi sarana untuk memperkenalkan karya seniman kita. Tapi sekali lagi, yang paling utama adalah adanya semangat. Tanpa semangat, semua hal yang kita bangun bisa jadi nothing. Prinsip yang juga perlu kita pegang adalah, bila kita memiliki niat, pasti kita akan memiliki cara.

Anda begitu yakin karya seni gubahan seniman kita akan diterima dunia internasional?
Seperti dijelaskan di atas, selama ini memang sudah banyak seniman kita yang dikenal di luar negeri. Tapi perlu lebih banyak lagi. Promosi yang harus digencarkan, dan itu bisa dilakukan dengan berbagai cara.

Ini tambahan, kita dijajah ratusan tahun oleh Belanda, dan banyak orang Belanda mengenal seni budaya kita. Awal dari promosi adalah memperkenalkan. Nah, untuk masuk ke Eropa, kita punya modal di mana masyarakat Belanda sudah mengenal seni budaya kita.

Karya seni kita yang bakal diterima oleh masyarakat luar, bisa Anda bayangkan seperti apa?
Sangat banyak ragamnya. Setidaknya, yang dipamerkan pada Up & Hope untuk grand opening D’Peak, adalah karya-karya yang menurut saya bisa diterima dan disukai masyarakat dari luar. Ada banyak karya yang bakal diapresiasi oleh orang luar, bukan hanya sebatas lukisan, tapi juga termasuk karya yang selama ini sering digolongkan ke dalam kerajinan, toh kerajinan juga sekarang sudah dimasukkan sebagai karya seni rupa.

Sekarang ini, seniman kita sangat beragam dalam menggeluti corak, gaya, tema, bentuk. Dan seniman kita bisa disebut serba-bisa untuk melahirkan karya yang bagus secara teknis dan kuat dalam temanya, baik seni modern maupun kontemporer.

Anda mengerti sekali dunia seni rupa. Bagaimana awal Anda bersentuhan dengan seni rupa?
Sekitar tiga tahun saya bersentuhan dengan dunia seni rupa. Saya melihat banyak seniman bekerja tanpa pamrih, dari pagi hingga larut malam, atau dari dini hari hingga petang. Tapi mereka kesusahan mengkomunikasikan hasil karyanya. Nah dari situ saya terdorong untuk membantu mereka. Saya mulai dengan mengoleksi karya mereka, dan sekarang membuka art space.

Jadi Anda memasuki seni rupa dengan memulainya sebagai kolektor?
Saya mulai mengoleksi lukisan-lukisan karya seniman muda (usia –red). Saya ambil karya seniman muda karena mereka memiliki harapan yang masih panjang.

Mengapa tiba-tiba tertarik seni rupa dan menggelutinya? Apa karena di sana ada nilai investasi, dan sebagai pengusaha Anda merasa bisa mengolahnya?
Ya sudah lama saya senang melihat karya seni rupa, tapi memang tidak mengkhususkan waktu untuk mendalami seni rupa. Anak saya yang ketiga dan keempat, juga mencintai karya seni rupa. Saya hawatir, di keluarga tidak ada yang mencintai seni, sebab nanti saya sibuk sendiri. Ternyata mereka lebih kental daripada saya dalam mencintai karya seni rupa. Jadi saya merasa ada teman di rumah yang sama-sama mencintai kesenian. Sekarang saya semakin banyak waktu untuk mempelajari seni rupa, dari buku dan katalog, bertanya ke sana ke mari, dan nonton pameran di beberapa tempat.

Raymond Lukman menambahkan:
Saya tambahkan, sebelum tiga tahun Pak Andi mendalami seni rupa seperti yang disebutkan tadi, Pak Andi ini sering jalan ke luar. D sela-sela kesibukannya, enyempatkan diri menonton event seni rupa. Kendalanya memang karena kesibukan. Jadi dalam tanda petik, Pak Andi saat itu lebih tepat disebut sebagai “pengamat”. Setelah itu, Pak Andi sering mengadakan diskusi dengan beberapa seniman. Bahkan perdiskusian sampai juga ke masalah pemasaran, misalnya dengan melihat-lihat karya seniman melalui katalog, bisa didiskusikan corak atau karakteristik karya seni seperti ini cocok bila dipromosikan ke regional ini, yang itu ke regional yang lain.

Denny Bintoro:
Salah satu art capital di New York adalah di kawasan Chelsea. Saya lihat di sana ada contemporary art dari Amerika, Jepang, China, tapi kok enggak ada dari Indonesia. Saya tanya ke Papa, mengapa karya seni Indonesia tidak ada di Chelsea? Menurut Papa, karya seniman Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dan bisa tampil di sana. Tapi belum terpromosikan hinga ke sana. Saya jadi berpikir, bagaimana caranya ada galeri di sana yang bisa memajang karya-karya seni dari Indonesia.

Saya dengar, Anda menghabiskan dana untuk D’Peak ini mencapai Rp12 miliar?
Ya lebih lah. Untuk gedung saja sudah berapa. Kalau dibentangkan, luas gedungnya lebih dari 3.000 meter persegi dengan tempat parkir yang mampu menampung 50-an unit mobil. Kalau dihitung dengan karya yang dibeli, kira-kira 50 M.

Apa yang Anda renungkan ketika memutuskan mengalihkan sebagian investasi dari usaha mobil ke seni rupa?
Yah, hidup ini kan begini-begini saja, tapi kesenian terasa memberi arti, dan menghibur ke batin. Saya sudah mau pensiun. Saya merasa perlu berbuat sesuatu yang lebih menyenangkan ke batin. Jadi, ruang ini tidak berpikir soal bisnis, tapi saya siapkan untuk masa tua.

Lalu anak saya (menunjuk ke Denny) kuliah di Amerika, sering berkunjung ke galeri di sana, dan menyukai karya seni. Dia bilang, mau pulang ke Tanah Air kalau dibuatkan galeri. Ya sudah, sekalian saja saya buat.

Bagaimana caranya seniman bisa pameran di D’Peak?
Nanti kami akan memiliki kurator tetap, dan ada kurator tamu. Kami juga bekerjasama dengan kurator dari luar yang siap membantu D’Peak. Para kurator itu nanti yang akan menentukan aturan mainnya. Tapi yang jelas, semua seniman terbuka untuk berpameran di sini dengan seleksi para kurator itu.

Anda yakin baklan berhasil mewujudkan impian melalui D’Peak?
Harus yakin. Tapi saya kira, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan oleh pihak swasta. Kalau di China, Departemen Pariwisata sering menyelenggarakan event seni rupa, baik di Beijing, Shanghai, Guangzou, dan di kota lainnya. Seniman dan pengunjung dari berbagai negara berdatangan. Itu kan termasuk meningkatkan pariwisata. Mudah-mudahan dengan Pemilihan Presiden kemarin, dan susunan kabinet yang baru, pemerintah kita makin membuka kesadaran bahwa menyelenggarakan event-event seni rupa bersekala internasional adalah salah satu strategi untuk meningkatkan wisata Indoensia.

Dukungan pemerintah yang diharapkan seperti apa?
Dijawab oleh Raymond: Pemerintah kita harus menyelenggarakan biennale dan art fair, lalu dengan prinsip G[overnment] to G[overnment], pemerintah kita mengundang pemerintah Negara lain untuk ikut dalam event seni rupa yang digelar di negara kita. Kalau undangannya G to G, kan akan sangat memungkinkan pemerintah lain menunjuk senimannya untuk ikut serta. Kalau swasta yang mengundang seniman secara perorangan, belum tentu seniman dari Negara lain mau ikut, dan kalau seniman dari Negara lain tidak ikut, belum tentu kolektor dari Negara lain mau berdatangan.

Nah, selain itu, pemerintah bisa mengeluarkan rekomendasi untuk pembebasan fiskal. Seniman dari luar tentu tidak akan mau ikut event di negara kita kalau karya yang mereka bawa ke sini harus terkena pajak. Secara teori memang ada aturannya untuk membebaskan fiskal. Tapi pada praktiknya, birokrasi kita terlalu berbelit-belit. Kalau ingin cepat, harus keluar uang juga.

Contoh yang cukup bagus dalam menangani event kesenian ini adalah pemerintah Singapura. Pemerintah kita harus studi banding ke Singapura.

Apa yang Anda bayangkan ketika pulang ke Indonesia?
Denny Bintoro: Saya pikir Indonesia itu sangat asyik dan potensial. Saya lihat dari sisi gedungnya saja, galeri-galeri swasta di kita itu luas-luas, sedang di Amerika itu kecil-kecil. Saya lihat karakteristik karya seni di Indonsia sangat beragam. Yang kurang di kita ini salah satunya adalah website nya. Website kan jadi muka kita untuk mempertontonkan diri ke luar. Salah satu strategi yang harus dibangun dalam promosi adalah membangun networking lewat internet harus lebih gencar lagi.
Biodata singkat.

1. Ang Andi Bintoro
TTL : Surabaya, 1951
Pekerjaan : Olympindo Group 1975 - Saat ini
(Pendiri - Chairman)

2. Denny Bintoro
TTL : Jakarta, 25 Agustus 1988
Pendidikan : Indiana Bloomington University


3. Raymond Lukman
TTL : Bandung, 30 April 1977
Pendidikan : STIE Perbanas,Jakarta
Universitas Mercubuana, Jakarta.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung