Tuesday, July 5, 2011

I Gde Ptana: Promosi Adalah Investasi

TEKS DAN FOTO DODDI AHMAD FAUJI

Pada 2008, industri pariwisata Indonesia maju pesat. Tercatat tiga rekor dipecahkan, yaitu: kunjungan terbesar wisatawa mancanegara sepanjang sejarah pariwisata Indonesia; kunjungan terbesar dalam setahun sepanjang tahun-tahun wisata Indonesia; dan akhirnya berdampak pada perolehan devisa tertinggi.

Bagaimanapun, rekor ini harus dicatat sebagai prestasi, apalagi setelah industri pariwisata Indonesia mengalami babak-belur paska Bom Bali I dan II. Dan rekor itu memang patut diacungi jempol, sebab dicapai kala krisis moneter global terjadi sejak September 2008.

Kemajuan kunjungan wisata ini, berdampak pada sosialisasi karya seni dan budaya bangsa. Para wisatawan, terutama yang berkunjung ke Bali dan Yogyakarta, bagaimana pun akan “dikepung’ oleh peristiwa seni-budaya.

Sektor kebudayaan dan pariwisata yang bernaung di bawah satu payung, yakni Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), memang sudah seharusnya dapat disinergikan supaya saling menghidupkan. Industri pariwisata tanpa ditopang aktivitas seni budaya tentu akan kering. Sedangkan dunia pariwisata bagaimanapun telah turut melestarikan karya seni budaya.

Bagaimana prospek industri pariwisata Indonesia pada 2009, dan seperti apa strategi Depbudpar memasarkannya ke luar negeri, I Gede Pitana, Direktur Promosi Wisata Luar Negeri menyampaikan jawabannya melalui perbincangan di hari Selasa, 10 Februari 2009, lalu. Berikut petikannya.

Bisa dideskripsikan tugas pokok Direktorat Promosi Luar Negeri yang Anda pimpin?

Di Direktorat Jenderal (Dijen –red) Pemasaran Depbudpar ini ada beberapa pekerjaan pokok. Pertama, ada pekerjaan sekretariat yang menangani kebutuhan logistik, dan ada direktorat yang menangani teknis. Di Ditjen pemasaran ini, ada Direktorat Promosi Dalam Negeri, Direktorat Promosi Luar Negeri, Direktorat Meeting Convention, Direktorat Pengembangan Pasar, dan ada Direktorat Sarana Promosi.

Kalau saya andaikan ke dalam restoran, maka dapurnya itu ada di Direktorat Pengembangan Pasar. Hasil dapur itu butuh dipromosikan, dan apa saja yang diperlukan untuk melakukan promosi, ditangani oleh Direktorat Sarana Promosi. Nah, yang menjualnya ke orang lain, itu ditangani oleh Direktorat Promosi Dalam dan Luar Negeri. Saya mendapat tugas menjual hasil dapur itu ke luar negeri. Jadi saya ibarat waitress yang bertugas menawarkan dan mencatat order dari pengunjung.

Bisa dicontohkan teknis pekerjaan yang sudah Anda lakukan?
Saya pergi ke luar negeri, mengikuti berbagai even, seminar, festival, yang menjadi sarana untuk mempromosikan Indonesia. Kami ikuti pameran pariwisata seperti di Inggris namanya World Tourism Fair, pemeran pariwisata di Berlin namanya International Tourism World, pameran pariwisata di Singapura, Malaysia, China, Australia, dan lain-lain. Itulah pekerjaan saya, mendagangkan pariwisata ke luar.

Kami juga ngasong, ngamen, dari kota ke kota, namanya sales mission. Katakanlah kami ke Australia, di mulai dari Perth, menemui para pelaku industri pariwisata di sana, terus jualan. Besoknya ke Melbourne, pekerjaannya sama. Pindah ke Sydney, berdagang lagi.

Apa sih yang dijual ke mereka?
Pariwisata Indonesia itu terdiri dari unsur CAN (culture, adventure, nature). Kalau berbicara pariwisata Indonesia, andalan kita adalah culture (budaya). Jendela pariwisata kita adalah Bali, di mana Bali itu kekuatannya terdapat pada culture. Bisa disimpulkan culture adalah modal utama dari pariwisata Indonesia.

Bangsa kita itu memiliki 350-an etnik dengan sekira 451 bahasa daerah. Tapi mengapa orang lebih banyak datang ke Bali? Karena kata mereka, budaya Bali cukup unik. Budaya unik ini adalah suatu istilah yang sangat benar. Tapi bukan berarti yang lain tidak unik. Semua budaya adalah unik. Kalau datang ke Aceh, bagi saya, unik sekali Aceh itu. Lombok, Flores, Natuna, Bunaken, semua unik. Karena kita mempunyai 350-an etnik, maka kita memiliki 350-an budaya yang unik. Ini adalah kekayaan yang luar biasa. Di luar Bali, mana yang kuat dapat mengundang wisatawan luar? Semuanya sebenarnya potensial. Hanya saja, yang sudah terkemas dengan baik, baru beberapa. Di luar Bali, yang kemasannya baik adalah Yogyakarta, Toraja, Padang.

Berbicara soal seni dan budaya dalam dunia pariwisata, bisa diceritakan bagaimana kerjasamanya, misalnya antara Direktorat Kesenian yang berkantor di Sudirman dengan Direktorat Pemasaran?
Ada perbedaan antara kesenian di direktorat bidang kebudayaan, dengan aspek-aspek kesenian yang dibicarakan di pariwisata. Bedanya, di Direktorat Kesenian, lebih banyak berbicara kesenian sebagai suatu kreativitas manusia, dan seni untuk dikonservasi, sedangkan yang dibicarakan dalam konteks pariwisata adalah kesenian sebagai industri. Dalam pariwisata, kesenian itu telah dikemas. Jadi yang dijual adalah kemasannya.

Apakah kemasan kesenian merusak kesenian itu sendiri? Oh tidak. Ketika berbicara pelestarian kesenian, pariwisata justru merupakan wahana terbaik untuk pelestarian kesenian. Dalam artian, industri pariwisata membuat aktivitas kesenian menjadi dinamis.

Tapi banyak yang mengeritik, kok pemerintah bisanya hanya menjual kesenian?
Kami selalu meminta pendapat dan saran kalau sudah menyangkut kesenian, misalnya mana saja karya seni yang bisa dieksplorasi dan mana yang tidak boleh. Mana yang bisa dikemas untuk dijual, dan mana saja karya seni yang benar-benar sakral dan tidak boleh dijual. Bila karya seni sakral tidak boleh dijual tapi ada permintaan dari luar negeri, maka kita buatkan artifisialnya untuk dikirim ke sana.

Selain itu, bila kita mendapatkan order dari luar untuk mempertontonkan karya seni yang asli di luar negeri, karya seni yang bukan artifisial, kami pasti akan menyampaikan permohonan ke Direktorat Kesenian yang selalu rutin dan periodik menyelenggarakan festival kesenian se-Indonesia. Grup terbaik dari hasil festival itulah yang kemudian kami kirim ke permintaan dari luar itu.

Apakah di direktorat bidang pariwisata ada bidang yang mengurusi pembinaan kesenian, dalam artian yang mengurusi pengemasan kesenian?
Sebenarnya begini, sebagai suatu sumber daya pariwisata, kebudayaan maupun alam sudah dikemas dalam benda modal pariwisata. Pengemasan itu secara teoritis dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi. Di Ditjen Pemasaran, khususnya Direktorat Pemasaran Luar Negeri, kami melakukan sentuhan-sentuhan untuk merangsang seniman melakukan pengemasan yang bisa dijual.

Misalnya, ketika kami pergi ke Korea, kami tawarkan kepada masyarakat Korea kemasan perkawinan dan bulan madu di bali. Bentuknya seperti apa? Misalnya pernikahan orang Korea dengan budaya Bali, namun sudah dikemas dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga pernikahan itu tidak sakral. Kami mengemas seni-budaya itu dalam bentuk apa yang disebut dengan pseudo traditional culture, atau tidak asli tapi mirip, atau apa yang disebut dengan simulakra kalau dalam teori sosial, artificial art dalam istilah kesenian.

Bagaimana upaya menggiring mereka supaya mau melihat seni yang asli, yang sakral, supaya wisatawan menambah hari kunjungan dan membelanjakan uangnya?
Begini, wisatawan itu ada segmentasinya. Ada yang datang ke suatu daerah hanya untuk prestige, untuk berkata I have been there. Dia akan bercerita kepada teman-temannya, saya pernah ke sana, foto-foto di sana. Ada wisatawan dengan tujuan nature tourism, yaitu wisatawan yang betul-betul menghayati dan menikmati apa-apa yang dilalui dan dilihatnya.

Ada wisatawan yang special interest tourism. Kalau dia ingin menikmati kebudayaan suatu daerah, maka ia akan betul-betul mengamatinya, mempelajarinya, dan pasti akan tinggal berlama-lama di suatu daerah. Ketika dia ingin mengetahui alam Indonesia, maka ia akan betul-betul bergaul dengan orang utan. Ketika ia ingin menikmati kehidupan bawah laut, mungkin ia akan pergi ke kawasan Rajaampat yang benar-benar masih alamiah.

Jadi, kita tidak bisa mengharapkan semua wisatawan akan menyukai seni-budaya. Mereka yang datang menikmati seni budaya yang sakral adalah orang-orang yang telah melalui tahapan-tahapan apresiasi. Kita hanya bisa menyuguhkan sesuatu untuk mereka berapresiasi. Namun tentu bukan berarti kami tidak memperjuangkan hal itu.

Setelah Anda bekerja keras, bagaimana hasilnya? Apa ada peningkatan kunjungan wisatawan dari luar?
Sampai akhir 2008, data menunjukkan, telah terjadi peningkatan kunjungan dan pemecahan rekor. Jumlah kedatangan wisatawan adalah 6.433.000 jiwa, dibandingkan 2007, naik 13% dari 5,5 juta kunjungan. Ini sudah merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai dalam sejarah wisata Indonesia.

Rekor-rekor baru yang dicapai selama 2008 adalah: pertama, jumlah kedatangan yang mencapai 6.433.000 itu; kedua, jumlah kunjungan dalam setahun adalah terbanyak selama tahun-tahun sejarah pariwisata. Dari jumlah 5,5 juta menjadi 6,4 juta, artinya meningkat 900 ribuan. Itu belum pernah dalam sejarah Indonesia.

Rekor ketiga adalah jumlah devisa yang dihasilkan. Kalau sebelumnya, devisa yang dihasilkan itu 5,3, sekarang sudah mencapai 7,12, akibat meningkatnya jumlah kunjungan dan pembelanjaan. Kalau 2007, setiap wisatawan membelanjakan uang US$971, maka pada 2008 setiap orang membelanjakan uang US$1178. Penambahan tersebut dikalikan dengan jumlah kunjungan wisatawan, maka peningkatannya mencapai 7,172 miliar dolar.

Berarti ada tambahan anggran untuk Depbudpar?
Kalau kita menyadari bahwa promosi adalah investasi, dan ingin mendapatkan lebih, tentunya anggaran promosi memang harus ditingkatkan. Kalau kita mancing buaya menggunakan ikan lemuru, ya sulit. Kalau mau mancing buaya, seekor babi umpannya. Kalau mau mancing uang, ya harus dengan uang, kalau dengan kacang, yang terpancing nantinya hanya monyet.

Tahun 2009 ini, yang menjadi tema kampanye promosi wisata apa?
Depbudpar sekarang memilih tema Marine and MICE. Kenapa marine? Pertama, kita memiliki banyak laut. Sumber pariwisata bawah laut kita luar biasa kaya, biota-biota laut luar biasa kaya. Kemudian, ikan-ikan laut kita luar biasa jumlahnya. Kekayaan laut di Rajaampat, Bunaken, Wakatobi, sekitar Bali, sungguh melimpah.

Kedua, pasar wisata internasional memang sedang mengarah ke wisata bahari. Jadi, peluang ini tidak boleh kita sia-siakan. Jumlah wisata bahari meningkat di mana-mana, hingga diramalkan pada 2000-an ini akan menjadi The Second Rennaisance of Ocean di dunia, setelah abad ke 15-16 pelayaran laut internasional mengalami kejayaan yang pesat. Kala itu, banyak penemuan tempat baru, peningkatan perdagangan internasional, dan akulturasi budaya akibat kejayaan laut. Muncul tokoh-tokoh laut seperti Vasco da Gamma, Colombus, Ferdinand Magelhaes.

Sekarang, laut kembali marak. Cruise-nya yang sekarang berukuran besar, bisa berisi 5.000 penumpang. Di dalamnya bukan hanya ada kolam renang, tapi ada lapangan golf, lapangan sepak bola. Ini jadi awal dari kebangkitan kedua kejayaan laut itu.

Lalu MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) kita jadikan tema karena potensi menghadirkan orang dan devisa cukup besar. Coba hitung, sekali mengadakan seminar di Bali, misalnya konvensi global warming, itu bisa mencapai 12.000 orang dari berbagai negara datang ke Bali. Peserta meeting ini kan umumnya kelas middle up. Jadi mereka pun akan membelanjakan uangnya cukup besar. Di samping banyak orang datang, acara MICE ini juga menguntungkan dari sisi pemberitaan yang positif. Bahkan dengan pemberitaan besar-besaran, memungkinkan banyak orang semakin tahu Bali, tahu Indonesia.

Tetapi jangan mengartikan ketika kita menggarap tema Marine and MICE ini yang lain terlupakan. Culture dan nature tetap kita garap dan diperkuat.

Bagaimana penataan dan pembenahan infrastruktur industri pariwisata, misalnya yang sederhana adalah brosur pariwisata, apa tahun ini juga dibangun lebih gencar?
Ini sudah berbicara soal produk. Dengan konsep otonomi daerah ini, maka pembangunan infrastruktur, apakah yang terkait dengan pariwisata atau tidak, itu akan menjadi tanggung jawab daerah yang memiliki wilayah. Pemerintah pusat kewajibannya adalah memfasilitasi, memotivasi, meregulasi. Tentu saja Depbudpar tidak tinggal diam.

Mengenai pembuatan brosur yang lengkap dan komprehensif, memang kita harus mengakui, salah satu kelemahan kita adalah dalam bidang media promosi seperti brosur itu. Hal ini menjadi pikiran saya untuk menggarap brosur terutama yang berhubungan dengan segmen-segmen khusus. Saat ini, membuat brosur yang bersifat umum sudah kurang efektif. Kita harus mengembangkan brosur untuk promosi pariwisata yang spesifik, misalnya paket wisata wedding and honeymoon. Kita harus bikin brosur tentang golf, surfing, dan lain-lain. Nah, saat kita dagang ke luar, bila bertemu para golfer, maka brosur itulah yang kita berikan.

Jadi, promosi wisata ini sekarang harus betul-betul memperhatikan segmentasi. Di bawah bimbingan Pak Sapta, sekarang ini kita berusaha menerapkan The New Wave (pemasaran gelombang baru), misalnya karena kita tidak punya uang banyak, maka kita tidak mempromosikan pariwisata kita di CNN, di mana 1 menit itu biayanya US$50 juta.

Contoh The New Wave misalnya kami ajak keluarga Chu dari China. “Hey, kalian main dong ke Indonesia, nanti semalam kalian dijamu oleh pemerintah Indonesia.” Datanglah 800 orang dari mereka itu. Lalu kita undang para golfer. “Hey kalian, bikin dong turnamen di Indonesia, nanti kami Bantu, dan sebagainnya.”

The New Wave intinya adalah menajamkan segmentasi dan menerapkan prinsip low budget high impact (bujet kecil hasilnya besar).

Omong-omong Pak, berapa target kunjungan wisatawan luar negeri yang dipatok pada 2009?
Menurut prediksi United Nations World Tourism Organization (UNWTO), akibat krisis moneter global yang mulai terjadi pada September 2008, akan terjadi penurunan migrasi wisatawan pada 2009 antara 2-5 %. Bukan hanya Indonesia yang akan menurun, tapi negara-negara lain yang menjadi daerah tujuan wisata, juga akan mengalami penurunan. Karena itu, kami akan realistis membuat target kedatangan wisatawan dari luar, yaitu sama seperti yang sudah dicapai 2008, 6.5 juta kunjungan.

Strategi yang sudah dirancang agar target itu tercapai?
Pertama, harus fokus. Kami akan fokus menggarap pasar Asia Tenggara, Jepang, Korea, Australia, bukan berarti Eropa dan Amerika kami tinggalkan. Kami tidak akan menembak burung dengan peluru membabi buta ke mana-mana. Kami sekarang akan membidik burung dengan satu peluru. Ke Amerika kami hanya akan menunjukkan bahwa kita eksis.

Kedua, melakukan segmentasi promosi yang mengarah ke komunitas. Komunitas-komunitas ini lebih gampang didatangi, misalnya di saat komunitas itu mengadakan pertemuan internasional, yah kita datangi mereka.

Ketiga, mengembangkan sarana promosi yang sangat disesuaikan dengan segmentasi-segmentasi kecil. Kalau kita promosi ke Korea misalnya, yang kita bidik adalah wisata wedding dan honeymoon, tidak lagi kita menjual pantai. Tapi kalau ke Malaysia, yang dijual adalah Bandung untuk shopping, bukan Bali yang kami jual ke Malaysia. Kalau ke Australia, pantai yang dijual, bukan wedding.

Kalau menjual kesenian?
Oh, kesenian itu harus ke Eropa. Luar biasa apresiasi mereka terhadap kesenian!

doddi@jurnas.com



---------------
Biodata singkat
RIWAYAT HIDUP

Nama : I Gde Pitana, Prof. Dr. Ir. M.Sc.
Tempat dan tgl lahir : Tabanan (Bali), 04 Agustus 1960
NIP : 131475036
Pangkat : Pembina Utama Madya (Gol.IV/d)

Jabatan Akademik : Guru Besar dmk Pariwisata
Jabatan Struktural : 1. Direktur Promosi Luar Negeri, Depbudpar RI.
Pekerjaan : 2. Dosen tetap pada Jurusan Sosial – Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana (Maret 1985 – sekarang)

PENDIDIKAN
Tahun Pendidikan

1993 -1997 Program S3: Department of Social Anthropology, the Australian National University, Canberra , Australia.
Konsentrasi: Bali dan Perubahan Sosial / pariwisata (Ph.D).
1987 -1989 Program S2: Depatment of Sociology and Anthropology, Aeneo de Manila University, Manila, Filipina.
Konsentrasi: Sosiologi Pembangunan / Irigasi (M.Sc.Soc.Dev.).
1979-1983 Program S1: Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Denpasar. Konsentrasi: Sosiologi Pedesaan/Irigasi (Ir).



PENGALAMAN KERJA


Tahun

Pekerjaan / Jabatan
2005 – Sekarang Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, Badan Pengembangan SD Budpar, Depbudpar RI
2006 (Januari) Guest Lecture pada Graduate Program on “ Leisure, Tourism and Evironment”, Wageningen University, Wageningen, Belanda.
2005 (16 Feb-31 Des) Kepala UPBJJ Universitas Terbuka, Denpasar
2004 Visiting Fellow, Research school of Pasific and Asian Studies, the Australian National University.
2001-2004 Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali
2004 – 2008 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, Depbudpar RI.
2008 - Sekarang Direktur Promosi Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pemasaran, Depbudpar RI.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung