Friday, March 25, 2011

Angklung Milik Indonesia

Foto Istimewa

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) sedang memperjuangkan seni musik tradisional angklung sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia.

Teks Doddi Ahmad Fauji

Pada suatu malam di akhir bulan Juli 2008, saya berkunjung ke Central Market di Kaula Lumpur, Malaysia. Yang dimaksud Central Market itu tiada lain adalah pasar seni. Di situ benda-benda seni dijual. Saya diantar ke sana oleh Achman Sopandi, dosen Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta yang sedang residensi di Galeri Petronas, Malaysia.

Di salah satu ruangan, Achmad Sopandi menunjukkaan pada saya seperangkat alat musik angklung yang terpajang di sana. Malam itu, angklung tidak dimainkan, padahal saya ingin mendengarkan bagaimana angklung dimainkan oleh orang Malaysia. Namun di sekitar angklung itu terpajang poster dalam bahasa Inggris, yang artinya alat musik tradisional angklung sangat memasyarakat di Malaysia. Angklung juga dikenal di beberapa daerah Nusantara, dan dimainkan oleh masyarakat di Jawa Timur.

Isi poster itu bisa menyesatkan. Orang asing yang tidak mengenal seni tradisi angklung, bisa saja percaya angklung adalah musik tradisi dari Malaysia. Untuk orang Indonesia, tentu saja informasi itu bisa jadi bahan tertawaan, sebab pada pelajaran di sekolah-sekolah, angklung seperti yang terdapat di Central Market Kuala Lumpur itu, adalah angklung dari Jawa Barat yang digubah oleh Daeng Soetigna, atau yang sekarang dipopulerkan oleh Saung Angklung Mang Udjo, dan bukan seni musik tradisi dari Jawa Timur seperti yang disebutkan dalam poster di Central Market.

Mungkin karena mayoritas masyarakat Indonesia dan Malaysia ini sama-sama keturunan Melayu, maka banyak kesemaan dalam unsur seni dan budaya, termasuk dalam bahasa Melayu. Akhir-akhir ini, kesamaan-kesamaan itu telah melahirkan suasana “panas” bagi seniman tradisional Indonesia, karena beredar isyu bahwa seniman Malaysia mengklaim beberapa kesenian yang berdaulat di Indonesia sebagai milik Malaysia, misalnya klaim atas lagu Rasa Sayang Sayang-sayange, corak batik, reog, angklung, dan lain-lainnya.

Adanya klaim dari seniman Malaysia itu tidak seluruhnya merugikan, justru di satu sisi, membangkitkan rasa belonging seniman Indonesia terhadap seni budaya warisan leluhur. Rasa belonging ini kemudian mengajak kita untuk segera mematenkan beberapa warisan budaya leluhur ke UNESCO. Pemerintah Kabupaten Ponorogo juga tengah mematenkan seni reyog hingga ke UNESCO.

Depbudpar juga telah melakukan langkah tersebut sejak beberapa tahun ini, di antaranya telah berhasil menerima paten dari UNESCO untuk seni wayang sebagai The Masterpiece of orality for humanity in the world pada tahun 2003. Lalu tahun 2009 ini, atas peran Depbudpar, tenun batik Indoensia juga menerima paten dari UNESCO sebagai tenun batik terbaik di dunia, mengalahkan batik dari Arab, Malaysia, dan lain-lain. Piagam paten batik dari Unesco rencananya akan disampaikan kepada perintah Indonesia pada 2010.

Depbudpar juga sedang mematenkan beberapa warisan budaya lainnya seperti keris, angklung, dan gamelan. Khusus untuk angklung yang memang telah ada klaim kecil seperti tertera dalam poster, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Depbudpar telah melakukan penelitian dan membukukan hasil penelitian itu dalam buku kecil berjuluk Tinjaun Sekilas Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.

Dalam buku yang disusun oleh Basuki Antariksa dan Mahendra tersebut, diuraikan sejarah angklung dan peredaran angklung di Indonesia, yaitu di Bali, Jawa Barat dan Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Lampung, Kalimantan, dan Sulawesi.

Secara epistomologi, pada halaman 33 buku tersebut dijelaskan, istilah angklung berasal dari dua suku kata bahasa Bali, yaitu “angka” yang berarti nada, dan “Lung” yang berarti patah atau hilang. Arti harafiah angklung adalah nada yang tidak lengkap.

Dalam buku ini juga dijelaskan, hasil telusuran para musikolog, antropolog, dan sejarawan menyatakan bahwa angklung sudah digunakan sejak jaman Kerajaan Pajajaran, Kediri, dan di kerajaan-kerajaan lain. Pada tahun 1938, Daeng Soetigna – seorang guru Hollandsch Inlandsche (HISI) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, berhasil menggubah angklung modern yang dikembakan dari angklung tradisional yang semula sederhana dan hanya bertangga nada pentatonis, menjadi angklung yang lebih kompleks dan bersekala nada diatonis.

Angklung gubahan Daeng itu memang kemudian dikenal dengan nama Angklung Daeng. Itulah jenis Angklung yang saya lihat diklaim dalam poster di Central Market Kuala Lumpur sebagai yang memasyarakat di Malaysia. Unesco akan segera mengadili, angklung gubahan Daeng Soetigna itu berasal dari Jawa Barat atau dari Malaysia? | doddi@jurnas.com

2 comments:

  1. emang dasar tetangga gak tau malu!!

    ReplyDelete
  2. betulll.. tetangga gak tau sejarah!!

    ReplyDelete

tulisan yang nyambung