Friday, March 25, 2011

Jeihan Kembali Purba

Seniman Jeihan Sukmantoro sepertinya tak mau berhenti bikin sensasi. Pada pertengahan dekade 80-an, ia mengawali teror sensasinya yang paling sensual, yakni memberi harga mahal bagi karya lukisnya yang dipamerkan bareng Sudjojono di Saripan Pacific Jakata. Satu lukisan kala itu, ditawarkan US$50 (setara dengan Rp50 juta, atau senilai dengan Mercedes Benz teranyar). Sudjojono selaku seniornya, paling mahal menawarkan lukisannya seharga US$ 5.000. Justru yang sold out adalah lukisan Jeihan.

Sangat mungkin peristiwa pameran itu jadi mailstone (penanda) dari era dimulainya lukisan berharga mahal di Indonesia. Jeihan sendiri menuturkan seperti itu. “Sejak itu, lukisan Popo Iskandar atau Srihadi Soedarsono, ditawarkan dengan harga mahal, dan laku,” kata Jeihan, beberapa tahun lalu di studio Jeihan, Kawasan Padasuka, Bandung.

Pengamat seni rupa Agus Dermawan T. memiliki pendapat lain. Harga lukisan Indonesia jadi mahal berkat kontribusi Galeri Santi (kini galeri itu sudah tutup) yang terbiasa bermain komodifikasi lukisan di pasar Amerika, dan pengeloka Galeri Santi membawa tradisi dari Amerika ke Indonesia. “Pemilik Galeri Santi memamerkan koleksi-koleksi prinadinya seperti karya Affandi, Soedjojono, Hendara Gunawan, dan lain-lain, dengan harga yang relatif mahal, dan sold out, dan ini menjadi salah satu katalisatir dimulainya harga lukisan yang mahal,” tutur Agus Dermawan yang lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI. Sekarang ASRI telah berubah nama jadi ISI)).

Adapun pengamat seni rupa Jim Supangkat memberi tanda yang berbeda. Ia menengarai, era mahalnya lukisan karya seniman Indonesia adalah dampak dari Yendaka, yakni menguatnya nilai uang Yen terhadap dolar Amerika. Akibat Yendaka, banyak pengusaha di Jepang yang mendadak kaya, dan mereka mulai membeli lukisan-lukisan karya para maestro dari Eropa. Eforia para pengusaha Jepang dalam memborong lukisan itu, kemudian ditiru oleh para pengusaha Indonesia. Pendapat Jim ini bisa masuk akal, sebab memang bansa kita ini cenderung jadi follower (pengikut).

Terlepas dari pendapat mana yang benar tentang musabab era harga lukisan mahal di Indonesia, Jeihan tetaplah seorang pembuat sensasi. Pada sebuah pasar seni yang diselenggarakan FSRD ITB beberapa tahun silam, Jeihan pernah menawarkan lukisan, dan siapa yang membeli akan beroleh hadiah mobil. Tengoklah ke studionya, Anda akan menemukan beberapa patung dengan tema seksualitas, salah satunya adalah patung penyair Sapardi Djoko Damono yang digambarkan bertubuh kurus namun berpenis besar.

Sensasi lain dari Jeihan adalah turut mendukung lahirnya puisi-puisi mbeling di jagad kesusastraan Indonesia, di mana puisi mbeling banyak ditulis oleh Remy Silado dan Adi M. Masardi.

Kini memasuki usianya yang melewati angka 71, Jeihan kembali menggelar pameran tunggal dengan tawaran sensational untuk seukuran usianya. Sensasi itu berupa pameran tunggal yang sebelum pembukaan diawali dengan melukis on the spot dengan menghadirkan 9 model. Jeihan melukis setiap model dengan begitu cepat, dan sepertinya kurang memperhitungkan tingkat presisi, karena memang, yang ditangkap Jeihan bukan persis atau tidaknya wajah sang model, tapi karakteristik si model itu yang digambarkan, jadi seolah melukiskan batin dengan insting seniman.

Mengenakan kupiah hitam dan pakaian hitam-hitam, ia menorehkan cat pada kanvas dengan sabetan ekspresionisme kuwasnya. Peristiwa itu berlangsung pada 27 Desember silam di Bentara Budaya Bali. Barangkali bagi warga Bali, ini adalah tontonan menarik, apalagi ini adalah kali pertama Jeihan tampil di Bali dalam suasana melukis on the spot (melukis model secara langsung). Melukis on the spotnya itu makin terasa seru karena dua model yang dilukisnya, dalam posisi sedang menari, bergerak-gerak. Dan Jeihan harus menangkap kelebat penari dengan sukmanya yang memang sukmantoro.

“Untuk seusiaan dia, energi luar biasa. Semangatnya bagus,” kata perupa Made Wianta yang hadir menyaksikan peristiwa itu. Made Wianta sendiri, sehari sebelumnya memperingati ulang tahun ke-60, dan pada usianya itu, Wianta dikenal sebagai seniman rupa yang tetap agresif dan gesit, dan terus-menerus melakukan eksplorasi.

Setelah melukis 9 model tuntas, lalu pameran tunggal Jeihan dibuka oleh I Gede Wiratha. Ada 40-an lukisan teranyar gubahan Jeihan yang dipamerkan, dengan beragam ukuran kanvas, dari yang terkecil berukuran 140x90 cm hingga terbesar 190x300 cm.

Lukisan Jeihan teranyar, belum beranjak dari platform karyanya yang terdahulu, yakni lukisan figuratif tentang sosok manusia yang dibesut dengan garis-garis dan tekstur ekspresif, bermata hitam dan backround dua warna. Tetapi di mata Jean Couteau, pengamat seni rupa modern Indonesia asal Prancis, ternyata ada perkembangan terbaru yang penting dalam proses kekaryaan Jeihan, yakni kebebasan bentuk dan elemen-elemen estetik yang tidak muncul pada lukisan-lukisan terdahulu. “Lukisan Jeihan pada pameran ini menunjukkan kekuatannya sebagai pelukis potretis nomor wahid di Indonesia,“ kata Jean Couteau.

Kini Jeihan nampak makin liar. Barangkali ia sudah tidak memperhitungkan lagi bentuk. Ia melukis dengan instuisi, dan bukan dengan mata wadag dan corak realis. “Sekarang, kau harus kembali ke naluri purba, bebaskan diri kau untuk bergerak,” katanya, kepada saya, di sela-sela pembukaan pameran.
Jeihan memang seorang sensasional yang menelorkan kalimat filosofis sudah dipahami: bahwa puncak dari diam adalah bergerak, dan puncak dari gerak adalah diam. Pada suatu hari, seniman tidak lagi merepresentasikan apapun. Sensasi pameran yang diberi juluk “Between Techniques and Instinctive Framing” sekaligus menandai 9 windu ia berkarya. Berarti sudah 48 tahun Jeihan menjadi pelukis. Tabik.



Data Sheet
Judul    : Between Techniques and Instinctive Framing: 9 Windu Jeihan Sukmantoro
Seniman    : Jeihan Sukmantoro
Kurator    : Putu Fajar Arcana
Tempat    : Bentara Budaya Bali, Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No. 88 A, Ketewel, Bali
Waktu    : 27 Desember 2009 – 17 Januari 2010

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung