Wednesday, March 16, 2011

Paradoks Budaya 2010

eSektor seni budaya telah mengharumkan negara dan bangsa Indonesia di tingkat internasional. Butuh political will yang kuat untuk mengokohkannya.

TEKS Doddi Ahmad Fauji



Kiranya masih terngiang dalam ingatan kita, Timnas Garuda dihajar oleh kesebelasan Malaysia di Kuala Lumpur dalam memperebutkan Juara AFF (ASEAN Football Federation). Tanding kedua di Jakarta, PSSI memang menang tipis 2 – 1. Tapi agregat nilai, Timnas Indonesia kalah, dan Malaysia menjadi Juara AFF 2010.

Di tingkat regional ASEAN yang secara peradaban antar-negara bisa digolongkan sebanding, untuk urusan sepakbola yang menjadi olah raga paling populis, bangsa kita tidak bisa berjaya. Olahraga tidak bisa membuat bangsa kita memiliki harga diri yang tangguh. Juga dalam soal pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur, Singapura dan Malaysia jauh lebih maju. Dalam urusan pekerja migran, tenaga kerja Indonesia kalah ulet dan keterampilan oleh tenaga kerja dari Filifina dan Thailand.

Negara Indonesia yang paling besar dalam jumlah penduduk dan luas wilayah, ternyata tidak bisa menjadi negara paling modern, paling maju kesejahteraan dan peradabannya di tingkat ASEAN.

Tetapi bila yang ditandingkan adalah karya seni dan budaya, seluruh negara ASEAN akan hormat kepada bangsa Indonesia. Sebab di tingkat internasional, Indonesia sudah mengumpulkan tiga (3) piagam penghargaan pemilik karya seni agung yang dikeluarkan oleh badan dunia UNESCO. Ketiga karya seni budaya itu adalah wayang (2003) sebagai Karya Agung Budaya Lisan Warisan Manusia, lalu keris (2005) dinyatakan sebagai Karya Agung Warisan Takbenda Budaya Manusia, dan batik (2009) dinyatakan sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia.

Melalui konferensi pers pada 30 Desember 2010, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik melaporkan beberapa pencapaian bidang seni budaya di tingkat internasional, antara lain pada 16 November 2010 bertempat di Kenya, karya seni “angklung” yang sempat diklaim oleh Malaysia, mulai ditetapkan oleh UNESCO sebagai karya “Budaya Takbenda Warisan Manusia (The Intangible Cultural Heritage of Humanity) dan dimasukkan ke dalam Daftar Representatif. Selain menetapkan angklung ke dalam Daftar Representatif, Komite di UNESCO juga memberikan akreditasi kepada Organisasi Non-Pemerintah (NGO) dari Indonesia, yaitu Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). NGO yang sudah terakreditasi dapat memberikan jasa konsultasi kepada Komite UNESCO apabila diminta serta diundang hadir pada siding-sidang Komite.

Atas prestasi kultural itu, UNESCO kemudian menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah Sidang ke-6 Komite ICH-UNESCO yang akan dilaksanakan pada bulan November 2011 di Bali.

Keunggulan kekayaan bangsa Indonesia dalam bidang seni budaya itu, semestinya menjadi suatu strength (kekuatan) dan opportunity (peluang) yang menjadi acuan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan arah pembangunan. Kebijakan arah pembangunan semestinya juga dikaji dengan menggunakan metode SWOT (Strength [kekuatan], Weakness [kelemahan], Opportunity [peluang], /threat [hambatan]) supaya benar-benar menghasilkan langkah yang lebih pro keberhasilan.

Kekuatan dan peluang bangsa kita, mau tidak mau, suka tidak suka, terdapat pada sektor seni budaya. Semestinya, sektor ini digarap dengan lebih sungguh-sungguh, dan kesungguhan itu salah satunya dibuktikan dengan pengucuran anggaran belanja yang ideal. Apakah anggaran belanja untuk sektor seni budaya sudah cukup ideal?

Kita lihat saja faktanya. Salah satu festival kebudayaan bertarap internasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata secara periodik 3 tahunan, adalah Art Summit Indonesia (ASI) yang ditahun 2010 digelar untuk ke-6 kalinya. Dalam tiga kali penyelenggaraan ASI yang terakhir, kisah yang selalu terdengar adalah keterbatasan anggaran, hingga penyelenggaraan ASI tidak bisa maksimal. Semestinya, dengan berbagai upaya, ASI dirancang supaya menjadi agenda para seniman luar negeri untuk bisa ikut tampil. Semestinya pula negara besar dengan kekayaan seni budaya yang sangat melimpah, Indonesia memiliki satu acara seni budaya bertarap internasional yang bisa menjadi buah tutur masyarakat dunia, dan merangsang masryakat dunia pecinta seni budaya untuk datang mengapresiasi.

Membangun sktor seni budaya sebagai opportunity untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia seperti yang menjadi cita-cita dari proklamasi kemerdekaan Indonesia, memiliki argumentasi yang sangat kuat. Bahwa selain sektor seni-budaya menjadi kekuatan bangsa Indonesia, juga sumber perekonomian dunia sedang memasuki gelombang keempat, yaitu industri kreatif atau ekonomi kraetif. Sumber perekonomian gelombang kesatu berbasis pertanian, gelombang kedua berbasis industri, dan gelombang ketiga berbasis teknologi informasi. Tahun 2009, pemerintah Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, dan Australia sama-sama mencanangkan sebagai tahun industri keratif.

Pencanangan tahun kreatif tentunya jangan hanya sekadar jargon, tapi harus ditindak-lanjuti dengan aksi kongkret, yaitu membenahi suprastruktur dan infrastruktur untuk hal-hal yang berkait dengan kreativitas. Semua orang tahu belaka, basis dari krativitas adalah imajinasi dan keterampilan, dan dua hal itu diasah serta diajarkan melalui aksi seni budaya. Dari situ lahir silogisme, bila hendak memperkuat industri kreatif maka harus memperkukuh pembangunan seni budaya.

Tetapi entah mengapa, bangsa kita (masyarakat juga pemerintah), masih menggemari sikap-sikap yang bersifat paradoksal. Dalam wacana, selalu didengung-dengungkan bahwa pembangunan sektor seni budaya mengemban amanat yang begitu berat, yaitu ikut memperkuat jadi diri bangsa, turut mempercepat pemulihan ekonomi, memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang bersumber pada sistem ekonomi kerakyatan serta membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan ketahanan budaya, disamping sebagai stimulus lahir insane-insan kreatif untuk menghadapi tantangan industri kreatif. Tugas itu begitu agung dan mulia. Tetapi di sisi anggaran, yang dikucurkan untuk sektor seni-budaya, sungguh minor. Tentu saja “das sein dan das sollen” akan nampak jauh panggang dari api.

Karena minimnya anggaran itu, pencanangan program kerja di sektor seni budaya, tidak berhasil melahirkan gerakan kolektif. Misalnya di tahun 2010 yang dicanangkan sebagai tahun kunjungan museum, kenyataannya museum-museum tetap sepi kunjungan.

Di tahun 2011, ada agenda seni-budaya yang cukup besar, di antara menyelenggarakan Indonesia Art Fair (Pasar Seni Indonesia) yang direncanakan akan dilangsungkan antara bulan Oktober – November. Apakah acara ini akan meraih sukses? Sangat mungkin, dan untuk itu, kita harus berhenti menjadi bangsa yang bersikap paradoks.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung