Saturday, March 21, 2009

Nasirun: Antara Nasionalisme dan Nasirunisme


TEKS DAN FOTO DODDI AHMAD FAUJI
Energi endurance yang dimilikinya, membuat Nasirun terus melahirkan karya kreatif secara maraton. Ia menjawab tuduhan ‘digoreng’ dengan berkarya secara garang.

“Mungkin benar, saya harus membuat candi,” kata Nasirun. Malam sudah tiga jam beranjak jadi pagi pada 19 Januari 2009 itu, membuat imajinasi kami makin kreatif, atau makin melantur?

Entahlah, namun yang jelas, Nasirun, pelukis kaya dan raya namun selalu tampil bersahaja itu, setuju pada saran saya.

Setelah melihat-lihat dokumentasi lukisannya yang menggunung di gudang, di kediamannya, perumahan Kalibayem, Bantul, Yogyakarta, saya tiba-tiba terprovokasi untuk memprovokasi Nasirun supaya tidak membuat museum. Membuat candi akan lebih mengukuhkan kekuatan Nasirun yang sudah kokoh.

Nasirun, perupa kelahiran Cilacap, 1 Oktober 1965 itu, memang seniman yang kuat dan kokoh dalam soal produktivitas, kreativitas, pun dalam soal ‘ngeyel’-nya membentangkan jarak dengan kemewahan. Meskipun ia sudah jadi milyarder, tapi ia tetap naik motor bebek yang dibelinya sekira 1997. Kalau mau membeli BMW yang pernah dipakai oleh James Bond 007, tentu Nasirun sanggup.

“Sudah lama saya bercerai dengan benda-benda. Semua barang berharga milik kami, didaftarkan atas nama isteri dan anak saya. Saya menikah dengan sunyi agar bisa melahirkan karya. Kalau tidak begitu, sulit saya berkarya,” kata Nasirun.

“Lalu untuk apa sampean terus melukis dan menjualnya jika tidak bisa menikmati hasil-hasilnya?” saya bertanya.

“Ha ha ha ha … (Nasirun ketawa, sepatah-sepatah). Saya bahagia, kok Mas. Saya terus berkarya karena ingin memberikan kontribusi terhadap kebudayaan.”


Ingin berkontribusi terhadap kebudayaan, tentu menjadi hak semua orang, walau belum tentu menjadi keinginan semua orang. Menurut saya, Nasirun sudah berkontribusi terhadap kebudayaan Indonesia. Karya seni lukisnya, memberi warna dan memperkaya corak seni lukis di Tanah Air.

Dulu, pelukis Soedjojono getol mendedahkan pentingnya menacri élan vital nasionalisme dalam karya lukis, seraya menolak lukisan-lukisan moi indie (Indonesia molek) yang diajarkan oleh pelukis-pelukis Belanda. Soedjojono menyeru para pelukis pribumi agar mencari bentuk baru yang sesuai dengan semangat merebut kemerdekaan.

Saat berhadap-hadapan dengan lukisan Nasirun, saya membayangkan, seandainya Soedjojono melihat lukisan Nasirun, mungkin ia akan berujar, “Nah, ini contoh lukisan yang saya maksud.”

Dekade 70-an, beberapa seniman Indonesia dari berbagai genre, beramai-ramai kembali menengok tradisi sebagai sumber perciptaan karya. Rendra, Sutradji Calzoum Bachri, Arifin C. Noer (alm), Sardono W. Kusumo, Abas Alibasjah, Nyoman Gunarsa, adalah contoh seniman-seniman yang mengukir kreativitas dengan bahan baku seni tradisi.

Dalam jagad seni rupa, saya menilai, Nasirun adalah seniman yang berhasil menggubah tradisi menjadi karya yang mengandung semangat kekinian: pokoknya kontemporerlah.

Tentu ada banyak perupa yang menggubah seni kontemporer. Sedikit di antaraya berhasil mengukir nama secara internasional. Juga sedikit di antaranya yang berhasil memberikan kontribusi atau memperkaya khasanah seni rupa Indonesia.

Kebanyakan perupa kontemporer adalah epigon dari luar, adalah seniman yang terperangah melihat karya seni rupa Eropa dan Amerika, dan sebagai anak bangsa yang mewarisi mental terjajah, ia kemudian meniru karya dari luar itu. Nasirun, bukan dari golongan seniman latah ikut-ikutan meniru Barat. Karena itulah, saya katakan sekali lagi, bila Soedjojono masih hidup, mungkin ia akan menahbiskan Nasirun sebagai pelukis yang nasionalistis, bahkan njawani (sangat Jawa).

Disebut sangat men-Jawa, karena akar seni rupa Jawa klasik sangat melekat erat pada lukisan-lukisan Nasirun. Hal itu dapat dilacak pada warna yang dipilih Nasirun, yang kental aura agraris. Juga corak batik, jangan lupa Nasirun pernah membatik untuk bertahan hidup, menjadi latar di banyak stilistika lukisannya.

Adapun figur yang banyak diangkat oleh Nasirun, kita tahu, berangkat dari mitos-mitos yang hidup di tanah air kita. Untuk itu, bila Anda bertanya kepada kolektor Oei Hong Djien, siapa pelukis Indonesia yang terasa sangat Indonesia banget, tidak perlu kaget kalau salah satu seniman yang disebut namanya adalah Nasirun. Juga ketika saya bertanya kepada Hong Djien tentang hal itu, tester tembakau itu menyebut nama Nasirun di urutan pertama.

Bagaimanapun Oei Hong Djien adalah salah satu patron kolektor seni rupa di Indonesia. Beberapa kolektor yang sekarang di antaranya mendirikan galeri seni rupa, bisa disebut sebagai murid Oei Hong Djien. Nah, di akhir dekade 90-an, ada pecinta seni pendatang baru, bertanya kepada Oei Hing Djien, karya siapakah yang menurut Anda bagus dan layak untuk dikoleksi? Oei Hong Djien menyebut nama Nasirun.

Lalu ia memborong lukisan Nasirun, membuat seniman berambut kriwel-kriwel ini langsung kaya dan raya. Harga lukisannya melambung pula. Peristiwa ini segera menjadi buah bibir di jagad seni rupa Indonesia, dan beberapa orang yang terlibat dengan seni rupa, karena masih kaget, dengan spontan menyebut Nasirun digoreng.

Nasirun tidak bisa menulis, bicara juga kurang pandai. Ia tidak bisa membela diri, kurang lincah berargumentasi. Ia diam saja. Tentu dalam hati, ada perasaan yang ingin meledak. Dan, ia meledakkannya lewat kreativitas dan produktivitas. Segara ia kawin dengan kesunyian, melupkan gemuruh yang terjadi di luar.

Di studionya lahirlah karya yang mencengangkan, secara ukuran maupun corak, tema maupun bentuk. Maka pantas bila kurator Jim Supangkat ikut terpikat, dan secara istimewa turut membawa karya Nasirun ke dalam proyek internasionalisasi karya seni visual ndonesia. Bertempat di Galeri Nasional Indonesia, Jim memamerkan karya berjuluk Un[real], dengan mengedepankan karya Affandi, Nasirun, Entang Wiharso, dan Putu Sutawijaya.

Karya Nasirun memang Ok! Saya memprediksi, suatu hari kelak, bakal banyak seniman yang terpengaruh oleh gaya dan semangatnya, sehingga lahirlah aliran baru dalam proses penciptaan karya seni, aliran baru yang tidak mengenal letih, dan aliran baru itu ingin saya namai: Nasirunisme.

BIODATA
* Nama : Nasirun
* Tempat, tanggal lahir : Cilacap, 1 Oktober 1965
* Pendidikan : Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta
* Istri : Illah
* Anak-anak:
1)Ima Bunga Insan Sani
2)Yudistira Nurul Azmi
3)Nawarna Ratna Mutu Manikam

* Penghargaan:
- Juara I dan II Porseni Se-Karesidenan Banyumas
- Juara II Lomba Lukis Promosi Wisata Kabupaten Cilacap
- Juara II Lomba Kaligrafi
- Juara II Lomba Lukis Celengan Dies Natalis Sastra UGM
- Sketsa dan Seni Lukis Terbaik ISI Yogyakarta
- Peraih McDonald’s Award pada Lustrum Ke-10 ISI Yogyakarta.
- Peraih Philip Morris Award 1997

* Pameran Tunggal:
- Debut pameran tunggal di Mirota Kampus Godean Yogyakarta, tahun
1993.
- Ngono Yo Ngono, Mung Ojo Ngono (Galeri Nasional Indonesia, 1999).

2 comments:

  1. Mohon ijin untuk menautkan artikel ini ke facebook page saya,terimakasih, Adi Restuandi.

    ReplyDelete
  2. bpk nasirun saya mempunyai lukisan karya om saya (alm) RATMOYO..obyek: "patih gajah mada berikrar sumpah palapa" di kanvas dibuat th 1976..saya berminat menjualnya karena kebutuhan yg mendesak..kl bpk nasirun berminat bisa menghubungi saya ke (08995432895)..atas perhatianya sy ucapkan terima kasih..(maturnuwun)

    ReplyDelete

tulisan yang nyambung