Teks Doddi Ahmad Fauji | Foto Dok Teater Sastra UI
Imajinasi seniman mengingatkan, pada suatu hari nanti manusia harus bersaing dengan robot. Teater sastra dari Universitas indonesia, memperkirakan persaingan itu makin ketat setelah tahun 2020.
Bagaimana jadinya bila suatu hari, Universitas Indonesia (UI) yang makin mentereng itu, berganti nama jadi Universitas Robot Indonesia (URI)?sepanjang jargon ini masih berlaku: “tidak ada yang tidak mungkin di bumi ini,” maka sangat mungkin pada suatu hari nanti, UI benar-benar menjadi Universitas Robot Indonesia, dalam artian, UI menjadi kampus yang hanya memproduksi sarjana, master, dan doktor yang berprilaku seperti robot. Bukankah kini semakin banyak perusa-haan yang memperlakukan karyawannya seperti robot, yakni menguras tenaganya tapi tidak memperhatikan perasaannya, kesejahteraannya, dan sisi terdalam dari rasa kemanusiaanya?
Perusahaan lebih senang karyawannya berlaku seperti robot, tidak rewel apalagi banyak protes. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan akan menerima sarjana yang telah berhasil “dirobotkan” oleh perguruan tinggi. efek domino berikutnya, supaya per-guruan tinggi itu laku di masyarakat, maka mereka ber-lomba menjadi universitas yang merobotkan manusia.
sentilan-sentilan di atas, terlintas setelah saya menon-ton pertunjukan teater berjuluk sketsa Robot ver2.0 karya/sutradara I Yudhi sunarto dari Teater Sastra UI. Pertunjukan berlangsung di Graha Bhakti Budaya, TIM, pada 20-21 November 2010.
Pertunjukan itu bernada komediti satire, yang hendak mencemooh sistem pendidikan di Indonesia, terutama mungkin di UI, yang semakin kapitalistik. UI kini menjadi perguruan tinggi negeri termahal setelah era Badan Hukum Pendidikan diberlakukan. Tentu orang miskin sekalipun ia “jenius”, jangan bermimpi bisa berkampus di sana.
Nampak sekali, topik yang dibicarakan dalam pertun-jukan ini, ditulis oleh orang yang terlibat dalam dunia pendidikan, yang membuatnya paham benar seluk-beluk kerancuan di institusi pendidikan. Yudhi memang salah satu dosen di Fakultas Ilmu Budaya, UI. Ia alumni UI, dan pendiri Teater sastra UI. kritikan yang dilontar-kan, bukan asal njeplak tanpa konfirmasi pada realitas. Yudhi berhasil mengapungkan tema yang selaras den-gan realitas, dan pemilihan tema robot untuk mengertik institusi pendidikan, terasa sangat kontekstual.
Sinopsis cerita bisa dirinci seperti ini: Suatu hari, orang-orang Indonesia mulai terjangkit virus mandul. Adapun perempuan yang masih bisa hamil, sudah banyak yang enggan men-gandung karena akan merusak karier. Alhasil, robot-robot yang diberinama humanoid, yang diproduksi oleh luar negeri, mulai dibeli oleh masyarakat Indonesia. Humanoid ternyata menjadi anak yang lebih penurut dan cerdas.
Di sisi lain, karena manusia semakin langka, membuat sekolah jadi bangkrut, perguruan tinggi jadi mengkerut, akibat kehabisan calon murid. Nah lalu, robor-robot yang dibeli dari luar itu, prilakunya ternyata berbeda dengan karakteristik orang Indonesia. Lalui UI pada tahun 2030, mulai melakukan terobosan dengan menciptakan sistem pendidikan untuk robot-robot humanoid supaya karakteristiknya menjadi hipokrit, yaitu karakteristik yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia di tahun 2030. Maka UI pun berubah nama menjadi URI dengan jargon “Merobotkan Manusia dan Memanusiakan Robot.”
Naskah realis yang kontekstual ini, tentu akan kering maknanya bila tidak berhasil direpre-sentasikan dalam panggung. Tapi karena sang sutrdara sekaligus penulis naskah, terasa benar bahwa sutrdara berhasil membina aktornya un-tuk menyajikan pertunjukan yang komunikatif.
Disebut menarik, karena pertunjukan ini ber-langsung sekira empat jam. Sangat melelahkan tentunya menonton selama empat jam. Tetapi respons penonton, dari awal hingga akhir, tidak berubah. Gelak tawa atau malah aplaus, berkali-kali menggemuruh di gedung pertunjukan.
Jam terbang memperlihatkan, Yudhi semakin matang selaku sutra-dara. Dengan mengusung konsep Brechtian, ia berhasil menyajikan komedi satire itu menjadi tontonan yang menghibur. Terlihat, bahwa Yudhi tidak memiliki kendala dalam menge-drill para pemain, terutama dalam melapalkan dialog. Seringkali sebuah pertunjukan jadi tidak menarik, karena pemainnya tidak paham kalimat yang dimaksud oleh penulis naskah. Mung-kin paham, tapi gagal dalam melapal-kannya.
Secara keseluruhan, pertunjukan realis ini bisa disebut berhasil. Jika pun nampak ada yang terasa mengganjal, itu terlihat pada beberapa aktor yang belum benar-benar realis. Memang su-sah, aktor di bawah usia 30 misalnya, bila harus memerankan tokoh berusaia 50. Warna suara harus benar-benar di-ubah. Nah kemarin itu, sebut misalnya tokoh Budi Hartawan yang dimainkan oleh Maftuh Ihsan, terlihat intonansi dan gesture-nya belum memancarkan karakteristik seorang Direktur Kema-hasiswaan. Lengannya yang terlalu banyak bergerak, lebih pantas bila itu ia peragakan saat membaca puisi atau sedang berdeklamasi, ketimbang sedang berperan sebagai aktor teater.
Saya sering melihat, aktor yang jam terbangnya masih rendah, sering bermain dengan gerakan tangan yang berlebih, serta berjinjit saat harus melapalkan dialog marah, dan marahnya itu sering pula disampaikan dengan kata-kata yang berteriak. Dengan kata lain, dalam pertunjukan ini, yang terasa masih kurang, adalah bagaimana memainkan irama dan intonansi, supaya benar-benar nikmat saat disimak.
Barangkali bisa disebut contoh ideal yang memerankan tokoh tua usia, tapi aktornya masih muda, adalah Fadli Zon yang memerankan tokoh Rektor URI. Cara Fadli bicara (mela-palkan dialog), terlihat sudah seperti seorang Rektor dari perguruan tinggi ternama.
Tapi permakluman memang harus sering banyak diberikan pada dunia teater saat ini. Apalagi kepada teater kampus yang sifatnya teater belajar, mereka pasti kekurangan aktor yang matang secara usia, kecuali memang-gil para alumninya, atau menyewa “aktor bayaran” untuk memerankan tokoh-tokoh tertentu.
Terlepas dari semua kekurangan-nya, saya ingin memberi apresiasi pada pertunjukan itu, bahwa mulai langka teater-teater yang terus belajar, mendalami hakikat realisme dan menulis naskah. Dan itu, terus digeluti secara konsisten oleh Teater Sastra UI bersama I Yudhi Sunarto sebagai patronnya. *** doddi@jurnas.com
Imajinasi seniman mengingatkan, pada suatu hari nanti manusia harus bersaing dengan robot. Teater sastra dari Universitas indonesia, memperkirakan persaingan itu makin ketat setelah tahun 2020.
Bagaimana jadinya bila suatu hari, Universitas Indonesia (UI) yang makin mentereng itu, berganti nama jadi Universitas Robot Indonesia (URI)?sepanjang jargon ini masih berlaku: “tidak ada yang tidak mungkin di bumi ini,” maka sangat mungkin pada suatu hari nanti, UI benar-benar menjadi Universitas Robot Indonesia, dalam artian, UI menjadi kampus yang hanya memproduksi sarjana, master, dan doktor yang berprilaku seperti robot. Bukankah kini semakin banyak perusa-haan yang memperlakukan karyawannya seperti robot, yakni menguras tenaganya tapi tidak memperhatikan perasaannya, kesejahteraannya, dan sisi terdalam dari rasa kemanusiaanya?
Perusahaan lebih senang karyawannya berlaku seperti robot, tidak rewel apalagi banyak protes. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan akan menerima sarjana yang telah berhasil “dirobotkan” oleh perguruan tinggi. efek domino berikutnya, supaya per-guruan tinggi itu laku di masyarakat, maka mereka ber-lomba menjadi universitas yang merobotkan manusia.
sentilan-sentilan di atas, terlintas setelah saya menon-ton pertunjukan teater berjuluk sketsa Robot ver2.0 karya/sutradara I Yudhi sunarto dari Teater Sastra UI. Pertunjukan berlangsung di Graha Bhakti Budaya, TIM, pada 20-21 November 2010.
Pertunjukan itu bernada komediti satire, yang hendak mencemooh sistem pendidikan di Indonesia, terutama mungkin di UI, yang semakin kapitalistik. UI kini menjadi perguruan tinggi negeri termahal setelah era Badan Hukum Pendidikan diberlakukan. Tentu orang miskin sekalipun ia “jenius”, jangan bermimpi bisa berkampus di sana.
Nampak sekali, topik yang dibicarakan dalam pertun-jukan ini, ditulis oleh orang yang terlibat dalam dunia pendidikan, yang membuatnya paham benar seluk-beluk kerancuan di institusi pendidikan. Yudhi memang salah satu dosen di Fakultas Ilmu Budaya, UI. Ia alumni UI, dan pendiri Teater sastra UI. kritikan yang dilontar-kan, bukan asal njeplak tanpa konfirmasi pada realitas. Yudhi berhasil mengapungkan tema yang selaras den-gan realitas, dan pemilihan tema robot untuk mengertik institusi pendidikan, terasa sangat kontekstual.
Sinopsis cerita bisa dirinci seperti ini: Suatu hari, orang-orang Indonesia mulai terjangkit virus mandul. Adapun perempuan yang masih bisa hamil, sudah banyak yang enggan men-gandung karena akan merusak karier. Alhasil, robot-robot yang diberinama humanoid, yang diproduksi oleh luar negeri, mulai dibeli oleh masyarakat Indonesia. Humanoid ternyata menjadi anak yang lebih penurut dan cerdas.
Di sisi lain, karena manusia semakin langka, membuat sekolah jadi bangkrut, perguruan tinggi jadi mengkerut, akibat kehabisan calon murid. Nah lalu, robor-robot yang dibeli dari luar itu, prilakunya ternyata berbeda dengan karakteristik orang Indonesia. Lalui UI pada tahun 2030, mulai melakukan terobosan dengan menciptakan sistem pendidikan untuk robot-robot humanoid supaya karakteristiknya menjadi hipokrit, yaitu karakteristik yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia di tahun 2030. Maka UI pun berubah nama menjadi URI dengan jargon “Merobotkan Manusia dan Memanusiakan Robot.”
Naskah realis yang kontekstual ini, tentu akan kering maknanya bila tidak berhasil direpre-sentasikan dalam panggung. Tapi karena sang sutrdara sekaligus penulis naskah, terasa benar bahwa sutrdara berhasil membina aktornya un-tuk menyajikan pertunjukan yang komunikatif.
Disebut menarik, karena pertunjukan ini ber-langsung sekira empat jam. Sangat melelahkan tentunya menonton selama empat jam. Tetapi respons penonton, dari awal hingga akhir, tidak berubah. Gelak tawa atau malah aplaus, berkali-kali menggemuruh di gedung pertunjukan.
Jam terbang memperlihatkan, Yudhi semakin matang selaku sutra-dara. Dengan mengusung konsep Brechtian, ia berhasil menyajikan komedi satire itu menjadi tontonan yang menghibur. Terlihat, bahwa Yudhi tidak memiliki kendala dalam menge-drill para pemain, terutama dalam melapalkan dialog. Seringkali sebuah pertunjukan jadi tidak menarik, karena pemainnya tidak paham kalimat yang dimaksud oleh penulis naskah. Mung-kin paham, tapi gagal dalam melapal-kannya.
Secara keseluruhan, pertunjukan realis ini bisa disebut berhasil. Jika pun nampak ada yang terasa mengganjal, itu terlihat pada beberapa aktor yang belum benar-benar realis. Memang su-sah, aktor di bawah usia 30 misalnya, bila harus memerankan tokoh berusaia 50. Warna suara harus benar-benar di-ubah. Nah kemarin itu, sebut misalnya tokoh Budi Hartawan yang dimainkan oleh Maftuh Ihsan, terlihat intonansi dan gesture-nya belum memancarkan karakteristik seorang Direktur Kema-hasiswaan. Lengannya yang terlalu banyak bergerak, lebih pantas bila itu ia peragakan saat membaca puisi atau sedang berdeklamasi, ketimbang sedang berperan sebagai aktor teater.
Saya sering melihat, aktor yang jam terbangnya masih rendah, sering bermain dengan gerakan tangan yang berlebih, serta berjinjit saat harus melapalkan dialog marah, dan marahnya itu sering pula disampaikan dengan kata-kata yang berteriak. Dengan kata lain, dalam pertunjukan ini, yang terasa masih kurang, adalah bagaimana memainkan irama dan intonansi, supaya benar-benar nikmat saat disimak.
Barangkali bisa disebut contoh ideal yang memerankan tokoh tua usia, tapi aktornya masih muda, adalah Fadli Zon yang memerankan tokoh Rektor URI. Cara Fadli bicara (mela-palkan dialog), terlihat sudah seperti seorang Rektor dari perguruan tinggi ternama.
Tapi permakluman memang harus sering banyak diberikan pada dunia teater saat ini. Apalagi kepada teater kampus yang sifatnya teater belajar, mereka pasti kekurangan aktor yang matang secara usia, kecuali memang-gil para alumninya, atau menyewa “aktor bayaran” untuk memerankan tokoh-tokoh tertentu.
Terlepas dari semua kekurangan-nya, saya ingin memberi apresiasi pada pertunjukan itu, bahwa mulai langka teater-teater yang terus belajar, mendalami hakikat realisme dan menulis naskah. Dan itu, terus digeluti secara konsisten oleh Teater Sastra UI bersama I Yudhi Sunarto sebagai patronnya. *** doddi@jurnas.com
wauwwwwww
ReplyDelete