Wednesday, April 27, 2011

Tisna Sanjaya: Anak Zaman

Setiap zaman selalu melahirkan anaknya yang terbaik, yang kemudian menjadi bintang paling kinclong, yang kelahirannya dibidani oleh gejolak sosial. Mereka inilah yang mampu menyikapi pelbagai gejolak sosial dengan kreativitas yang konseptual dan kontekstual. Ia visioner dalam karya.

Anak zaman yang brilian selalu menjadi bintang, ikon, simbol, wakil, atau representasi dari zeit geits (semangat zaman). Mereka yang lamban dan kurang cerdas akan tergilas oleh perubahan zaman.

Kini pendulum waktu telah bergeser jauh, membuat zaman berubah drastis. Tentu para ikon atau simbol anak zaman terdahulu, mulai redup dan digantikan oleh generasi berikutnya dengan sema­ngat yang menggelegak. Pada zaman terkini, bintang atau ikon baru dalam dunia seni rupa harus disebut nama Tisna Sanjaya.

Komitmennya dalam berkesenian sudah teruji oleh waktu. Artiku­lasinya cukup tegas. Dedikasi terhadap profesi yang digelutinya tidak diragukan lagi. Visinya sangat jelas: kesenian ialah ruang kreativitas yang harus dipertanggungjawabkan, dan memiliki tanggungjawab da­lam membela harkat kemanusiaan.

Saat para perupa Bandung sibuk menggu­muli gaya seni lukis abstrak yang berjarak de­ngan realitas sosial, Tisna Sanjaya melahirkan karya yang dalam bahasa George Lucas di­sebut realisme sosial, yang pesan dan amanat­nya menggedor­gedor pintu angkuh kekuasaan Orde Baru, sekaligus menyentil kawan sesama seniman yang asyik “iseng sendiri” layaknya anak autis yang lupa kalau dia itu memiliki te­tangga dan saudara yang musti dibela.

Visi Tisna dapat dibaca dengan mudah lewat karya­karyanya, baik yang berbentuk grafis, lukis, instalasi, performance art. Dan visi itu ia wujudkan dalam sikap sehari­hari, entah dalam artikel dan esai, atau dalam proses mengajar yang dilakukannya di Studio Grafis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung.

Bahkan apresiator sudah bisa memahami apa yang hendak dipresentasikannya hanya dengan membaca judul­judul karyanya, misalnya grafis berjuluk Manusia tanpa Gagasan: Senjatamu hanya Retorika (1994), Korban: Monumen Estetika Bau Mayat (1994), Amuk Kapak (1993­1994), Lengser Keprabon (1997), serial karya berjudul Ibuku: Katakanlah Meskipun Pahit dan Berdoalah (1997­1998).

Tisna memang cap jempol. Dia adalah ikon yang dibutuhkan, yang rasanya kurang lengkap sebuah pameran bersama bila tidak menyertakan karya Tisna.

Nama Tisna sebagai seniman, bukan hanya dikenal secara do­mestik. Berkali­kali ia diundang mengikuti biennial atau triennial inter­nasional. Namun untuk urusan pameran di luar negeri ini, Tisna berko­mentar, “Jangan puas hanya dari pameran ke pameran.”

Di sela kesibukannya mengambil studi doktoral di Institut Seni Indonesia (ISI) Yog­yakarta, seniman kelahiran Bandung ini tetap giat berkarya. Pada pameran bersama dalam Manifesto Seni Rupa di Galeri Nasional, Tisna memamerkan karya serial berjudul  Manifesto Joged Komando.

Pada Januari 2009, Tisna akan menye­lenggarkan pameran tunggul retrospektif atas karya­karya mulai saat awal berkarya sampai sekarang.
Seniman Utopia

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung