Setiap zaman selalu melahirkan anaknya yang terbaik, yang kemudian menjadi bintang paling kinclong, yang kelahirannya dibidani oleh gejolak sosial. Mereka inilah yang mampu menyikapi pelbagai gejolak sosial dengan kreativitas yang konseptual dan kontekstual. Ia visioner dalam karya.
Anak zaman yang brilian selalu menjadi bintang, ikon, simbol, wakil, atau representasi dari zeit geits (semangat zaman). Mereka yang lamban dan kurang cerdas akan tergilas oleh perubahan zaman.
Kini pendulum waktu telah bergeser jauh, membuat zaman berubah drastis. Tentu para ikon atau simbol anak zaman terdahulu, mulai redup dan digantikan oleh generasi berikutnya dengan semangat yang menggelegak. Pada zaman terkini, bintang atau ikon baru dalam dunia seni rupa harus disebut nama Tisna Sanjaya.
Komitmennya dalam berkesenian sudah teruji oleh waktu. Artikulasinya cukup tegas. Dedikasi terhadap profesi yang digelutinya tidak diragukan lagi. Visinya sangat jelas: kesenian ialah ruang kreativitas yang harus dipertanggungjawabkan, dan memiliki tanggungjawab dalam membela harkat kemanusiaan.
Saat para perupa Bandung sibuk menggumuli gaya seni lukis abstrak yang berjarak dengan realitas sosial, Tisna Sanjaya melahirkan karya yang dalam bahasa George Lucas disebut realisme sosial, yang pesan dan amanatnya menggedorgedor pintu angkuh kekuasaan Orde Baru, sekaligus menyentil kawan sesama seniman yang asyik “iseng sendiri” layaknya anak autis yang lupa kalau dia itu memiliki tetangga dan saudara yang musti dibela.
Visi Tisna dapat dibaca dengan mudah lewat karyakaryanya, baik yang berbentuk grafis, lukis, instalasi, performance art. Dan visi itu ia wujudkan dalam sikap seharihari, entah dalam artikel dan esai, atau dalam proses mengajar yang dilakukannya di Studio Grafis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung.
Bahkan apresiator sudah bisa memahami apa yang hendak dipresentasikannya hanya dengan membaca juduljudul karyanya, misalnya grafis berjuluk Manusia tanpa Gagasan: Senjatamu hanya Retorika (1994), Korban: Monumen Estetika Bau Mayat (1994), Amuk Kapak (19931994), Lengser Keprabon (1997), serial karya berjudul Ibuku: Katakanlah Meskipun Pahit dan Berdoalah (19971998).
Tisna memang cap jempol. Dia adalah ikon yang dibutuhkan, yang rasanya kurang lengkap sebuah pameran bersama bila tidak menyertakan karya Tisna.
Nama Tisna sebagai seniman, bukan hanya dikenal secara domestik. Berkalikali ia diundang mengikuti biennial atau triennial internasional. Namun untuk urusan pameran di luar negeri ini, Tisna berkomentar, “Jangan puas hanya dari pameran ke pameran.”
Di sela kesibukannya mengambil studi doktoral di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, seniman kelahiran Bandung ini tetap giat berkarya. Pada pameran bersama dalam Manifesto Seni Rupa di Galeri Nasional, Tisna memamerkan karya serial berjudul Manifesto Joged Komando.
Pada Januari 2009, Tisna akan menyelenggarkan pameran tunggul retrospektif atas karyakarya mulai saat awal berkarya sampai sekarang.
Anak zaman yang brilian selalu menjadi bintang, ikon, simbol, wakil, atau representasi dari zeit geits (semangat zaman). Mereka yang lamban dan kurang cerdas akan tergilas oleh perubahan zaman.
Kini pendulum waktu telah bergeser jauh, membuat zaman berubah drastis. Tentu para ikon atau simbol anak zaman terdahulu, mulai redup dan digantikan oleh generasi berikutnya dengan semangat yang menggelegak. Pada zaman terkini, bintang atau ikon baru dalam dunia seni rupa harus disebut nama Tisna Sanjaya.
Komitmennya dalam berkesenian sudah teruji oleh waktu. Artikulasinya cukup tegas. Dedikasi terhadap profesi yang digelutinya tidak diragukan lagi. Visinya sangat jelas: kesenian ialah ruang kreativitas yang harus dipertanggungjawabkan, dan memiliki tanggungjawab dalam membela harkat kemanusiaan.
Saat para perupa Bandung sibuk menggumuli gaya seni lukis abstrak yang berjarak dengan realitas sosial, Tisna Sanjaya melahirkan karya yang dalam bahasa George Lucas disebut realisme sosial, yang pesan dan amanatnya menggedorgedor pintu angkuh kekuasaan Orde Baru, sekaligus menyentil kawan sesama seniman yang asyik “iseng sendiri” layaknya anak autis yang lupa kalau dia itu memiliki tetangga dan saudara yang musti dibela.
Visi Tisna dapat dibaca dengan mudah lewat karyakaryanya, baik yang berbentuk grafis, lukis, instalasi, performance art. Dan visi itu ia wujudkan dalam sikap seharihari, entah dalam artikel dan esai, atau dalam proses mengajar yang dilakukannya di Studio Grafis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung.
Bahkan apresiator sudah bisa memahami apa yang hendak dipresentasikannya hanya dengan membaca juduljudul karyanya, misalnya grafis berjuluk Manusia tanpa Gagasan: Senjatamu hanya Retorika (1994), Korban: Monumen Estetika Bau Mayat (1994), Amuk Kapak (19931994), Lengser Keprabon (1997), serial karya berjudul Ibuku: Katakanlah Meskipun Pahit dan Berdoalah (19971998).
Tisna memang cap jempol. Dia adalah ikon yang dibutuhkan, yang rasanya kurang lengkap sebuah pameran bersama bila tidak menyertakan karya Tisna.
Nama Tisna sebagai seniman, bukan hanya dikenal secara domestik. Berkalikali ia diundang mengikuti biennial atau triennial internasional. Namun untuk urusan pameran di luar negeri ini, Tisna berkomentar, “Jangan puas hanya dari pameran ke pameran.”
Di sela kesibukannya mengambil studi doktoral di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, seniman kelahiran Bandung ini tetap giat berkarya. Pada pameran bersama dalam Manifesto Seni Rupa di Galeri Nasional, Tisna memamerkan karya serial berjudul Manifesto Joged Komando.
Pada Januari 2009, Tisna akan menyelenggarkan pameran tunggul retrospektif atas karyakarya mulai saat awal berkarya sampai sekarang.
Seniman Utopia |
No comments:
Post a Comment