Diyanto identik dengan eksplorasi dan pendalaman tema. Tatapan matanya menyiratkan seorang perenung, peziarah tematik. Untuk era kini, Di-yanto adalah sang ikon dengan juluk The Perfect Explorer. Sebagai misal, sejak 1980, rumah sakit seakan menjadi hunian yang kedua, karena begitu sering ia me-nyambanginya, mengintip detail-detailnya, merekam haru-biru ketakberdayaan manusia yang menghuninya, saat menjalankan misi eksploratif itu. Hasil eksplorasinya didedahkan ke dalam kan-vas, menjadi lukisan corak impresionistik yang inspiratif.
Tahun 1992, Diyanto bergabung dengan Teater Sae, Jakarta. Persinggungan dengan naskah dan pertunjukan teater, membuat persepsi Diyanto berubah. Teater telah menuntun eksplorasinya memasuki wilayah referensial.
Referensi selanjutnya menuntun Diyanto memasuki gerbang filsafat, dan pandangan filosif itu amat terbaca pada pamerannya yang berjuluk Fatum Brutum Amor Fati (takdir itu pahit, namun cintailah takdir) di Selasar Sunaryo Artspace, Bandung, beberapa waktu lalu. Melalui pameran Amor Fati itu, makin kuat Diyanto menyandang ikon selaku The Perfect Explorer.
Kritikus seni rupa Jim Supangkat yang pernah menguratori pameran seniman kelahiran Kadipaten 1962 ini mengatakan, karya Diyanto menarik untuk diikuti, karena ia selalu menawarkan permenungan seputar kehidupan. Permenungan itu lahir karena memang ia memasuki wilayah filsafat secara eksploratif. Meresepsi karya Diyanto, kita akan selalu diajak merenungi kehidupan ini secara mendalam. Kedalaman, itulah Diyanto.
Tahun 1992, Diyanto bergabung dengan Teater Sae, Jakarta. Persinggungan dengan naskah dan pertunjukan teater, membuat persepsi Diyanto berubah. Teater telah menuntun eksplorasinya memasuki wilayah referensial.
Referensi selanjutnya menuntun Diyanto memasuki gerbang filsafat, dan pandangan filosif itu amat terbaca pada pamerannya yang berjuluk Fatum Brutum Amor Fati (takdir itu pahit, namun cintailah takdir) di Selasar Sunaryo Artspace, Bandung, beberapa waktu lalu. Melalui pameran Amor Fati itu, makin kuat Diyanto menyandang ikon selaku The Perfect Explorer.
Kritikus seni rupa Jim Supangkat yang pernah menguratori pameran seniman kelahiran Kadipaten 1962 ini mengatakan, karya Diyanto menarik untuk diikuti, karena ia selalu menawarkan permenungan seputar kehidupan. Permenungan itu lahir karena memang ia memasuki wilayah filsafat secara eksploratif. Meresepsi karya Diyanto, kita akan selalu diajak merenungi kehidupan ini secara mendalam. Kedalaman, itulah Diyanto.
seni bakat atau belajar??
ReplyDelete