Monday, April 11, 2011

Galeri Kagetan

logo nadi gallery
Lukisan kini menjadi komoditas paling primadona, yang mampu menjadi picu bagi tumbuh-gugurnya galeri-galeri di Tanah Air.

TEKS DODDI AHMAD FAUJI

Memang tidak persis seperti ombak, namun sebagaimana ombak, aktivitas galeri seni rupa di Tanah Air selalu mengalami pasang – surut. Ada masanya galeri-galeri bertumbuh dengan aktivitas yang cukup padat, seperti pada tahun 1998 – 2002, dan 2007 – 2008 ini. Tumbuh dengan aktivitas yang padat, karena dipicu oleh meriahnya transaksi seni rupa, khususnya lukisan, yang hingga ‘menderita’ booming. Namun ketika efek ledakan bom kembali lindap, beberapa galeri tiarap atau mati suri, atau malah mati beneran.

Disebut menderita booming, adalah ketika lukisan sebagai komoditas yang bernilai jual tinggi, ternyata bisa dijual selaris manis kacang goreng. Disebut menderita, karena pada saat booming, lukisan nyaris tidak dilihat dari kaidah estetikanya oleh para ‘peminat’ karya seni, melainkan lebih banyak dibicarakan secara intens dari nilai ekonomisnya. Pertanyaan yang kerap diajukan para pemburu lukisan, apakah karya si anu itu potensial untuk berinvestasi. Padahal kita semua sepakat, lukisan ialah karya cipta estetika.

Dan sungguh aneh, booming lukisan seringkali meledak justru di saat sedang berlangsung krisis, baik di tingkat lokal, regional, maupun global, yang membuat mayoritas masyarakat menderita prihatin. Sungguh ironis, ketika banyak orang megap-megap untuk mendapatkan sembako, perdagangan lukisan justru berlangsung meriah dengan harga yang menyilaukan. Ironi ini sebenarnya tengah mempertanyakan kembali apakah benar manusia itu homoni social (makhluk dermawan).

Ketika terjadi booming lukisan yang ironis itu, galeri-galeri dan balai lelang segera bermunculan. Tujuan jadi mudah dibaca: ikut spekulasi mengail fulus bukan?

Ketika lukisan sudah ditempatka sebagai ikan yang bisa dikail, maka sebenarnya potensi estetika lukisan telah dibunuh. Yang dilihat kemudian ialah nilai jualnya. Itu sebabnya, kita tidak perlu heran kalau sering mendengar celetukan ‘membeli lukisan tidak dengan mata’.

Di Tanah Air pernah terjadi beberapa kali booming lukisan, sekaligus menandai bahwa negeri ini sering diguncang krisis. Peristiwa booming lukisan paling gempita, yang ledakannya telah meninggalkan kenangan manis maupun pahit dalam percaturan seni rupa, ialah yang terjadi bertepatan dengan gejolak reformasi yang diawali oleh krisis finansial nasional, kemudian berlanjut jadi krisis multidimensional. Kala itu, kita tahu, harga dolar Amerika semula Rp1000 per dolar, tiba-tiba melonjak tajam mencapai Rp16.000, membuat laju roda ekonomi nasional benar-benar zig-zag.

Dalam keadaan zig-zag itu, kebanyakan masyarakat mengalami kerugian, tiba-tiba kehilangan pekerjaan, lalu jatuh miskin. Perusahaan-perusahaan besar gulung tikar. Perbankan rontok, beberapa terpaksa ditutup atau di-merger. Indonesia sepertinya akan bangkrut. Namun di tengah musibah itu, ternyata ada beberapa pihak yang justru tiba-tiba menangguk berkah. Peternak udang dan petani lada yang terbiasa mengekspor produknya, adalah contoh yang menerima blessing indisguise.

Jangan salah, beberapa pelukis dan pengelola galeri, adalah termasuk pihak yang tiba-tiba mereguk berkah. Pelukis yang semula megap-megap, tiba-tiba jadi kaya dan raya.

Logika matematika yang berjalan saat krisis memuncak pada 1998, adalah rasanya sulit menjual lukisan yang harganya jutaan saat perbankan sebagai simbol kekayaan mengalami kejatuhan, dan berjuta orang mengalami pemutusan hubungan kerja secara masal. Namun ternyata logika matematika itu tidak berjalan linier keseluruhannya. Ada logika bahasa yang berlaku, membuat penjualan lukisan justru melonjak.

Mengapa penjualan lukisan memuncak justru di saat krisis mengamuk? Ada banyak katalisatornya. Logika paling bisa dipahami, dan memang begitu faktanya, ialah karena pada saat krisis memuncak, pelukis tidak berani bahkan tidak terpikir untuk menaikkan harga lukisan. Malah yang terpikir mungkin menurunkan harganya supaya tetap laku. Namun ternyata ekspatriat atau karyawan asing yang menerima gaji dengan dolar Amerika, menjadi pembeli lukisan yang produktif.

Gambarannya begini. Semula, mereka yang bergaji US$3.000 per bulan misalnya, bila membeli lukisan Rp1 juta harus mengeluarkan kocek US$400 (dengan kurs 1 dolar Rp2500), karena harga dolar jadi mahal (Rp15.000), maka dengan US$400 itu, mereka bisa mendapatkan minimalnya enam lukisan. Berdasarkan informasi yang kami serap dari sana-sini, kala itu memang terjadi penjualan lukisan besar-besaran, bukan lagi satu atau dua bingkai, tapi diborong dan diangkut dengan truck kontainer.

Permintaan terus membumbung. Berlakulah hukum supply and demand. Harga lukisan pun merayap dengan cepat, membuat sejumlah pelukis jadi subur nan makmur, sebagiannya takabur, dan galeri-galeri yang menjadi tempat transaksinya, ikut kipas-kipas fulus.

Pameran-pameran yang diselenggarakan oleh galeri, tiba-tiba selalu sold out. Lukisan benar-benar ‘menderita’ booming, dan ledakannya berlangsung dengan begitu cepat, efeknya berpijar hingga ke kota-kota kecil. Penjualan lukisan selalu laku dengan harga yang mahal. Kondisi ini melahirkan situasi kagetan.

Mengagetkan. Ya, mengagetkan. Hingga lahirlah seniman kagetan, kurator kagetan, kolektor kagetan, kolekdol kagetan, spekulan kagetan, balai lelang kagetan, dan tentu: Galeri Kagetan.

Disebut galeri kagetan, karena setelah gemuruh boom kembali sunyi, galeri itu pun mati.
Di mana ada gula, di situ ada semut. Semut-semut yang kelaparan karena gula di tempat lain telah tohor, kemudian merubung ke seputar lukisan. Maka dimulailah babak baru perniagaan seni rupa yang melibatkan pihak-pihak yang semula tidak mencintai karya seni rupa, bahkan mungkin mencibir: Apaan tuh lukisan?

Pihak-pihak yang semula mencibiri lukisan itu di antaranya berasal dari para pialang saham, orang-orang perbankan, broker yang kalah tempur, dan kelompok the have lainnya. Tetapi mereka memasuki lukisan bukan karena benar-benar ‘cinta’ terhadap lukisan, melainkan karena lukisan tiba-tiba menjadi komoditas yang menggiurkan. Malah ada yang bercuriga, dan ini perlu kita selidiki, ada orang-orang yang membeli lukisan untuk money loundry, sebab mengoleksi karya seni di negeri ini, tidak dikenai pajak. Kalau mengoleksi mobil, kan ada pajaknya tiap tahun.

Krisis tahun 1998 sudah berlalu. Tetapi tahun 1998 bisa disebut mailstone yang patut kita catat dalam sejararah seni rupa di Tanah Air. Sekira tahun 1998 itu, bemunculan galeri-galeri baru. Beberapa di antaranya, kini sudah tidak terdengar lagi kiprahnya. Namun beberapa galeri tumbuh kokoh dan makin produktif.

Di Jakarta, galeri-galeri yang pernah ikut meramaikan seni rupa, khususnya lukisan, sekira 1998 itu, antara lain Java Gallery, Allo Paintings Art, Galeri Sriyanto, Galeri Mesjid, Galeri Kembang, Galeri Daun, Roemah Seni Air, Maxima Minima, Ina Gallery, dan masih banyak lagi. Nama-nama galeri itu, kini tidak terdengar lagi, atau terdengar samar-samar dalam percaturan seni rupa. Malah ada yang sudah benar-benar tutup seperti Java Gallery, Galeri Mesjid, Galeri Kembang, Roemah Seni Air.

Galeri-galeri yang berdiri sekira tahun 2000, namun eksistensinya seperti hidup segan mati tak hendak, dapat disebut nama H Gallery yang tempatnya berpindah-pindah. Semula H Gallery berlokasi di kawasan Tomang, pindah ke Gunung Sahari, lalu beralih ke Jalan Antara, dan kini di kawasan Jalan Tanah Abang.

Ada juga galeri yang tidak pernah jera menyelenggarakan pameran, sekalipun mungkin lebih sering merugi, yaitu Galeri Milenium di kawasan pertokoan D’Best, Fatmawati, Jakarta Selatan. Galeri Milenium kini sedang direnovasi. Di Galeri ini, pernah berpameran di antaranya Hardi, Irawan Karseno, Arahmaiani, Acep Zamzam Noor, Yaya Sukaya, hingga seniman-seniman yang memproklamirkan diri bukan pelukis, misalnya Butet Kartaredjasa atau Sitok Srengenge.
suasana pameran di nadi gallery

Lalu ada galeri Lontar yang berdiri mulai 1995, namun makin dilirik begitu krisis reformasi memuncak. Maklum, galeri ini dinilai tidak mengutamakan komersoalisasi, tetapi mengedepankan tema dan wacana. Hal ini bisa dijalankan karena dana untuk operasional galeri, ditopang oleh kelompok Komunitas Utan Kayu. Galeri Lontar kini pindah ke Salihara, seiring dengan perpindahan Komunitas Utan Kayu ke Salihara.

Galeri yang nyaris berbarengan berdiri pada tahun 2000, dan tetap eksis hingga kini, antara lain Nadi Gallery (Kembangan), Galeri Canna (Kelapa Gading), dan One Galeri Seni Rupa (Jalan Panjang). Tiga galeri ini menjalankan prinsip tambal sulam, atau subsidi silang. Pada suatu pameran, mereka merugi dan harus nombok. Tapi pada pameran yang lain, dapat menjualkan karya hingga untung. Sebenarnya, mayoritas galeri di Indonesia menjalankan prinsip tambal sulam. Kami hanya menyebut tiga galeri di atas adalah kebetulan ketiganya berdiri nyaris bersamaan pada tahun 2000.

Di antara tiga galeri itu, Canna dan Nadi adalah yang paling produktif dan menjadi rujukan para seniman untuk dapat berpameran di sana. Kedua galeri ini juga semakin ekspansif, yaitu memboyong karya seniman Indonesia ke art fair di China dan Singapura. Malah Canna berani menyeberang hingga ke Miami, Amerika. Canna memang menjadi galeri paling agresif di Jakarta dalam menyelenggarakan pameran sepanjang 2008 ini. Dalam dua bulan, Canna bisa menyelenggarakan tiga kali pameran dengan berganti-ganti kurator.

Koong Gallery adalah contoh lain dari galeri yang ada di Jakarta. Koong mengalami pergantian manajemen dan kepemilikan. Setelah ditangani Singsing Ko mulai 2007, kini menjadi galeri yang cukup produktif dalam berpameran, mensejajari Nadi dan Canna.

Sejak tahun 2000 hingga kini, galeri di Jakarta bertambah jumlahnya. Inventarisasi yang kami lakukan, tercatat ada 92 galeri di Jakarta. Dari jumlah itu, ada galeri lama yang sudah memasuki tahun perak (25 tahun) seperti Duta Fine Art Foundation, ada yang sudah melawati usia 20 tahun seperti Edwins Gallery, Mon Decor. Ada yang sudah berusia belasan tahun seperti Cemara 6 Galeri dan Cafe. Namun, ada juga galeri yang sudah berkontribusi besar namun harus tutup setelah memasuki tahun 2000, yaitu Galeri Santi. Ada juga galeri yang bertahan lebih dari 40 tahun, yaitu Galeri Hadiprana.

Bila dilihat dari jumlah, adalah benar bahwa pertumbuhan galeri mengalami pasang. Bahkan beberapa galeri mulai membuka cabang di kota lain, memiliki outsource di negara lain, atau bekerjasama dengan galeri lain di negara lain.

Galeri yang memiliki cabang dapat disebut Langgeng Gallery (Deddy Irianto) di Magelang, yang kemudian membuka cabang di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, dan di Yogya. Beng Mazmuri mendirikan Ars Longa di Jakarta, kemudian membuka cabang di Batam, dan di penghujung Desember 2008, membuka cabang di Yogyakarta. Zola Zulu Gallery (Hingkie HP) di Bandung, memiliki dua cabang, yaitu di Jalan Natuna dan di Jalan Cihampelas.

Beberapa galeri yang membuka outsourcing di luar negeri dapat disebut Linda Gallery (Jakarta, Singapura, Beijing, Shanghai), Vanessa Art Link (Jakarta – Beijing), Zola Zulu Gallery (Bandung – Singapura). CP Art Foundation (Tjian Ann) di kawasan Suryopranoto Jakarta Pusat, pernah membuka outsource di New York, namun kini sudah tutup.

Galeri yang melakukan kerjasama dengan galeri di luar negeri dapat disebut di antaranya O House Gallery, Srisasanti Gallery, Zola Zulu Gallery, Edwin’s Gallery, Linda Gallery, Vanessa Art Link, Darga Gallery, Nadi Gallery.

Krisis menjelang reformasi sudah satu dekade berlalu. Cukup banyak kenangan manis dan pahit. Dikatakan manis, karena ada beberapa seniman, spekulan, kolekdol, galeri, balai lelang, yang dapat mereguk keuntungan. Tetapi bisa disebut meninggalkan kenangan pahit karena ada beberapa galeri yang mungkin saat didirikan, mereka begitu optimistik, namun ternyata harus berkalang tanah. Mendirikan galeri memang tidak mudah. Di Eropa juga, banyak galeri komersial yang buka tutup dengan cepat.

Kenangan pahit juga dirasakan oleh beberapa seniman yang menjadi korban perminan para pialang yang menyusup ke dalam dunia seni rupa. Kabarnya, ada seniman yang terpaksa harus rajin berobat. Apakah kenangan pahit itu mengahantui Anda juga?

***

Menjelang 2005 hingga awal 2008, harga BBM di dunia mengalami beberapa kali kenaikan, dan memicu terjadinya kembali krisis keuangan. Sekali lagi, sungguh aneh, di saat krisis itu, lukisan yang harganya jutaan kembali booming seperti dirasakan sepanjang 2007 – 2008 ini. Booming ini kembali memicu berlahirannya seniman kagetan, kurator kagetan, wartawan kagetan, spekulan kagetan, kolekdol kagetan, kolektor kagetan, balai lelang kagetan, dan tentu galeri kagetan.

Harga BBM dunia kembali mengalami penurunan. Tapi sekarang sedang berlangsung krisis finansial global akibat terpuruknya perekonomian Amerika. Pemicu utama krisis global adalah karena beberapa produk komersial dari China dapat menyingkirkan dominasi produk Amerika, terutama produk fesyen, kelontongan, dan elektronik. Perekonomian Amerika anjlok, dan berpengaruh secara global.

Krisis global membuat was-was dan cemas sejumlah pemain seni rupa, hingga beberapa pemain terutama spekulan, perlu wait and see sebelum bertindak. Dalam keadaan menunggu itu, terasa sekarang transaksi seni rupa jadi lesu, ketukan palu di balai lelang Christie’s dan Sothebie’s ikut sunyi. Tetapi, tidak sedikit juga orang yang tetap kaget dan nekat mendirikan galeri. Semoga saja tidak menjadi galeri kagetan.

Di saat krisisi global ini, apakah para aktivis seni harus menunggu seperti para spekulan? Apakah galeri-galeri harus mati suri? Jawabnya: tidak! Kita semua sadar, dunia seni rupa bukan hanya transaksi.

Awal mulanya ialah penciptaan, kemudian pameran, lalu berapresiasi. Di saat krisis ini, Oei Hong Djien menganjurkan kepada para seniman untuk terus berkarya dan meningkatkan kualitas, para pengelola galeri membenahi infrastkturnya, sehingga proses penciptaan dan apresiasi terus berlanjut.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung