TEKS DAN FOTO DODDI AHMAD FAUJI
Pada era konvergensi berbagai bidang ke dalam situs internet, seniman rupa di daerah-daerah bisa lebih maju dari seniman rupa di Jawa dan Bali, dengan catatan harus memiliki keinginan yang kuat dan rajin belajar dari internet.
Jawa adalah kunci. Ungkapan itu disampaikan tokoh Aidit dalam film lawas G30/S/PKI garapan Arifin C. Noer (alm). Pada era sentralisasi kekuasaan, siapa yang mau menguasai Indonesia, terlebih dulu harus menguasai Jawa (maksudnya Jakarta). Siapa yang ingin populer, harus berkiprah melalui Jawa (Jakarta). Bahkan, siapa yang ingin pintar harus sekolah di Jawa (untuk yang ini, tidak mesti sekolah di Jakarta, tapi bisa di Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan kota lain).
Jawa menjadi kunci dan bisa lebih unggul dari daerah, terjadi karena masyarakat di Jawa lebih cepat menerima informasi terbaru tentang perkembangan peradaban di dunia (terutama Eropa dan Amerika). Bisa dikatakan, informasi-informasi teranyar masuk ke Indonesia harus melalui Jawa, baru didistribusikan ke daerah-daerah. Hal ini membuat masyarakat di daerah selalu tertinggal selangkah oleh masyarakat Jawa. Hal ini, berlaku juga dalam dunia seni rupa. Khusus untuk seniman Bali, mereka dapat berkembang sama pesatnya dengan seniman di Jawa karena banyak seniman dari luar, berdatangan dan membawa informasi ke Bali.
Memasuki era desentralisasi atau otonomi daerah, Jawa bukan lagi pintu gerbang untuk menggapai kemajuan. Apalagi di era globalisasi dan transparansi informasi yang sudah memasuki era web3.0 atau generasi konvergensi serpihan ilmu pengetahuan, langkah untuk meraih kemajuan dan menguasai ilmu pengetahuan teranyar, bisa didapatkan di manapun. Internet dengan situs pencari data dan kamus wikipedia, telah menyediakan informasi dan pengetahuan yang cukup memadai.
Di era kemudahan dan kebebasan meraih informasi, seniman dari berbagai daearah bisa belajar selaus-luasnya tanpa harus melalui Jawa. Tinggal membuka internet, Anda bisa melihat kemajuan seni rupa dunia dan belajar dari mereka. Kelak Anda bisa sejajar dan bahkan melampaui apa yang dicapai seniman di Jawa. Karena itu, tak perlu lagi menoleh ke Jawa.
Kesempatan berpameran di luar negeri, juga sudah bisa dilakukan tanpa melalui pulau Jawa. Hal ini dibuktikan misalnya oleh Mike Turusy (Makassar) yang bisa berpameran di Jepang tanpa melalui Jawa (Jakarta). Pada karya Mike Turusy terdapat nuansa lokalitas, yaitu menggubah lukisan dengan merepresentasikan serat-serat kayu dan unsur tumbuhan. Bagi orang Jepang, lukisan Mike ini akan terasa unik.
Saya teringat teman, Sujiwo Tejo namanya. Ia sedang keranjingan meniup saxophone. Ketika kami lawatan ke Yunani, ia meniup saxophone di pinggir jalan. Orang Yunani yang melihat, cuek-cuek saja dan menganggapnya seniman kelas pengamen, sebab di Yunani banyak ahli tiup saxophone. Namun ketika Tejo memainkan wayang kulit, orang-orang Yunani terpesona. Wayang kulit, itu baru estetika asli Indonesia. Unik, itulah salah satu daya tarik estetika dari waktu ke waktu.
Ketika Galeri Nasional Indonesia menyelenggarakan pameran keliling koleksi milik GNI ke daerah-daerah, ada yang patut dipertanyakan dan direnungkan ulang oleh berbagai pihak, termasuk oleh pengelola GNI dan seniman daerah yang dikunjungi GNI.
Pameran keliling koleksi GNI pertama kali dilakukan pada 2006 di Kota Medan, tahun berikutnya di kota Manado, dan tahun ini di Kota Balikpapan pada 10 – 15 November 2008. Bertempat di gedung serbaguna Bayangkari, pameran keliling menampilkan pameran bersama koleksi GNI dengan karya seniman lukis se-kalimantan Timur.
Di sela-sela pameran, digelar dialog interlokus dengan narasumber utama Agus Burhan. Juga diselenggarakan workshop melukis untuk anak-anak dan seniman dewasa. Acara ini meriah dan menggembirakan. Yang menyedihkan adalah, Walikota Balikpapan Imdaad Hamid mengklaim bahwa Balikpapan adalah Ibukota se-Kalimantan. Mengklaim boleh-boleh saja, tapi kok Balikpapan tidak memiliki gedung kesenian yang representatif. Walikota berjanji, tahun 2010 Balikpapan akan memiliki gedung kesenian. Kita tunggu saja janjinya.
Tujuan pameran keliling ini tentu saja mulia, sekalipun pada kenyataannya terdapat apa yang disebut dengan guru-menggurui. Ivan Sagita dan Yuswantoro Adi (keduanya dari Yogyakarta) dihadirkan sebagai mentor workshop melukis. Mentor di dalam workshop, adalah guru yang dianggap lebih tahu atau lebih mumpuni dari perserta workshop. Tentu tidak salah belajar dari Ivan dan Yuswantoro, bahkan dari anak kecil sekalipun, sebab seperti dianjurkan hadist dho’if (palsu), belajarlah walau sampai ke negeri China. Namun sekali lagi, jika seniman dari daerah-daerah belajar ke seniman di Jawa, mereka akan selalu tertinggal selangkah oleh gurunya.
Menafsir cerita saxophone dan lukisan Mike Turusy, di era globalisasi ini, yang bakal menjadi kekuatan sebuah bangsa, sebuah daerah, ialah local genius-nya, ke-khasan-nya, keunikannya. Siapa yang paling unik dan alamiah sesuai dengan fitrah daerahnya, geografinya, sifat dasar etnisitasnya, mereka itulah yang akan dilirik dunia.
Banyak yang mengklaim bahwa pusat seni rupa Indonesia ialah Yogyakarta. Tapi secara keseluruhan karya seni rupa, dari tradisi hingga kontemporer, menurut saya, pusatnya itu ada di Bali. Orang asing lebih jujur dalam menilainya. Karena itu, berbondong-bondong wisatawan manca negara, melihat peradaban Indonesia melalui Bali.
Seniman Bali adalah contoh dari warga dunia yang bisa tampil dengan merepresentasikan ke-Bali-annya, yaitu taksu. Bila digambarkan dalam warna, taksu Bali itu memancarkan warna-warna magis macam biru-sendu berpadu dengan merah darah, putih menuju krem, cokelat tanah, atau hitam malam.
Taksu Bali ialah laku meditatif. Seniman Bali, baik pematung, pelukis, penari, pemusik dari yang tradisional atau yang kontemporer seperti Wayan Sadra atau Nyoman Balawan, selalu tampil dengan meditatif. Meditasi Bali, toh bukan hanya memukau warga dunia, tapi juga masyarakat Indonesia dari daerah lain.
Maka inilah pertanyaan akan renungan yang tadi saya sodorkan, bagaimana caranya seniman dari berbagai daerah di negeri ini bisa tampil dengan semangat tradisi daerahnya, termasuk di dalam lukisan dan laku keseharian, dan bukan hanya bisa tampil secara tradisi melalui pakaian adat atau tarian di saat-saat melakukan seremoni.
Ini bukan sesuatu yang baru, tapi cukup memukau saya ketika Achmad Sopandi yang sedang residensi di Galeri Petronas Malaysia, menerangkan bahwa bahan untuk melukis yang ia gunakan diambil dari zat bebatuan, arang, getah, dan bahan alamiah lainnya. Ia tidak tergiur menggunakan akrilik atau cat minyak impor. Menurut Achmad Sopandi, bahan yang ia gunakan adalah yang dulu digunakan oleh para pelukis mural di dinding-dinding goa sejak berabad-abad lalu, tapi jejaknya masih awet hingga kini. Lukisan Sopandi, dikoleksi oleh beberapa museum dan kolektor di luar negeri.
Mungkinkah para perupa bangsa ini yang mendiami daerah dengan unsur alam yang begitu kaya, dapat menjadikan alamnya sebagai sumber inspirasi dan sumber materi untuk berksenian?
Renungan lain dari pameran keliling koleksi GNI adalah tentang karya-karya yang diboyong ke Balikpapan, sayangnya bukanlah karya terbaik. Saya kira, memang karena keterbatasan anggaran, pemboyongan karya ini menjadi problematis. Saya pun ingin mempertanyakan, adakah anggaran dana yang disediakan pemerintah untuk mengoleksi karya seni rupa terkini yang paling kontemporer, yang dicipta oleh seniman Indonesia paling kontemporer, hingga koleksi GNI itu dapat mengikuti up to date?
Juga yang perlu dipertimbangkan oleh GNI adalah guidance (tukang menjelaskan) karya-karya koleksinya. Karya seni, bila tidak dijelaskan oleh seorang guide yang piawai, akan setengah bisu dan kehilangan pukauan estetiknya. Apa yang diboyong ke Balikpapan, jadi tidak bicara lebih banyak sebab memang tidak ada juru bicaranya.
Ketika anak-anak SMA di Balikpapan ditugasi gurunya untuk menuliskan apa yang terjadi pada pameran itu, mereka hanya menuliskan nama dan judul lukisannya, alirannya apa. Ketika saya Tanya salah satu siswa tentang tema dan pesan dalam lukisan itu, ia geleng-geleng kepala. Ia pun tidak bertanya balik ke saya, sebab mungkin sang guru tidak menugaskannya untuk menguak cerita di balik lukisan.
Saya teringat bagaimana anak-anak sekolah di Kota St Petersburg, begitu terpesona ketika seorang guide di The Hermitage Museum menjelaskan lukisan karya Rembrandt dengan rinci dan detail, secara intrinsik dan ekstrinsik, teks dan konteksnya, hermeunetika dan semiotikanya, juga nilai pragmatisnya. Penjelasan guide itu, nampak begitu dramatis, membuat lukisan yang dijelaskannya jadi terasa lebih merasuk, lebih bermakna.
Renungan lain, saya melihat karya lukis seniman Kalimantan Timur, secara teknis tidaklah tertinggal dari pelukis lain yang ada di Jawa. Yang selalu kurang dari seniman di daerah, termasuk di Kalimantan Timur, adalah menciptakan ruang bergaul untuk pergumulan estetik dan perbenturan pikiran. Galeri, ruang pertunjukan, ruang seminar, polemic, harus dihidupkan dan terus bertumbuh. Sebab dengan perbenturan ide atau gagasan itulah peradaban terus berkembang.
Pada era konvergensi berbagai bidang ke dalam situs internet, seniman rupa di daerah-daerah bisa lebih maju dari seniman rupa di Jawa dan Bali, dengan catatan harus memiliki keinginan yang kuat dan rajin belajar dari internet.
Jawa adalah kunci. Ungkapan itu disampaikan tokoh Aidit dalam film lawas G30/S/PKI garapan Arifin C. Noer (alm). Pada era sentralisasi kekuasaan, siapa yang mau menguasai Indonesia, terlebih dulu harus menguasai Jawa (maksudnya Jakarta). Siapa yang ingin populer, harus berkiprah melalui Jawa (Jakarta). Bahkan, siapa yang ingin pintar harus sekolah di Jawa (untuk yang ini, tidak mesti sekolah di Jakarta, tapi bisa di Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan kota lain).
Jawa menjadi kunci dan bisa lebih unggul dari daerah, terjadi karena masyarakat di Jawa lebih cepat menerima informasi terbaru tentang perkembangan peradaban di dunia (terutama Eropa dan Amerika). Bisa dikatakan, informasi-informasi teranyar masuk ke Indonesia harus melalui Jawa, baru didistribusikan ke daerah-daerah. Hal ini membuat masyarakat di daerah selalu tertinggal selangkah oleh masyarakat Jawa. Hal ini, berlaku juga dalam dunia seni rupa. Khusus untuk seniman Bali, mereka dapat berkembang sama pesatnya dengan seniman di Jawa karena banyak seniman dari luar, berdatangan dan membawa informasi ke Bali.
Memasuki era desentralisasi atau otonomi daerah, Jawa bukan lagi pintu gerbang untuk menggapai kemajuan. Apalagi di era globalisasi dan transparansi informasi yang sudah memasuki era web3.0 atau generasi konvergensi serpihan ilmu pengetahuan, langkah untuk meraih kemajuan dan menguasai ilmu pengetahuan teranyar, bisa didapatkan di manapun. Internet dengan situs pencari data dan kamus wikipedia, telah menyediakan informasi dan pengetahuan yang cukup memadai.
Di era kemudahan dan kebebasan meraih informasi, seniman dari berbagai daearah bisa belajar selaus-luasnya tanpa harus melalui Jawa. Tinggal membuka internet, Anda bisa melihat kemajuan seni rupa dunia dan belajar dari mereka. Kelak Anda bisa sejajar dan bahkan melampaui apa yang dicapai seniman di Jawa. Karena itu, tak perlu lagi menoleh ke Jawa.
Kesempatan berpameran di luar negeri, juga sudah bisa dilakukan tanpa melalui pulau Jawa. Hal ini dibuktikan misalnya oleh Mike Turusy (Makassar) yang bisa berpameran di Jepang tanpa melalui Jawa (Jakarta). Pada karya Mike Turusy terdapat nuansa lokalitas, yaitu menggubah lukisan dengan merepresentasikan serat-serat kayu dan unsur tumbuhan. Bagi orang Jepang, lukisan Mike ini akan terasa unik.
Saya teringat teman, Sujiwo Tejo namanya. Ia sedang keranjingan meniup saxophone. Ketika kami lawatan ke Yunani, ia meniup saxophone di pinggir jalan. Orang Yunani yang melihat, cuek-cuek saja dan menganggapnya seniman kelas pengamen, sebab di Yunani banyak ahli tiup saxophone. Namun ketika Tejo memainkan wayang kulit, orang-orang Yunani terpesona. Wayang kulit, itu baru estetika asli Indonesia. Unik, itulah salah satu daya tarik estetika dari waktu ke waktu.
Ketika Galeri Nasional Indonesia menyelenggarakan pameran keliling koleksi milik GNI ke daerah-daerah, ada yang patut dipertanyakan dan direnungkan ulang oleh berbagai pihak, termasuk oleh pengelola GNI dan seniman daerah yang dikunjungi GNI.
Pameran keliling koleksi GNI pertama kali dilakukan pada 2006 di Kota Medan, tahun berikutnya di kota Manado, dan tahun ini di Kota Balikpapan pada 10 – 15 November 2008. Bertempat di gedung serbaguna Bayangkari, pameran keliling menampilkan pameran bersama koleksi GNI dengan karya seniman lukis se-kalimantan Timur.
Di sela-sela pameran, digelar dialog interlokus dengan narasumber utama Agus Burhan. Juga diselenggarakan workshop melukis untuk anak-anak dan seniman dewasa. Acara ini meriah dan menggembirakan. Yang menyedihkan adalah, Walikota Balikpapan Imdaad Hamid mengklaim bahwa Balikpapan adalah Ibukota se-Kalimantan. Mengklaim boleh-boleh saja, tapi kok Balikpapan tidak memiliki gedung kesenian yang representatif. Walikota berjanji, tahun 2010 Balikpapan akan memiliki gedung kesenian. Kita tunggu saja janjinya.
Tujuan pameran keliling ini tentu saja mulia, sekalipun pada kenyataannya terdapat apa yang disebut dengan guru-menggurui. Ivan Sagita dan Yuswantoro Adi (keduanya dari Yogyakarta) dihadirkan sebagai mentor workshop melukis. Mentor di dalam workshop, adalah guru yang dianggap lebih tahu atau lebih mumpuni dari perserta workshop. Tentu tidak salah belajar dari Ivan dan Yuswantoro, bahkan dari anak kecil sekalipun, sebab seperti dianjurkan hadist dho’if (palsu), belajarlah walau sampai ke negeri China. Namun sekali lagi, jika seniman dari daerah-daerah belajar ke seniman di Jawa, mereka akan selalu tertinggal selangkah oleh gurunya.
Menafsir cerita saxophone dan lukisan Mike Turusy, di era globalisasi ini, yang bakal menjadi kekuatan sebuah bangsa, sebuah daerah, ialah local genius-nya, ke-khasan-nya, keunikannya. Siapa yang paling unik dan alamiah sesuai dengan fitrah daerahnya, geografinya, sifat dasar etnisitasnya, mereka itulah yang akan dilirik dunia.
Banyak yang mengklaim bahwa pusat seni rupa Indonesia ialah Yogyakarta. Tapi secara keseluruhan karya seni rupa, dari tradisi hingga kontemporer, menurut saya, pusatnya itu ada di Bali. Orang asing lebih jujur dalam menilainya. Karena itu, berbondong-bondong wisatawan manca negara, melihat peradaban Indonesia melalui Bali.
Seniman Bali adalah contoh dari warga dunia yang bisa tampil dengan merepresentasikan ke-Bali-annya, yaitu taksu. Bila digambarkan dalam warna, taksu Bali itu memancarkan warna-warna magis macam biru-sendu berpadu dengan merah darah, putih menuju krem, cokelat tanah, atau hitam malam.
Taksu Bali ialah laku meditatif. Seniman Bali, baik pematung, pelukis, penari, pemusik dari yang tradisional atau yang kontemporer seperti Wayan Sadra atau Nyoman Balawan, selalu tampil dengan meditatif. Meditasi Bali, toh bukan hanya memukau warga dunia, tapi juga masyarakat Indonesia dari daerah lain.
Maka inilah pertanyaan akan renungan yang tadi saya sodorkan, bagaimana caranya seniman dari berbagai daerah di negeri ini bisa tampil dengan semangat tradisi daerahnya, termasuk di dalam lukisan dan laku keseharian, dan bukan hanya bisa tampil secara tradisi melalui pakaian adat atau tarian di saat-saat melakukan seremoni.
Ini bukan sesuatu yang baru, tapi cukup memukau saya ketika Achmad Sopandi yang sedang residensi di Galeri Petronas Malaysia, menerangkan bahwa bahan untuk melukis yang ia gunakan diambil dari zat bebatuan, arang, getah, dan bahan alamiah lainnya. Ia tidak tergiur menggunakan akrilik atau cat minyak impor. Menurut Achmad Sopandi, bahan yang ia gunakan adalah yang dulu digunakan oleh para pelukis mural di dinding-dinding goa sejak berabad-abad lalu, tapi jejaknya masih awet hingga kini. Lukisan Sopandi, dikoleksi oleh beberapa museum dan kolektor di luar negeri.
Mungkinkah para perupa bangsa ini yang mendiami daerah dengan unsur alam yang begitu kaya, dapat menjadikan alamnya sebagai sumber inspirasi dan sumber materi untuk berksenian?
Renungan lain dari pameran keliling koleksi GNI adalah tentang karya-karya yang diboyong ke Balikpapan, sayangnya bukanlah karya terbaik. Saya kira, memang karena keterbatasan anggaran, pemboyongan karya ini menjadi problematis. Saya pun ingin mempertanyakan, adakah anggaran dana yang disediakan pemerintah untuk mengoleksi karya seni rupa terkini yang paling kontemporer, yang dicipta oleh seniman Indonesia paling kontemporer, hingga koleksi GNI itu dapat mengikuti up to date?
Juga yang perlu dipertimbangkan oleh GNI adalah guidance (tukang menjelaskan) karya-karya koleksinya. Karya seni, bila tidak dijelaskan oleh seorang guide yang piawai, akan setengah bisu dan kehilangan pukauan estetiknya. Apa yang diboyong ke Balikpapan, jadi tidak bicara lebih banyak sebab memang tidak ada juru bicaranya.
Ketika anak-anak SMA di Balikpapan ditugasi gurunya untuk menuliskan apa yang terjadi pada pameran itu, mereka hanya menuliskan nama dan judul lukisannya, alirannya apa. Ketika saya Tanya salah satu siswa tentang tema dan pesan dalam lukisan itu, ia geleng-geleng kepala. Ia pun tidak bertanya balik ke saya, sebab mungkin sang guru tidak menugaskannya untuk menguak cerita di balik lukisan.
Saya teringat bagaimana anak-anak sekolah di Kota St Petersburg, begitu terpesona ketika seorang guide di The Hermitage Museum menjelaskan lukisan karya Rembrandt dengan rinci dan detail, secara intrinsik dan ekstrinsik, teks dan konteksnya, hermeunetika dan semiotikanya, juga nilai pragmatisnya. Penjelasan guide itu, nampak begitu dramatis, membuat lukisan yang dijelaskannya jadi terasa lebih merasuk, lebih bermakna.
Renungan lain, saya melihat karya lukis seniman Kalimantan Timur, secara teknis tidaklah tertinggal dari pelukis lain yang ada di Jawa. Yang selalu kurang dari seniman di daerah, termasuk di Kalimantan Timur, adalah menciptakan ruang bergaul untuk pergumulan estetik dan perbenturan pikiran. Galeri, ruang pertunjukan, ruang seminar, polemic, harus dihidupkan dan terus bertumbuh. Sebab dengan perbenturan ide atau gagasan itulah peradaban terus berkembang.
sekarang gedung kesenian itu sudah berdiri, hanya saja bukan semata gedung keseniana, melainkan bersifat seperti gedung serba guna
ReplyDelete