Sketsa karya ivan sagito |
Perupa Ivan Sagita lebih tertarik menempuh jalan permenungan yang sunyi namun mengasyikan, tinimbang terlibat dalam gemuruh perniagaan seni rupa saat ini.
Ketika kami (saya dan Doddi Ahmad Fauji) berkunjung ke rumah Ivan Sagita pada Kamis siang (4 Desember 2008), pintu gerbang rumahnya masih tertutup, tapi tidak dikunci. Dari dalam terdengar tak-tok-tak-tok, seperti bunyi benda keras beradu dengan lainnya. Tapi tak ada orang di pekarangan rumah. Sunyi. Misterius.
Ketika dikontak melalui handphone, ternyata Ivan sedang menjemput anak bungsunya dari sekolah. Ia tidak di rumah, dan kami menunggu di depan pekarangan rumah yang suwung.
Beberapa menit kemudian, Ivan datang dengan mobil.
”Hai... sudah lama? Ayo masuk... Jangan di luar begitulah...,” sapanya dengan wajah berseri.
Mimiknya cerah. Senyum simpul memang tidak pernah lepas dari bibir seniman kelahiran Malang, 13 Desember 1957, ini.
Kami pun memasuki pekarangan rumahnya, lalu masuk ke rumahnya. Sunyi. Tak terlihat ada orang, kecuali anak bungsunya yang tadi dijemput. Pun, tak terdengar ada kegaduhan, kecuali kecipak kecipuk yang lalu diikuti gonggongan anjing. Ini rumah yang sunyi, jauh dari gemuruh, berjeak dari riuh-rendah.
Kami duduk di sofa, dan Ivan tiba-tiba langsung bercerita tentang karya-karyanya yang tergantung di dinding.
”Kalau kita analogkan dengan pohon, maka akar besar suatu karya adalah tentang hal-hal yang tak terpahamkan. Hal ini bisa berkaitan dengan hal-hal absurd, tentang waktu, kefanaan, kematian, tapi bukan tentang kelahiran. Itu yang dominan memacu saya untuk berkarya.”
Nah loh. Ternyata bukan hanya rumahnya yang sunyi, tapi karya-karyanya juga menyiratkan sesuatu tentang dunia solitude.
Objek yang kerap dilukis Ivan, juga koherens dengan symbol-simbol kesunyian semial daun pisang yang sudah mengering, gendongan, rambut, pulung gantung (menggantung diri)
Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1979 – 1985) ini pun bicara tentang filosofi daun pisang. ”Dari hijau menjadi kuning, dari ada menjadi tiada. Dalam bahasa Budi Darma, daun pisang itu berkelebat-kelebat seperti tubuh kita,” papar ayah tiga anak ini.
Periode berikutnya, Ivan – yang pernah pameran di Australia, Jepang, USA, Thailand, Singapura, Afrika Selatan, dan beberapa kota di Indonesia ini – mengusung tema gendongan dalam karya seni rupanya. Gendongan dimaknai sebagai sesuatu yang selalu melekat pada diri manusia.
”Tidak sekadar gendongan sebagai gendongan yang merupakan bagian terpisah dari manusia. Tetapi gendongan adalah suatu hal yang melekat, sesuatu yang harus dipikul oleh setiap insan manusia,” jelas pelukis yang pada 2003 pernah mengikuti program Fellowship Artists dalam Resident-Vermont Studio Center, Amerika Serikat.
Ivan juga pernah terkesima dengan peran rambut dalam seluruh sendi kehidupan manusia, baik filosofi maupun peran riil dalam kehidupan sehar-hari. Selain menjadi mahkota bagi manusia, rambut juga memberi pelajaran tak ternilai bagi manusia. Rambut, kata Ivan, memiliki daya juang dan daya hidup tersendiri.
Judul-judul seperti ”Dia Ingin Tambahkan Tubuh di Tubuhnya”, ”Hidup Bermuatan Mati”, ”Long Sleep”, ”Air Alir”, ”Soul”, ”Moving to Another Dimension”, ”Imagi Pada Tiang Jemuran”, dan ”Kefanaan Abadi” adalah contoh karya Ivan ketika ia khusyuk memasuki tema rambut.
Periode rambut kini sudah nyaris selesai. Ia mulai periodisasi tema baru dalam karya seninya, yaitu pulung gantung. Pulung gantung adalah kepercayaan yang sampai kini masih dianut sebagian masyarakat Gunungkidul tentang ”tradisi” bunuh diri dengan cara menggantung. Figur perempuan desa tampak menonjol dalam karya-karyanya.
”Tetapi periodisasi tema pada karya saya tidak dibatasi secara kaku oleh waktu. Tidak serta-merta ketika periode tersebut selesai, kemudian beralih ke yang lain. Pada periode rambut misalnya, saya masih melukis dengan tema gendongan,” tuturnya.
Suatu karya, menurut pecandu rokok putih ini, tidak harus selalu rasional, tapi lebih banyak mendasarkan pada intuisi. Sesuatu yang tiba-tiba dating, bahkan tanpa diundang.
Ia mengakui, pemaknaan terhadap sesuatu yang membuat tertarik untuk melukis lebih banyak bersifat personal. Sangat terkait dengan pengalaman pribadi. Hal-hal personal tersebut, ia visualisasikan dalam karya seni dengan simbol-simbol bersifat umum, hingga tidak mengherankan terjadi pergeseran persepsi ketika dilihat orang lain.
Meski sudah berkali-kali mengikuti pameran – baik tunggal maupun bersama –Ivan sebenarnya termasuk seniman yang selektif berpameran. Tidak seluruh undangan pameran ia penuhi. Alasan utamanya adalah soal waktu dan tema. Karya seni tidak mungkin dicipta dalam waktu tiba-tiba, dan tidak seluruh tema ia pahami. Tapi pada Januari 2009 ini, ia mengikuti pameran bersama di Syang Art Space, Magelang.
Mungkin karena konsep berkarya seperti itu, maka Suwarno Wisetrotomo menyebut
Ivan Sagita sebagai pelukis yang memiliki kecenderungan sebagai perenung. ”Ivan sering terkesima dengan daya hidup (survivalitas) sekelompok masyarakat yang tampak melampaui situasi batas,” katanya.
Sedangkan menurut Jim Supangkat, realitas pada karya-karya Ivan berpangkal pada berbagai pengalaman spesifik dan personal. Realitas yang ditampilkan adalah realitas di tanah air, atau bahkan lebih khusus lingkungan masyarakat Jawa di Yogyakarta. Namun kesimpulan tentang realitas yang ditawarkannya, bisa dikaitkan dengan pemikiran tentang manusia secara universal.
Sangat intensnya Ivan Sagita dengan sumber-sumber kultural Jawa, juga diakui M. Agus Burhan. Karya-karyanya tentang rambut yang dipamerkan di CP Art Space Jakarta (2005), menurut dosen ISI Yogyakarta ini, merupakan dunia simbolik yang menggali faset-faset kefanaan hidup dalam bentuk pengucapan idiom visual Jawa.
Mencermati tema yang digeluti Ivan, bisa ditarik kongklusi, proses kreatif Ivan adalah dunia suwung yang ditempuh secara solitaire. Situasi ini lebih dekat dengan sunyi, atau jauh dari gemuruh. Booming lukisan adalah dunia yang bergemuruh.
Lalu bagaimana tanggapan Ivan terhadap booming lukisan? ”Semua menjadi cepat, dan semua menjadi seragam, hingga sedikit sekali kita menjumpai permenungan, spiritual, dan masalah pribadi. Secara umum begitu, meski tidak semuanya begitu. Sepertinya ada pola di luar kepentingan tentang seni itu sendiri,” komentar Ivan.
Tentang sikap yang seharusnya dimiliki seniman, menurut Ivan, ”Seniman harusnya memberikan alternatif jawaban terhadap kemanusiaan secara luas. Bukan mengacu pada ukuran-ukuran di luar kemanusiaan itu sendiri.”
Pergulatan Ivan dengan sunyi untuk mencari alternatif jawaban terhadap persoalan kemuasiaan, mungkin saja mengingatkan Anda pada pernyataan sejarawan Arnold Joseph Toynbee, yang menuturkan bahwa perbaikan peradaban seringkali dilakukan oleh para cendekia yang mengasingkan diri dari gemuruh supaya ia bisa khusyuk menangkap ilham.
Sunyi rumah dan studio lukis Ivan, laksana goa sang pertapa.
No comments:
Post a Comment