neneng s ferrier |
Pertanyaan lahir dalam diri saya, mengapa Indonesia yang merupakan negeri ke-6 terkaya sumber alamnya di dunia, belum sanggup juga menyelenggarakan event biennale seperti yang diselenggarakan Bangladesh.
Bertempat di Osmani Memorial Hall, biennale dibuka pada pukul 16.00 oleh The Chief Adviser Dr Fakhruddin Ahmed the Head of the Caretaker (interim) Government of the People’s Republic of Bangladesh.
Pada pertemuan antara delegasi dengan panitia dari Shilpakala Academy, saya mendengar panitia menyampaikan pengakuan, bahwa Banglades memang miskin sumber alam, miskin infrastruktur, namun memiliki kekayaan seni tradisi.
Di era ekonomi kreatif, kakayaan seni tradisi adalah modal untuk mencetak devisa.
Saya yang hadir di kota Dhaka untuk memenuhi undangan sebagai peserta 13thAsian Art Biennale Bangladesh 2008, ikut menyaksikan betapa Banglades memang lebih miskin dari negara kita. Namun saya merasakan, saya sedang hadir di tengah-tengah kekayaan seni-budaya.
Juga saya merasa lebih kaya, karena tiga karya lukis dan satu patung saya ikut terseleksi oleh committee Biennale Bangladesh. Ketiga lukisan saya masing-masing berjudul I Am Back, I am Here, I am Waiting, sedangkan karya patung berjuluk Family Love.
Asian Art Biennale Bangladesh pertama kali diselenggarakan pada 1981 oleh Bangladesh Shilpakala Academy. Kali ini, pameran dua tahunan itu dikuti oleh 27 negara, yaitu Chili, China, Mesir, Fiji, Georgia, India, Indonesia, Iran, Italia, Jepang, Kuwait, Malaysia, Maldives, Mauritius, Nepal, Oman, Pakistan, Filipina, Qatar, Korea, Romania, Saudi Arabia, Singapura, Srilangka, Brunei, Turki, dan UAE.
lukisan karya neneng s. ferrier |
Ada 111 seniman asing yang terseleksi panitia dengan 244 karya (lukisan, patung, serta instalasi). Sedangkan seniman Banglades yang terseleksi sebanyak 194 dengan 229 karya (lukisan, patung, serta instalasi).
Karya sebanyak itu, dipamerkan di tiga tempat, yaitu di National Art Gallery of Bangladesh Shilpakala Academy, Bangladesh National Museum, dan Osmani Memorial Hall. Seluruh karya seni lukis, patung, serta instalasi dari seniman Indonesia, dipajang di Bangladesh National Museum.
Selain saya, ada delapan seniman asal Indonesia yang ikut terseleksi, mereka adalah: 1). Agus Cahaya [lukisan], 2). Cecilia Patrice [patung], 3). Innes Indreswari Soekanto [patung], 4). Kian Santang [patung], 5). Lidyawati [patung], 6). Maulana Mohamad Pasha [instalasi new media], 7). Monika Ary Kartika Soetjipto [lukisan], dan 8). Polenk Rediasa [lukisan].
Sayangnya, tidak semua seniman Indonesia bisa ikut menghadiri pembukaan biennale itu. Hanya saya, Maulana Muhamad Pasha (Adel Pasha), dan Monika Ary Kartika Soetjipto yang dapat hadir. Selama seminggu, panitia memberikan akomodasi bagi para peserta yang hadir.
Di sela-sela pameran, panitia tentu menyelenggarakan seminar dan entertainment. Pada hari kedua dan ketiga, seminar digelar dengan tema Experiments in New Media in Recent Years, bertempat di gedung Music and Dance Centre Auditorium of Shilpakala Academy.
Seminar ini tentu melelahkan, tapi sayang kalau dilewatkan begitu saja. Rasa lelah saya terobati oleh sajian tari-tarian tradisi setempat, serta kunjungan ke Bangladesh Folk art and Craft Foundation di Sonargaon, yang terletak di luar kota Dhaka.
Ternyata Biennale Banladesh ini bukan hanya menggelar pameran, tapi juga diikuti kompetisi yang dimenangkan oleh seniman dari Mesir, Oman, dan Banglades. Untuk katagori karya terbaik dimenangkan oleh delapan seniman yang masing masing berasal dari Qatar, Pakistan, Korea, Srilanka, India, serta tiga dari Bangladesh.
Betapa menyedihkan, seluruh kontingen asal Indonesia tidak bisa mengikuti kompetisi karena menurut panitia, karya seniman Indonesia terlambat tiba di Banglades. Keterlambatan ini terjadi karena pemberitahuan dari panitia kepada seniman Indonesia yang terseleksi, terlalu dekat jaraknya dengan hari opening ceremony, bahkan ada seniman yang baru diberi tahu seminggu sebelum pembukaan.
Pemberitahuan terseleksinya karya-karya seniman asal Indonesia disampaikan setelah penutupan tanggal kompetisi tersebut. Hal itu terlihat dari tanggal yang telah ditentukan oleh Bangladesh Shilpakala Academy (di kolom 7 pada pengumuman pendaftaran peserta).
Pengiriman karya via DHL meminta waktu sekitar 4 – 5 hari. Kenyataannya, 7 hari baru tiba di Banglades. Duh, sebahagian karya seniman asal Indonesia baru tiba di Bangladesh setelah pembukaan biennale.
Untunglah saya dan Monika pergi ke Bangladesh dengan menenteng karya. Tanggal 20 Oktober sekira pukul 23.00 waktu setempat, kami tiba. Beberapa jam sebelum pembukaan, karya-karya kami pun baru didisplay.
Maulana Adel Pasha sudah tiba sejak tanggal 18 Oktober, karena ia harus meng-instal karyanya, tetapi Adel Pasha pun menghadapi kesulitan akibat keterbatasan peralatan untuk menyelesaikan karya instalasinya. Walaupun karya instalasi Adel tidak seperti yang direncanakan sebelumnya, namun saya lihat hasil ahirnya tetap membuat penonton terkagum-kagum.
Saya amati, karya-karya yang dipamerkan lebih didominanasi oleh seni lukis corak abstrak. Barangkali hal itu terjadi karena banyaknya seniman asal negeri Arab, di mana mayoritas orang Arab yang beragama Islam meyakini tidak boleh menggambar figur, terutama figur manusia, apalagi figur Nabi. Tapi di beberapa dinding, saya melihat juga beberapa karya realis kontemporer.
Ada perasaan kecewa dengan kekurangan–kekurangan pada penyelenggaraan biennale itu. Tapi pada setiap acara besar memang selalu ada kekurangannya.
Namun bagaimanapun saya harus menghargai dan memberi apresiasi, negara miskin seperti Bangladesh toh berhasil mempertahankan ajang seni rupa bergengsi untuk tetap dapat diselenggarakan. Pihak panitia pun telah berjanji untuk Biennale yang akan datang, penyelenggaraannya akan diusahakan lebih baik lagi.
Saya bertanya-tanya, mengapa di negara kita penyelenggaraan biennale bertarap international tidak bisa berlangsung lama, sedangkan ada biennale-biennale yang system seleksinya kurang fair, yaitu lebih melihat siapa senimannya dari pada melihat bagaimana karyanya. Biennale yang hanya melihat portofolio senimannya, menurut saya, hanya karya menjadi tidak berbicara.
Diceritakan Neneng Ferrier kepada Doddi Ahmad Fauji
No comments:
Post a Comment