Poster Ayat-ayat Cinta |
Teks: Doddi Ahmad Fauji
Foto: Poster AAC
Melodramatik. Itulah kesan yang saya tangkap ketika menonton film Ayat Ayat Cinta (AAC) besutan sutradara Hanung Bramantiyo. Bersiap-siaplah menangis bagi mereka yang sentimental. Patah arang yang dirasakan terutama oleh tokoh Maria Girgis (diperankan Carissa Putri), memang cukup menyentuh. Saya juga pernah patah arang. Jadi, saya bersimpati kepada tokoh Maria, sekalipun tokoh ini tidak pernah ada dalam kehidupan.
Saya menonton film AAC bersama para wartawan, dalam preview yang digelar pada 18 Februari lalu di Planet Hollywood, di pagi hari setelah Jakarta diguyur hujan. Teman saya, di tengah-tengah tayangan film, keluar gedung untuk ke toilet. “Saya mau menangis dulu,” katanya, setengah berteriak. Benar apa tidak ia ke toilet untuk menangis, toh ada beberapa wartawan yang tertawa mendengar celetukannya.
Film AAC diangkat dari novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, lulusan Universitas Al-Azhar, Cairo. Pembacanya sangat banyak untuk ukuran novel di Indonesia. Dalam tiga tahun, lebih dari 160 ribu eksemplar novelnya terjual. Sebelum dikemas dalam buku novel, melodarama lika-liku cinta itu pernah menjadi cerita bersambung di harian Republika. Pendek kata, banyak penggemar dari kisah ini.
Mengapa banyak penggemarnya? Saya tidak tahu jawaban pastinya. Hanya menduga, kisah ini menawarkan suatu impian yang indah. Konflik yang tajam dalam kisah ini, yaitu ketika Fahri bin Abdillah (diperankan oleh Fedi Nuril), anak petani dari Jawa yang sedang menyelesaikan S2 di Al-Azhar, harus mendekam dipenjara karena fitnah, akhirnya lolos dari segala tuduhan.
Fahri, tokoh hayali ini, perjalanan hidupnya begitu mulus dan lurus. Seolah tanpa cela atau ceda. Manusia, tak peduli agama apapun dia, mendambakan bisa meraih kehidupan yang mulus dan lurus. Di sela krisis multidimensional masih juga mendera bangas ini, kisah yang menawarkan impian platonik, cenderung laku bak kacang goreng. Novel Sayap Sayap Patah dan prosa lirik Sang Guru dari Khalil Gibran, divetak berulang-ulang justru setelah krisis moneter. Sebelumnya, karya Gibran tidak begitu laris manis. Bermimpi tentang sesuatu yang indah, ternyata sangat manusiawi. Mimpi kita juga, toh?
Sebuah novel yang difilmkan, selalu ada kekurangan dan kelebihan. Para pembaca novel AAC tentu bisa terkejut manakala melihat tayangan filmnya. Bisa saja ia berkomentar, “kurang sesuai dengan detail cerita aslinya!”
Saya ingin menanggalkan novelnya, dan melihat film AAC sebagai berdiri sendiri. Saya melihat, ada masalah dalam logika visual dan logika audio dalam film ini. Novel yang ditulis Habiburrahman tentu berbahasa Indonsia sekelipun berlatar di Mesir yang berbahasa Arab itu. Tapi bisa dimaklumi, toh kita bisa membaca Shakespeare atau Khalil Gibran hasil terjemahannya.
Namun ketika menjadi film, akal estetik saya menolak ketika para tokoh non-Indonesia berbicara dalam bahasa Indonesia. Persidangan Fahri yang dianggap memperkosa Noura bin Bahadur (Zaskia Adya Mecca), berlangsung dalam bahasa Indonesia, sementara papan nama hakim dan jaksa serta artibut lainnya ditulis dalam bahasa Arab. Logika visual dan logika audio di sana tidak selaras. Jomblang.
Kita menonton film Mandarin merasa lebih nyaman ketika ditayangkan dalam bahasa Hoakian misalnya, dan merasa terganggu ketika film itu bahasanya disulih. Film Hollywood tidak perlu di-dubbing sebab akan menghilangkan ekspresi dan penghayatan para pemainnya. Toh kita bisa membaca teks terjemahan dari dialog para aktornya untuk mengetahui jalan cerita yang sedang berlangsung.
Tapi film AAC terpaksa menggunakan bahasa Indonesia. Hanya ada sekupil dua kupil bahasa Arab atau Inggris. Tentu ada 1000 alasan mengapa tokoh-tokoh dalam film ini berbicara dengan bahasa Indonesia. Alasan paling logis, karena memang dimainkan oleh aktor-aktris Indonesia yang belum tentu bisa berbahasa Arab, apalagi dengan fasih. Kalau harus memakai aktor-aktris asli dari Mesir, wah berapa biayanya. Itulah masalahnya.
Logika visual yang lain sudah berusaha mendekati, misalnya memakai aktris-aktris yang kebetulan berwajah Indo sepeti Carisa Puteri, atau Riyanti Cartwright yang memerankan tokoh Aisha. Pakaian-pakaiannya, berusaha mendekati Mesir, juga tata artistik dan seting kejadian, dibuat se-Mesir mungkin.
Saya yakin problematikan bukan sekadar pada finansial ketika diputuskan para pemeran berbicara dalam bahasa Indonesia saja, termasuk saat persidangan Fahri di Mesir.
Yang menarik dan terasa alamiah dalam film ini adalah kemunculan kambing. Suara kambing mengembik di Mesir dan di Indonesia ternyata sama: Embeee! Sayang sekali pemeranan para aktor yang menjadi tulang punggung sebuah film, dalam AAC ini kurang alamiah.
Pada akhirnya, film ini lebih menjual cerita mimpinya, tinimbang memperhatikan aspek estetika realis sebuah film, dan apa daya, kemampuan para filmmaker kita mungkin baru sampai di sini. Kita baru bisa bermimpi. Jadi kita maafkan saja kalau ada kekurangan yang sangat mencolok.
Tulisan ini pernah dimuat di almarhum tabloid Koktail
No comments:
Post a Comment