dr. Oei Hong Djie (grader tembakau) |
Kami mengawali pembicaraan dengan menyoroti Kongres Kebudayaan yang diselenggarakan di Cisalak, Bogor, Jawa Barat, pada 10 – 11 Desember ini. Menurut Pak Oei, diskusi itu tidak efektif, karena dalam waktu yang relatif singkat, pembicaranya begitu banyak, dengan menyoroti banyak kasus.
“Kesannya jadi hanya mau menghabiskan budget aja kongres itu,” komentar Pak Oei.
Dulu, patron seni rupa itu adalah para pastor, uskup, paus, raja, bangsawan, ningrat, pengusaha. Dan zaman dulu itu, seseorang mengoleksi karya sampai ia mati. Setelah kolektornya mati, baru karya itu dipindahkantangankan atau dihibahkan ke museum. Sekarang, patron seni rupa adalah balai lelang, membuat perpindahan karya menjadi begitu cepat. Baru dibeli dari studio, karya itu langsung masuk balai lelang dan digoreng sampai gosong. Dan balai lelang makin marak disamping juga tambah inovatif dalam menghadirkan para calon bidder, yaitu dengan cara memberikan door prize berupa mobil.
Dulu, seseorang mengoleksi lukisan karena benar-benar suka terhadap karya itu. Tapi peradaban jadi makin materialistis, membuat kolektor pun jadi materialistis. Dulu, menjadi kolektor itu setelah matang mempelajari seni rupa. Sekarang, bermunculan instant collector.
Tapi mau tidak mau, para instant collector itulah yang ternyata sekarang meramaikan perniagaan seni rupa. Dengan ramainya perniagaan ini, memang banyak yang diuntungkan, mulai dari seniman, galeri, balai lelang, kolekdol, art dealer, art promoter. Tapi, banyak pula yang dirugikan dan menjadi korban dari permainan.
Dulu, saya pernah menjadi kolektor yang menjadi panutan teman-teman. Sekarang saya menjadi orang kuno dalam dunia seni rupa. Apa yang saya koleksi dulu, sungguh berbeda dengan yang dikoleksi oleh anak-anak muda yang lebih fresh, termasuk fresh uangnya, dan berbeda seleranya saya.
Dulu, yang menjadi penentu atau berkuasa dalam dunia seni rupa itu adalah perguruan tinggi (akademisi) dan seniman. Sekarang, penguasa seni rupa adalah pasar.
Perubahan ini melahirkan fenomena baru. Dulu, kalau sebuah karya laku dengan harga tinggi, yang menjadi pertanyaan adalah isi atau content dalam karya itu. Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah orisinalitas harga.
Dulu, kebanyakan karya yang dilelang adalah karya seniman yang sudah mati, hingga untuk penggorengan di lelang, penggorengnya tidak memiliki stock. Tapi sekarang, karya seniman calon (belum tentu jadi seniman) saja sudah bisa dilempar ke balai lelang untuk digoreng.
Meski demikian, di luar negeri, para kolektor, art dealer, memiliki preferensi sebuah karya. Di sini, kolektor membeli karya bukan dengan pengetahuan, melainkan dengan isu.
Balai lelang itu bergerak di pasar sekunder, tapi mereka harus memiliki tanggung jawab.
Banyak seniman yang enggak senang juga melihat kenyataan balai lelang sekarang ini. Balai lelang Christies saja sekarang ini mengecewakan. Bisa melelang karya si A dalam sekali lelang hingga tujuh karya. Sudah begitu, balai lelang nampaknya tidak menjaga reputasi seniman. Padahal, semua elemen itu harus saling menjaga dan tidak saling menjatuhkan.
“Mudahan-mudahan krisis global ini ada hikmahnya, membuat orang jadi kapok untuk menggoreng jor-joran. Sebab sekarang sudah banyak spekulan yang kebentur. Mengapa bisa kebentur? Sebab pada dasarnya karya seni itu sama dengan rokok, tidak bisa dikarbit. Kalau rokok tidak enak, sekalipun dipromosikan habis-habisan, tetap saja tidak menjual. Karya seni juga kalau jelek, tetap saja jelek sekalipun digoreng dan dikatrol.
“Menurut saya, tak ada barang jelek yang laris manis karena dipromosikan.”
Kolektor murni adalah mereka yang kecanduan. Jika banyak kolektor murni, maka seni rupa akan tumbuh subur. Tapi kemudian seni rupa akan rusak jika para spekulan masuk ke dalamnya.
Supaya seseorang dapat melihat karya seni yang bagus secara objektif, orang itu harus melihat karya seni sebanyak-banyaknya untuk melatih kepekaan penglihatannya.
Sebab peradaban bergerak dengan begitu cepat, setiap orang dituntut menjadi visioner kalau tidak mau ketinggalan langkah. Begitu juga dengan seniman.
Lorenzo bergerak ketika pasar seni rupa sedang lesu. Ia menghidupkannya kembali. Pertama ia menghidupkan Miami, kemudian China, dan sekarang ia sepertinya akan memasuki Asia Tenggara, sebab menurut dia, the features itu adalah Asia Tenggara. Dan kalau menyebut Asia Tenggara, itu artinya Indonesia.
Karya kontemporer Indonesia pada 2006, belum begitu bergeming. Pada saat itu, karya Handiwirman Saputra terjual hanya 20.000 dolar Hongkong. Lalu saya diminta presentasi karya seni rupa kontemporer Indonesia, dihadiri para ekspatriat dan tiga orang Indonesia. Mereka tidak tertarik.
Namun menjelang akhir 2006, karya seni rupa kontemporer Indonesia mulai merangkak di balai lelang. Karya Handiwirman mencapai 85.000 dolar Hongkong.
Pada lelang April 2007 di Christies, karya kontemporer Indonesia masih lesu di lelang hari pertama. Namun pada lot kedua, karya Putu Sutawijaya menggebrak dengan harga HK$95.000, dan ternyata karya Putu itu dibeli oleh orang Amerika. Sayang krisis global kemudian dating, membuat orang jadi cemas dan was-was. Namun ternyata seni rupa Indonesia di balai lelang Christies bisa laku mencapai 70%, sedangkan karya kontemporer China tidak laku 70%. Ini bisa menjadi indikasi baik, bahwa mungkin benar masa depan seni rupa dunia akan beralih ke Asia Tenggara.
No comments:
Post a Comment