syakieb sungkar [kolektor] |
Teks dan foto Doddi Ahmad Fauji
Apa yang ada dalam pikiran penikmati karya seni, dan bagaimana seseorang bisa menikmati karya seni, tentu ada banyak alasannya. Tentu pula alasan setiap orang bisa berbeda-beda. Inilah paparan Syakieb Sungkar, salah satu Direktur di PT Indosat yang dikenal sebagai kolektor karya senin rupa. Belakangan ini, ia juga sering didapuk untuk membuka pameran lukisan. Paparan ini disarikan dari hasil wawancara pada Minggu, 10 Januari 2010 di rumahnya, kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Pikiran seniman, terkadang mendahului jamannya. Saat ia menciptakan karya, orang belum terpikir ke arah sana, dan karena itu hanya sedikit yang bisa mengerti dan menikmatinya. Leonardo da Vinci misalnya, membuat rancangan helikopter, pada abad itu hanya dianggap mimpi.
Pelukis Nashar yang terkenal dengan konsep tiga Non - T (Non Teori, Non Teknik, Non Tema), termasuk seniman yang berpikir mendahului jamannya. Waktu itu, kebanyakan orang tidak bisa memahami dan menikmati karyanya. Tapi 30 – 40 tahun kemudian, makin banyak orang yang bisa menikmatinya, hingga dibuatkan bukunya. Harga lukisannya pun merangkak mahal.
Contoh lain adalah Agus Suwage. Setidaknya ada tiga tema besar saya lihat dalam karya-karya Agus Suwage. Pertama, tema kematian, hingga karyanya itu menggambarkan tengkorak. Kedua, tema kekerasan termasuk sadomasokisme. Ketiga, tema parodi yang menertawakan diri sendiri, sehingga ia gambarkan dirinya sebagai anjing, monyet, babi, dan lain-lain. Banyak hal menurut dia, unsur-unsur di masyarakat sudah banyak yang brengseknya, yang bisa dipersonifikasikan seperti anjing atau babi, dan dia tidak mau marah-marah.
Dari tiga tema tersebut, dua tema yang pertama, yang digarapnya sekira tahun 1990-an, tidak terlalu disukai orang pada waktu itu. Tema ketiga, mulai ia garap memasuki pertengahan tahun 2000. Tema ketiga memperlihatkan lukisan yang manis, lucu, dan orang menyukainya.
Pada tahun 2007, dengan munculnya booming, harga lukisan Agus meningkat, dan menyebabkan banyak orang tergila-gila pada brand. Apapun yang dikeluarkan Agus, orang-orang mengejarnya. Sampai-sampai ada orang yang mau beli lukisan Agus hanya karena membaca judulnya. Pada 2009, ia melakukan pameran restrospeksi. Karya lama ia keluarkan kembali. Dan kelihatan, sekarang orang mulai bisa menikmati karya Agus Suwage periode yang dulu tidak laku. Orang mulai bisa menikmati, tapi Agus tidak menjualnya.
Juga pelukis Handriyo, yang pada awal tahun 1960-an banyak membuat lukisan abstrak dengan blok warna-warna mirip Frank Stella. Orang tidak mengerti kala itu. Tapi pada jaman sekarang, orang banyak yang memuji. “Wah gila, pada tahu segitu sudah mampu membuat karya seperti itu.”
Nah, salah satu letak nikmatnya mengapresiasi karya terdapat pada jelajah berpikir sang seniman. Kenikmatan apresiasi karya seni lukis itu bukan karena value dari harga nominal, tapi value dari art-nya. Tapi banyak orang yang merasa nikmat bila mampu membeli lukisan yang mahal.
Saya banyak melihat karya-karya di luar negeri. Di sana, salah satu cara menilai karya itu, bisa dibilang, paling penting terletak pada ide dasarnya. Ide yang memperlihatkan cerdas dan berbeda dari yang lain. Kalau kita melihat sebuah gambar, seperti sebuah kasur, dan kasur itu seperti di-scop sehingga terlihat berlubang, sehingga orang bertanya-tanya, ini kasur dari kapuk apa dari pasir. Lahirlah di situ imajinasi yang aneh.
Keanehan itu menjadi salah satu kenikmatan dalam meresepsi. Kalau melihat karya Anthony Tapies, dia pernah membuat ranjang dari besi. Ranjang itu tidak ditaruh dilantai, tapi di sudut atas dinding. Kaki dari ranjang itu menancap ke tembok, membuat kasur dan sprai menjuntai ke bawah. Itu adalah karya-karya yang tidak biasa.
Kalau dalam puisi, bisa disebut karya Afrizal Malna dan Nirwan Dewanto termasuk yang berpikir melampaui jamannya. Saat ini banyak yang tidak bisa mengerti dan menikmati karya mereka. Tapi saya menikmatinya, walau tidak sepenuhnya mengerti. Saya menikmati imaji-imaji visual dalam diksi yang ditulis Afrijal dan Nirwan. Ada efek yang ditimbulkan dalam imajinya, yang menyebabkan adrenalin di otak terpacu. Khusus untuk karya Afrizal, saya melihat merupakan kelanjutan dari kebingungan saat membaca puisi Sutardji Calzoum Bachri atau Ibrahim Sattah. Terus terang, saya merasa segar saat membaca karya-karya mereka.
Dalam hal interpretasi karya seni, saya menganut teori resepsi yang salah satu tokohnya adalah Riffatere. Menurut teori resepsi, begitu karya sudah selesai diciptakan, maka interpretasinya diserahkan ke publik, adapun senimannya sudah mati. Publik boleh menerjemahkan apapun, sekalipun mungkin hasil terjemahannya berbeda dengan yang dimaksud oleh si seniman saat menciptakannya. Itu syah dan justru dengan beragamnya interpretasi, akan memperluas wacana yang terkandung dalam karya itu, hingga terjadi dialog, dan karya itu menjadi luar biasa. Bila sebuah karya melahirkan interpretasi yang sama dari para apresiator, belum terntu itu karya yang hebat.
Karya menjadi hebat bila melahirkan perdebatan wacana dan kontroversi. Misalnya ketika Michael Duchamp melahirkan karya Urinoid, itu sangat kontroversial dan melahirkan polemik bertahun-tahun. Itu justru yang membuat wacana berkembang.
Di Indonesia, karya yang lumayan melahirkan kontroversi adalah gubahan Handiwirman, walaupun kontroversinya tidak terlalu ramai. Tapi apa yang dilakukan dia, belum terjadi di jagad kesenian Indonesia. Dia mengambil hal remeh-temeh dari yang asalnya mikrokospis menjadi makrokospis, dan hasilnya sungguh mengejutkan. Handiwirman memperlihatkan kepeloporan, dan sekarang banyak pengikutnya.
Juga ada gejala dalam seni rupa kita, memelesetkan atau menjadi epigon (pengikut –red) karya orang lain. Pada suatu saat, memelesetkan itu menarik. Tapi kalau terus-menerus, akan jadi klise, dan setiap yang klise itu lama-lama tidak akan menarik lagi. Dalam pengamatan saya, banyak sekali plesetan atau epigon dari karya yang sudah terkenal atau sedang laku di pasaran, dan yang benar-benar mencipta dengan memperjuangkan orisinalitas, sangat sedikit. Pada awalnya pemelesetan atau menjadi epihon itu akan diapresiasi, tapi lama-lama membosankan.
Gejela plesetan itu bisa jadi bersumber dari kemandekan ide, dan mungkin juga si seniman tidak mau lagi berpikir out of the box. Di Indonesia, seniman-seniman yang mencoba terus keluar dari out of the box dalam karya yang berbentuk objek (instalasi –red), saya temukan pada karya Yuli Prayitno. Misalnya dia membuat lukisan dengan objek cabe tapi badan cabenya dari kasur. Hardiman Rajab juga bagus dalam mengolah objek. Ia membuat karya dengan objek koper, dan di dalam koper itu terlihat variatif. Misalnya ada koper yang dari dalamnya terus-menerus keluar air, tapi atau ada koper yang di dalamnya karya multimedia, atau ada tanah. Untuk karya yang bersifat dua dimensi, Indigirls itu nampak out of the box.
Sekarang pasar seni rupa sedang sepi. Tapi mari kita lihat sejarah. Booming pertama terjadi pada jaman Bung Karno yang menyukai lukisan dan mulai mengoleksinya. Tapi booming kala itu tidak tercatat dan tidak dicatat karena orang belum memiliki perhatian. Booming yang dicatat pertama kali itu sekitar tahun 1975, karya Affandi dan Basuki Abdullah jadi mahal. Kalau saya analisis, booming yang terjadi karena pada waktu itu banyak karya-karya seniman yang berada pada periode puncak. Kalau ditanya karya Affandi yang terbaik tahun berapa? Ya di tahun-tahun ketika booming itu. Kala itu, banyak eksperimen-eksperimen dari para seniman. Juga tahun-tahun itu kanvas dan cat yang bagus makin banyak yang diimpor ke Indonesia, dan bisa diproduksi di Indonesia. Kalau dulu, banyak seniman yang membuat lukisan di atas kanvas yang terbuat dari karung goni. Malah Hendra Gunawan sampai membuat kanvas dari baju.
Tahun itu juga sedang terjadi booming minyak. Pertamina mengalami surflus, dan ini melahirkan orang kaya baru (OKB). Dan OKB ingin membuat rumahnya jadi nampak bercitra estetik. Lukisan adalah salah satu benda luxury yang bisa menjadikan interior rumah bercitra estetik.
Booming selanjutnya terjadi sekitar tahun 1986 – 1987. Pada saat itu Indonesia seharusnya mengalami krisis moneter. Karena tahun 1985, dunia mengalami resesi ekonomi dunia, yang salah satunya diangkat dalam lagu oleh Chryse. Tapi Pak Harto mengambil langkah supaya resesi tidak terjadi. Ia mengeluarkan kebijakan Pakto (Paket Oktober). Pakto mempesilakan kepada para pengusaha kalau mau mendirikan bank misalnya, dengan memiliki Rp1 milar pun bisa. Importir mau buka silakan, kebijakan pajak diperingan, dan ini membuat gairah ekonomi jadi panas, over heating.
Lalu keluar kebijakan Paknov dan Pakdes untuk mengurangi over heating. Akibatnya ekonomi jadi booming, pembangunan terjadi di mana-mana. Itulah tahun kejayaan Orde Baru dalam bidang ekonomi. Tentu lahirlah OKB-OKB berikutnya. Nah OKB inilah yang jadi kolektor lukisan. Lukisan jadi booming. Tahun itu Dede Eri Supriya yang melukis hiperealis, mulai muncul. Tapi tahun itu juga apresiator makin menghargai lukisan abstrak, dan Ahmad Sadali pun muncul, disusul para pengikutnya.
Saya lihat, selalu ada hubungan antara gairah ekonomi dengan booming lukisan. Setelah 1986 – 1987, booming terjadi lagi pada 1998 – 1999. Itu terjadi karena ada yang dirugikan oleh krisis moneter, tapi ada orang yang diuntungkan karena memiliki cadangan devisa. Orang bingung, devisa-nya mau diputar ke apa, nah lukisan jadi sasaran. Juga karena pada saat itu banyak terjadi kerusuhan dan pembakaran, banyak perusahaan yang takut kantornya dibakar. Lalu investasi-nya dalam bentuk lukisan dijual dengan murah. Ibaratnya karya Affandi jadi murah-murah, daripada terbakar. Nah karya yang dijual murah itu menjadi mainan di balai lelang, dan harganya jadi naik lagi.
Lalu booming lagi di tahun 2007. Pada waktu itu, dipengaruhi oleh guncangan ekonomi di Amerika. Para investor hawatir, mereka menarik investasinya dari Amerika, dan memindahkannya ke Asia. Asianya ke mana? Di antara portopolio bisnis kala itu, ternyata investasi paling aman adalah lari ke karya seni terutama lukisan. Apalagi menyimpan karya seni itu kan tidak kena pajak. Di tahun 2007 itu, juga jadi puncak karya seni Indonesia yang bagus-bagus dari hasil eksperimentasi dan eksplorasi. Semua seniman rasanya bagus. Jelas karena di masa tidak booming, seninan benar-benar melahirkan karya yang sangat kuat. Kalau tidak kuat, tidak akan dilirik. Hingga ketika booming tiba, mereka memiliki karya yang benar-benar kuat. Ugo Untoro, Masriadi, Kelompok Jendela, dan lain-lain, kala itu melahirkan karya yang bagus-bagus.
Mengapa dari booming itu turun lagi? Ya itu, karena ekonomi mengalami penurunan. Dan seniman juga seperti ngejar storan saat booming. Kelompok Jendela misalnya, seperti melakukan pengulangan karena dikejar storan. Ugo Untoro juga mengalami ketidakstabilan, Agus Suwage makin nge-pop, yah itu karena dikejar storan di masa booming. Wah, kalau karyanya seperti itu, tentu tidak usah mahal-mahal.
Kalau dilihat dari rentang sejarah, booming itu terjadi kisaran antara 7 – 10 tahun. Artinya, setelah booming tahun 2007 – 2008, diperkirakan ya booming lagi antara 2014 – 2015. Nah, di masa sunyi seperti ini, para seniman akan didorong oleh keadaan supaya bisa karya yang benar-benar bagus, sebab kalau tidak bagus kan tidak akan dilirik.
Pada masa empat tahun ke depan, kita tentu harus lebih siap, mengapa, karena kita tidak bisa lagi jago kandang. Pameran tidak cukup hanya di galeri nasional, tapi minimal-nya harus regional. Saya lihat, banyak seniman muda makin merambah regional, pameran di Thailand, Malaysia, dan lain-lain. Intensitas ini harus ditingkatkan. Kalau itu terus terjadi, dalam empat tahun ke depan, maka seniman kita akan memasuki kancah global. Lalu apa yang dibutuhkan ketika memasuki area global? Jelas kualitas. Sebab, kalau mengibuli kolektor dengan kualitas yang jelek, untuk di Indonesia mungkin masih bisa. Tapi kalau sudah berhadapan dengan kolektor asing yang jelas-jelas lebih berpengalaman dan bermata jeli, mereka lebih pintar, jelas tidak akan bisa dikibuli.
Jadi sekarang, kalau ibarat latihan tinju, maka samsaknya harus dibuat lebih besar dan keras, supaya nanti ketika ekonomi membaik dan booming terjadi, karya-karya seniman kita sudah benar-benar berkualitas dan diterima kolektor internasional. Itu hanya prediksi saya.
Apa yang dikatakan Lorenzo waktu ceramah di rumah Deddy Kusuma, bahwa karya seni the next itu adalah Indonesia, itu bisa masuk akal. Kita memiliki 5.000 lebih seniman. Bila dibandingkan dengan Asia Tenggara lainnya, kita yang memiliki seniman terbanyak. Belum lagi kita memiliki beberapa perguruan tinggi yang ada seni rupanya. Setiap tahun melahirkan seniman. Jadi kita sangat banyak seniman, tinggal meningkatkan kualitas, unifikasi dalam karakter karya, dan mengejar orisinalitas walau ada pepatah nothing new under sun (tidak ada sesuatu yang benar-benar baru di bawah mathari).
Secara kuantitas, di tingkat regional, seniman kita sudah menang. Lalu secara kualitas bagaimana? Secara kualitas, seniman kita itu memiliki teknik menggambar yang sangat kuat. Seniman kita memiliki kemampuan kriya (keterampilan). Kalau membuat lukisan hiperrealis, itu benar-benar seperti foto. Lalu berlimpahnya waktu, menjadi kemenangan seniman kita.
Fenomena artisan di kita kita sebenarnya masih sedikit, kenapa? Karena waktu berlimpah untuk melahirkan karya sendiri. Seniman yang belum terkenal, akan menggambar sendiri. Baru kalau sudah banyak pesanan, artisan hadir. Beda dengan di luar negeri, teknisnya kurang dan idenya juga kurang, sehingga print-print-an muncul. Filosofi print-print-an atau etsa itu berangkat dari anggapan bahwa ide itu mahal. Sayang kalau sebuah ide yang cemerlang hanya dieksekusi sekali. Makanya dibuatkan copy-nya, bisa beberapa, belasan, puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Dengan adanya bisa dinikmati oleh banyak orang.
Seniman kita kaya dengan ide. Satu ide untuk satu karya. Tinggal yang kurang di kita itu adalah kategorisasi di mana harusnya, seniman itu ada klasifikasinya. Contoh naifnya, seniman kita dikelompokkan ke dalam kelas A, kelas B, Kelas C, dan seterusnya.
Tentu saja karyanya yang diklasifikasi, bukan senimannya. Misalnya karya masterpiece dari masing-masing seniman masuk ke dalam kelas A, dan toh pada akhirnya nama senimannya juga akan terangkat ke dalam kelas bersangkutan. Bisa saja si seniman itu, memiliki karya yang masuk ke dalam Kelas A, kelas B.
Nilai keseniman seseorang, bisa saja grade-nya akan turun lagi kalau ternyata karyanya tidak berkembang, hanya pengulangan. Tapi karyanya, yang sudah masuk Kelas A, bisa bertahan di Kelas A.
Siapa lembaga yang harus membuat kategorisasi dan klasifikasi, tentulah harus sebuah board yang bisa diintrodusir oleh pemerintah atau swasta. Biar itu bisa hidup bila bisa bekerja dengan sungguh-sungguh. Para steak holder akan mau mendanai board ini bila bekerja dengan sungguh-sungguh. | doddi@jurnas.com
PENGAKUAN SAYA BERSAMA KELUARGAKU INI BUKAN CERITA ATAU PUN REKAYASA BENER-BENER TERBUKTI SAMA SAYA.
ReplyDeleteTerima kasih sebesar-besarnya yang kami ucapkan kepada mbah warjoh yang telah memberikan keberhasilan dan keberuntungan bagi keluarga saya.berkat bantuan beliau saya sekarang sudah hidup tenang karena suamiku sudah punya usaha tambak yang luasnya sekitar 5 hektar kurang lebih. begitupun juga saya dirumah buka warung sembakau dan sekarang pun saya sekeluarga tidak di kejar-kejar hutang lagi. mulanya keluarga Kami di berikan angka gaib hasil ritual dari mbah warjoh yang sangat Jitu 100% dijamin tembus.sehingga keluarga saya sekarang merasa tenang lagi.sekali lagi terima kasih mbah jasamu dikeluarga saya tidak akan terlupakan.Jika anda butuh angka gaib hasil ritual mbah warjoh silahkan Tanyakan aja Pada mbah dinomer hp beliau di: 0851 4534 4218 Terima kasih.