e
Masyarakat dan pemerintah Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, terus bergiat menggebyarkan seni pantun. Kita harus memberi apresiasi.
Teks dan Foto oleh Doddi Ahmad Fauji
Sepenggalah tiba. Untuk kedua kalinya saya menyeberang ke Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau, dan berziarah ke makam Raja Ali Haji yang terdapat di kompleks pemakaman Engku Puteri Raja Hamidah. Ada puluhan makan di situ.
Masih seperti dulu, batu nisan di pemakaman itu umunya diikat dengan kain warna kuning yang rada dekat dengan warna kuning bendera Partai Golkar. Tapi kuning yang ini lebih tua, dan jauh sebelum Indonesia berdiri, batu-batu nisan orang besar di sana selalu diikat dengan kain kuning.
“Kain ini adalah tanda penghormatan dari peziarah kepada almarhum. Semakin tebal kain pembungkusnya, menunjukkan tokoh yang diistirahatkan itu makin dihormati,” kata seseorang, dulu waktu kali pertama saya menziarahi makan Raja Ali Haji.
Pada masanya, tokoh Engku Puteri Raja Hamidah pasti memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahan Kesultanan Johor – Riau – Pahang – Lingga. Engku Puteri disebut dalam keterangan di makam itu adalah Pemegang Regalia Kerajaan (lambang-lambang kerajaan). Makamannya diberi rumah untuk berteduh, sedangkan makam Raja Ali Haji berada di pekarangan rumah itu. Ada penduh juga, tapi baru dibuatkan belakangan.
Namun kini, nama Raja Ali Haji yang pernah menggubah Gurindam 12 itu, jauh lebih besar bahkan dari nama Sultan Riau sendiri. Nama Ali Haji melintas batas nusa, hingga dikenal oleh siswa-siswa sekolah se-Indonesia, dan dikenal pula oleh rumpun Melayu lainnya (Malaysia, Singapura, Brunei, sebagian Thailand dan Filifina).
Benar kata orang Yunani, vita brevis ars longa (hidup itu singkat sedangkan karya abadi). Sebagai sastrawan kerajaan, tentu Raja Ali Haji bukan hanya menggubah Gurindam 12. Tapi karya inilah masterpiece-nya, hingga dipahatkan pada dinding marmer yang mengelilingi rumah pemakaman Engku Puteri Raja Hamidah. Pada 11 November 2004, Raja Ali Haji pun dinisbatkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Raja Ali Haji sudah lama wafat. Usia hidupnya tahun 1808 – 1873. Tetapi karyanya terus hidup, memberi inspirasi bagi masyarakat Melayu di sekitar Kepulauan Riau dan Riau daratan. Gurindam adalah salah satu jenis puisi lama, selain bidal, seloka, syair, dan lain-lain. Intinya, gurindam adalah seni sastra yang saat itu dilisankan.
Selain gurindam, sastra lisan yang sangat popular di Tanjungpinang hingga kini adalah pantun. Pantun bukan hanya milik orang Melayu Riau. Orang Jawa, Sunda, Bali, Papua, Filifina, Thailand, dan saya yakin ada di daerah lain juga, mengenal pantun namun dengan istilah yang berbeda-beda.
Tetapi yang menarik dan perlu mendapat apresiasi, masyarakat Tanjungpinang ingin menjadikan daerahnya sebagai Negeri Pantun. Hal ini bisa dimaklumi, karena hingga kini pantun masih memasyarakat di sana. Bahkan mereka sepakat menggebyarkan pantun bukan sekadar life service, tetapi menjadi akar tradisi yang diharapkan bakal memberi ruh pada elemen kebudayaan lainnya. Sudah enam tahun, mereka menggelar festival pantun sebagai sarana untuk mempertahankan denyut pantun.
Kini, jangankan orang tua dan para pemantun, anak SD pun sudah belajar pantun melalui program ekstrakurikuler. Juga anak SMP dan SMA, serta sekira 70 sanggar seni, kembali mempelajari pantun dan mencipta pantun-pantun baru.
Sehari sebelum ke Pulau Penyengat, kami tiba di Pulau Bintan di mana Kota Tanjungpinang terdapat. Kota Tanjungpinang adalah ibukota Provinsi Riau Kepulauan. Geliat kehidupan di kota ini tidak kalah dengan kota Batam. Kalau saya perhatikan masyarakatnya, namapaknya suku Melayu bukan mayoritas di kota ini. Mungkin suku China lebih banyak dari orang Melayu.
“Tapi kan dulunya orang Melayu berdaulat di Tanjungpinang. Maka tradisi lokal di sini ya tradisi Melayu. Kata pepatah, di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung, jadi semua orang harus menjunjung budaya Melayu,” kata Abdul Kadir Ibrahim, Kepala Humas Tanjungpinang yang menyambut rombongan wartawan.
Saat di Tanjungpinang itulah saya diajak oleh Asrizal Noor, yang mengundang saya ke Bintan, untuk mengelilingi beberapa tempat yang menjadi pusat aktivitas pantun. Sore hari, saya bersama rekan wartawan dari Kompas, Media Indonesia, Forum, Republika, bertemu walikota Tanjungpinang Suryatati A. Manan. Walikota menyatakan, sudah mengajukan surat ke Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (HAKI) yang dinaungi Departemen Hukum dan HAM, meminta agar Tanjungpinang dinyatakan sebagai Negeri Pantun. Tapi permohonan itu kurang tepat, karena yang diurus HAKI adalah paten untuk karya, dan bukan menahbiskan sebuah daerah menjadi negeri anu atau negeri anu.
Ibu Wali murah senyum namun hemat kata, meningatkan saya kepada mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Tentu saya sangat menghargai niat baik Walikota yang merupakan representasi masyarakat Tanjungpinang. Dan saya tahu persis, Suryatati A. Manan adalah penyair. Ia pernah membacakan puisinya di Teater Studio dan di Graha bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Penyair memperjuangkan pantun, sudah selayaknya.
Selesai bertemu walikota, saya dan rombongan dipertemukan dengan anak-anak SD 01 Tanjungpinang. Mereka adalah anak-anak yang giat belajar pantun. Mereka memperkenalkan diri seorang per seorang dengan menggunakan pantun. Begini contohnya.
Membeli baju di Arab Saudi
di Arab Saudi melihat kera
Saya ingin memperkenalkan diri
Nama saya Aldi Saputra.
Lalu yang lain memperkanlkan diri.
Bulan purnama putih melati
si burung pipit ditembak preman
saya bernama noni asti
berlesung pipit murah senyum.
di Arab Saudi melihat kera
Saya ingin memperkenalkan diri
Nama saya Aldi Saputra.
Lalu yang lain memperkanlkan diri.
Bulan purnama putih melati
si burung pipit ditembak preman
saya bernama noni asti
berlesung pipit murah senyum.
Ketika institusi pendidikan berhasil menyemai apresiasi kepada anak-anak, kecemasan bakal memudarnya seni tradisi sebagai salah satu akar dan ketahanan budaya, tidak perlu dibesar-besarkan hingga jadi paranoid. Saya yakin, tanpa harus ada HAKI, orang akan menahbiskan Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun, sebab toh di Tanjungpinang pantun itu masih menjadi tradisi dari mulai MC membuka acara, perkenalan, pernikahan, termasuk mengeritik lawan.
Judul di atas, terinspirasi oleh antologi cerpen karya almarhum Ali Akbar Navis yang berjuluk Robohnya Surau Kami. AA Navis cemas mencermati perubahan peradaban yang melibas sendi-sendi tradisi Minang. Secara metaforik, ia beranalogi lewat tradisi bersurau yang makin melindap karena terhembus angin kencang perubahan itu.
Juga ketika peradaban dunia memasuki iklim globalisasi, subkultur lokal di Nusantara pada pudar satu demi satu. Tatanan jadi rusak, dan kita menjadi bangsa yang mengambang antara mempertahankan tradisi masa lalu yang sudah tercerabut, atau masuk total ke alam globalisasi (baca: westernisasi). Adalah rugi besar jika kita masuk total ke dalam kebudayaan baru yang digubah oleh Eropa dan Amerika. Sebab kita hanya akan menjadi pengekor, dan mengkonsumsi apa yang mereka tawarkan. Dengan demikian, imperialisasi dan kolonialisasi Barat terhadap Timur seperti yang diingatkan dengan keras oleh Bung Karno, memang terbukti, dan kita ikut andil di dalam “nekolim” itu.
Dalam kondisi seperti itu, menggali kembali tradisi masa lalu yang kaya nilai filosofi sembari memodifikasinya dengan semangat jaman, menjadi keharusan. Saat ini, bukan tidak ada jalan lain, namun yang paling mudah ditempuh memang kembali memperkuat basis tradisi. Maka apa yang dilakukan masyarakat dan pemerintah Kota Tanjungpinang dalam menggebyarkan ruh pantun, perlu kita respons secara positif. ***
No comments:
Post a Comment