TEKS DODDI AHMAD FAUJI
Kita mengalami keminderan yang akut ketika berhadapan dengan orang Barat, bahwa seolah barat itu lebih kinclong segala-galanya, seolah bule tidak memiliki cela. Bahkan sebagai warga negara, ternyata derajat kita itu di bawah warga negara Filifina atau Malaysia. Warga Negara Indonesia itu, ternyata hina dan menempati kasta paria. Tenaga kerja asal Indonesia di negara asing, masih seperti inlander di mata orang Belanda pada jaman baheula. Kenapa hal ini terjadi?
Nyaris tidak ada yang bisa dibanggakan lagi dari negeri ini. Secara politik dan ekonomi, pemerintah dan warga negara Indonesia ibarat pembantu rumah tangga yang hanya menerima arahan ujung telunjuk majikan. Bidang agama yang seharusnya menjadi pemersatu bangsa, kini sedang menghadapi ujian berat karena beberapa kerusuhan di negeri ini justru bersentuhan dengan persoalan agama, diperparah dengan makin meruyaknya agamawan yang nyambi jadi politikus karbitan.
Bidang birokrasi dan parlementer. Waduh, malulah kita kalau membicarakan etos kerja birokrasi dan dewan perwakilan rakyat.
Bidang olahraga? Yah, kalau kita tidak memiliki warga negara yang beretnis Tionghoa, sulit rasanya Indonesia bisa meraih emas di tingkat olimapiade. Mengikuti kompetisi olah raga tingkat dunia hanya menambah buruk wajah Indonesia.
Tapi tentu kita itu tidak buruk semuanya. Setidaknya, ada tiga bidang yang masih patut dibanggakan, yaitu seni-budaya, sain, dan kekayaan alam.
Kesenian kita sangat kaya corak, lebih variatif dari kesenian bangsa manapun. Dalam soal sain, anak-anak kita berkali-kali menang dalam olimpiade fisika, kimia, matematika, atau bilogi. Adapun kekayaan alam kita tercatat menduduki peringkat enam tersugih.
Perbincangan kali ini, bersama President Director & CEO PT International Nickel Indonesia Arif Siregar, mengupas soal seni-budaya dan tanjung jawab sosial PT International Nickel Indonesia (Inco) dalam mengembangkan seni-budaya di daerah Inco beroperasi, yaitu di Sorowako, Sulawesi Selatan.
Undang-udang mengatur, setiap perusahaan harus menjalankan corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial, yaitu turut mensejahterakan masyarakat di sekitar perusahaan itu berdiri. Arahan CSR sebenarnya harus dimaknai bukan memberi ikan kepada orang yang bertenaga kekar, tapi memberikan pancing kepadanya supaya mau dan bisa berusaha sendiri. Tujuan CSR ialah supaya masyarakat tidak memiliki ketergantungan terhadap siapapun.
Berikut petikan perbincangan yang berlangsung di kantor Inco, Wisma Bapindo, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan.
Bagaimana Anda melihat seni-budaya Indonesia?
Membandingkan dengan beberapa tempat di negara yang pernah saya kunjungi, seni budaya Indonesia tidak ada duanya. Seni-budaya kita lebih variatif, lebih bercorak, dibandingkan dengan seni budaya negara lain. Inggris misalnya, yang katanya mengenal civilize jauh lebih awal, corak keseniannya lebih miskin dari kita. Menurut saya, bukan saja lebih variatif, seni budaya kita lebih kreatif dibandingkan Inggris.
Mengapa justru malah banyak generasi muda meniru seni-budaya Inggris, mereka ingin seperti Inggris, seperti bule. Apakah seni budaya mereka terkini lebih baik dari kita?
Di era transparansi dan globalisasi informasi, pengaruh-mempengaruhi adalah suatu yang sulit dihindarkan. Mereka memenangkan pertarungan penyebaran informasi, dan berhasil mempromosikan seni-budaya mereka, yang membuat kita jadi ingin menengok mereka, dan itu adalah wajar. Juga akibat dari penjajahan yang terlalu lama, kita mewarisi sikap impreriority complex, rasa rendah diri dalam memandang Barat.
Tapi saya yakin, orang-orang akan tersadarkan bahwa tiada yang lebih baik dari budaya sendiri, dan tentu lebih sesuai dengan jiwa sendiri. Mereka yang suka meniru-niru, akan kembali pada seni-budayanya. Apalagi kalau orang sudah sering keliling dunia, akan makin tersadarkan bahwa kekayaan seni budaya kita tidak kalah hebat. Muncullah kemudian para pencinta seni-tradisi. Bahkan karena kecintaan itu, beberapa seni-tradisi yang hampir punah, mereka hidupkan kembali. Untuk kasus ini, sudah banyak contohnya, terutama dari masyarakat di daerah-daerah yang sudah makmur seperti di Pualu Jawa. Kita lihat misalnya, muncul kembali tradisi Keraton Solo ke tingkat permukaan. Saya sendiri, sudah dua kali melihat dan menyaksikan upacara dan gelar seni ala Solo.
Tapi ini adalah proses, ada waktunya kita itu meniru. Tapi saya yakin sekali, semua akan kembali ke aslinya. Ke asalnya. Tidak bisa kita hidup dengan pola luar. Apalagi pada hari, di mana batas antarbangsa sudah tidak jelas, maka semuanya jadi bercampur-baur tanpa pola yang jelas. Pada saat itulah, orang ingin kembali pada jati dirinya. Jadi, bagi bangsa kita, masih lah dalam proses. Kita sedang berproses.
Sebetulnya kita ini teramat kaya dengan kesenian, tetapi eksploitasinya yang mengarah pada nilai jual, memang kurang. Akhirnya, ya lebih banyak kebudayaan dari luar yang masuk ke kita, karena mereka memang mengeksploitasi dan mengeksplorasinya dengan baik, menjualnya dengan baik. Saya lihat di Amerika, ada musik-musik Indonesia yang dijual dalam bentuk CD, kaset, dan lain-lain. Setelah saya lihat, tenyata yang mengeksploitasi dan menjualnya adalah orang asing. Kapan dong kita menjual produk diri sendiri?
Semestinya ada strategi untuk memperkuat dan mengembangan seni budaya tradisi kita yang bukan sekadar wacana. Anda punya pemikiran mengenai hal itu?
Bagaimana pun, pemerintah yang harus berpartisipasi aktif dalam penciptaan strategi kebudayaan. Coba lihat Malaysia yang lebih miskin dari kita seni budaya tradisinya, tetapi mereka bisa mempromosikan dan menjualnya. Saking miskinnya, malahan mereka mengaku-aku beberapa kesenian kita sebagai miliknya.
Pemerintah kita kurang memberikan support terhadap iklim ini. Saya kira tidak dibutuhkan dana yang banyak, yang paling utama ialah pengakuan terhadap seniman dan karyanya. Banyak seni tradisi yang bisa didukung, diakui, dan dimajukan. Di Kalimantan misalnya, ada tari hudok yang memakai topeng. Saya kira lebih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengetahui tari hudok ketimbang yang mengetahuinya. Kenapa? Itu tadi, kurang pengakuan. Saya kira tari hudok dari Dayak itu bisa mendatangkan devisa. Tapi, kok Malaysia diam-diam mulai memasarkannya. Saya ingin tertawa ketika melihat klip The Truly Asia yang menjadi moto pariwisata Malaysia, loh kok ada tari hudok dari Dayak. Ini bagaimana ceritanya?
Sebetulnya yang musti bertanggungjawab siapa?
Tentu saja pemerintah. Tapi pemerintah sendiri masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Setiap hari makin bertumpuk. Apa yang dilakukan pemerintah sekarang, sebenarnya merupakan pekerjaan rumah dari tahun kemarin. Persoalan desentralisasi saja belum selesai sampai hari ini. Pekerjaan rumah pemerintah kita terlalu banyak.
Pasti ada solusi untuk memecahkan problem ini. Dalam telisik Anda, jalan yang realitis melalui apa?
Ada banyak pintu untuk memecahkan masalah. Salah satunya melalui ekonomi. Kita ini dikenal sebagai terkaya nomor 6 di dunia, kenapa tidak kita eksploitasi? Kita ini kurang dalam melakukan pembangunan pendidikan dan SDM.
Saya sering bilang, kita sudah diberi kekayaan oleh Tuhan, mari kita eksploitasi. Tapi jangan pernah menganggap bahwa kekayaan itu akan abadi, suatu hari akan habis. Sebab itu, mari kita benahi pendidikan untuk menyiapkan SDM, supaya ketika sumber alam habis, kita memiliki kekuatan SDM. Jepang misalnya, kekayaan alamnya sangat sedikit. Tapi mereka membangun SDM, sehingga bisa mengelola alam dari negara orang lain. Tapi hasil alam itu jangan dikorup oleh pemerintah.
Butuh modal besar kan untuk eksploitasi itu?
Datangkan orang asing untuk berinvestasi. Selama ini, masih sedikit investor asing di pertambangan.
Ada kecurigaan, perusahaan asing itu main curang, mereka membuat laporan hasil yang tidak transparan?
Tentu saja harus dicari investor terpercaya. Jangan memberi ruang kepada pialang seperti yang kemarin penipu dari China itu. Kita harus mencari investor terpercaya, yang sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Mereka tidak mungkin berbohong jika itu akan merusak reputasi dan mengorbankan perusahannya yang sudah berjalan di negara lain. Perusahaan tambang Broken Hills misalnya, yang dikenal terbesar di dunia, tentu tidak mau dong rusak reputasinya hanya untuk meraih keuntungan dengan cara berbohong di Indonesia. Mereka itu akan melaporkan apa adanya. Tapi memang segala sesuatu itu harus diberikan kepada orang yang ahlinya. Jangan tukang mencangkul disuruh mencatat, atau kemampuannya hanya berdagang lantas disuruh mencangkul.
Apa karena kita kurang kontrol terhadap mereka saat berproses dan membuat laporan?
Saya tidak percaya kalau kita tidak mampu mengontrol orang asing. Kita pasti mampu. Masalahnya di sini adalah problem daerah. Banyak orang asing datang ke kita dengan ijin sebagai turis, eh ternyata di sini bekerja, dan langsung masuk ke daerah-daerah.
Berarti otonomi daerah menjadi problem untuk pertambangan?
Bukan hanya untuk pertambangan, tapi untuk banyak bidang. Banyak daerah-daerah yang sudah bagus, tapi tidak sedikit daerah-daerah yang belum mampu mengelola orang asing yang bekerja di kita. Beberapa daerah belum mampu me-menej investasi dalam jumlah besar, tapi oleh undang-undang mereka diberi kewenangan untuk membuka investor asing.
Kita memiliki masalah dengan otonomi daerah ini, yaitu terpaksa mendelegasikan beberapa pekerjaan besar ke orang yang tidak mampu, yang kebetulan menjadi Kepala Daerah. Ini adalah resiko dari pemilihan kepala daerah langsung dan otonomi daerah, orang yang tidak memenuhi minimum requirement bisa terpilih jadi kepala daerah. Dan, orang yang tidak mampu itu tiba-tiba harus mengurusi pekerjaan besar.
Kita butuh waktu, kita sedang berproses di masa transisi. Mungkin bukan generasi saya, bukan generasi you yang akan menikmatinya, mungkin empat atau lima generasi lagi yang baru bisa memetik hasilnya. Tapi saya selalu optimistis, selalu yakin bahwa hari ini akan lebih baik dari hari kemarin. Dan esok akan lebih baik dari hari ini. Ingat, Amerika juga memakan waktu ratusan tahun untuk menyelesaikan kekacauan.
Sepertinya Anda cocok jadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
Hahaha….. saya ini orang tambang. Kalau saya diminta bantuan, biarlah saya mencangkul saja, karena di situlah keahlian saya.
Sejak Anda memimpin Inco, seperti apa visi Inco dalam me-recovery dan meng-encourage seni tradisi di daerah tempat Inco beroperasi.
Kami berusaha menggali khasanah seni-budaya lokal di mana Inco beroperasi. Kami coba terbitkan beberapa buku dokumentasi seni-budaya, misalnya buku-buku folklore dan cerita local. Kami juga menerbitkan kamus bahasa lokal.
Kami turut mensponsori event-event seni budaya yang diselenggarakan oleh masyarakat, misalnya pertunjukan I La Galigo. (Jannus Siahaan, ajudan Arif Siregar, kemudian menyodorkan data beberapa event seni-budaya yang disponsori Inco, lihat tabel).
Inco juga menyelenggarakan event kesenian?
Kami lebih baik memberikan support. Ide dan penyelenggaraan sebaiknya datang dari masyarakat atau dari pemerintah daerah. Kalau ide dan penyelenggaraan kegiatan dari Inco, menurut kami itu malah kurang baik, dan saya kira juga kurang baik menurut masyarakat. Kami cukup men-support event-event kesenian yang datang dari masyarakat, dari pemerintah daerah, atau dari Forum Komunikasi Kerukunan Umat Beragama (FKKUB).
Bagaimana Anda membayangkan masyarakat setempat setelah Inco selesai beroperasi di sana?
Kamu harus membayangkan dulu, Sorowako yang menjadi salah satu tempat Inco beroperasi, adalah masyarakat heterogen. Masyarakat pendatangnya cukup banyak. Heterogenisasi ternyata sesuatu yang baik untuk sebuah daerah.
Kalau you perhatikan daerah-daerah lain di Indonesia, yang mengalami heterogenisasi selalu berkembang lebih pesat dibandingkan dengan daerah yang penduduknya cenderung homogen. Di daerah yang heterogen, terjadi persaingan yang ketat dan kompetitif, sehingga masing-masing yang bersaing memunculkan kualitas terbaiknya untuk memenangkan persaingan itu, sedangkan di daerah homogen, penduduknya cenderung ngiri-ngirian dan sulit diajak berkompetisi, membuat mereka jadi statis karena mau begini takut salah, begitu takut salah.
Coba perhatikan perkembangan Balikpapan dengan Samarinda. Balikpapan very-very heterogen, sedangkan Samarinda cenderung homogen. Masyarakat Balikpapan lebih maju dari Samarinda, sekalipun Samarinda adalah ibukota Kalimantan Timur. Bahkan Kota Botang lebih baik dari Samarinda. Nah, daerah di Sorowako juga mengalami heterogenisasi, jadi masyarakatnya relatif dinamnis. Bila Inco sudah tidak di Sorowako, daerah tersebut tetap akan berkembang dinamis, sebab memang masyarakatnya heterogen.
Kami tidak ingin membayangkan, tapi kami merencanakan apa yang musti terjadi dengan masyarakat Sorowako, atau apa yang diwariskan Inco bila sudah selesai beroperasi di sana, yaitu kami ingin masyarakat di sana tidak memiliki ketergantungan. Mereka harus bisa berdiri sendiri, mandiri.
Lalu program apa yang sudah dan sedang dijalankan untuk menciptakan masyarakat yang mandiri itu?
Banyak, banyak yang sedang kami usahakan dengan harapan akan menjadi bion untuk 30 tahun yang akan datang. Tambang ini, you suka atau tidak suka, suatu hari akan habis. Dan you berdosa jika meninggalkan masyarakat tidak memiliki daya saing kecuali di tambang. Bila tambang sudah habis, mau apa mereka?
Kami membuat guide line dalam menyalurkan dana Corporate Social Responsibility (CSR), dianggarkan untuk membangun masyarakat tidak memiliki ketergantungan kepada Inco. Misalnya, kami membangun pertanian rumput laut, lalu banyak masyarakat bekerja di sana. Kalau mereka yang sudah bekerja di rumput laut, kemudian ditanya mau kerja di Inco, lalu menjawab tidak mau, berarti guide line yang dikembangkan mulai memperlihatkan arah.
Ada banyak usaha masyarakat yang coba turut dikembangkan oleh Inco, misalnya peternakan udang, ulat sutra, perkebunan cokelat, dan lain-lain. Dan masih banyak lagi program yang sedang dirintis, tapi tapi tentu pelaksanaannya akan bertahap.
Hal itu juga dilakukan pemerintah. Tetapi follow up-nya tidak tuntas. Misalnya dalam memasarkan hasil produk. Nah, follow up yang dilakukan Inco?
Kami memonitor perkembangan usaha itu. Berdasarkan pengamatan kami, pengembangan usaha masyarakat mendapatkan problem, terutama memang di bidang marketing. Kami harus membantu menyalurkan hasil produksi mereka, sebab mereka tidak memiliki network. Sejauh ini, pengembangan marketing juga sudah berjalan.
Bahkan ada usaha yang sebelum dikembangkan dalam sekala besar, kami carikan dulu calon pembelinya. Ternyata ada orang yang mau beli rumput laut dalam jumlah yang sangat besar. Ya sudah, kami suruh mereka meninjau hasil rumput laut yang selama ini sudah diproduksi. Begitu cocok, langsung dibuka pertanian rumput laut dalam skala besar.
Kami juga sedang mengembangkan Taman Walacea yang di dalamnya akan menjadi bagian dari konservasi untuk beberapa binatang dan tumbuhan yang hampir punah. Kami dirikan Forum Komunikasi Kerukunan Umat Beragama untuk memelihara kerukunan di tengah masyarakat yang heterogen. Terus terang, kami paling takut kalau konflik dari Poso menyeberang ke sorowako. Karena itu, Inco terpanggil untuk memperkuat masyarakat sipil di sana.
Bisa Anda jelaskan secara filosofis pelaksanaan program CSR Inco ini?
Kami tumbuh bersama masyarakat, itulah filosofi Inco. Artinya, kami juga harus menghargai dan turut memajukan kreativitas masyrakat. Siapapun tidak akan bisa tumbuh sendirian. Nah, kami juga hadir sekaligus harus bermanfaat untuk masyarakat.
Itu kan dari pihak Inco, dari pihak masyarakat tanggapannya seperti apa?
Tak ada masalah. Tak ada konflik. Seringkali konflik terjadi karena salah faham atau salah pendekatan. Kalau kami memecahkan masalah, itu dengan berdialog dan coba memenuhi keinginan masyarakat. Misalnya ada daerah yang masuk ke area pengembangan eksplorasi baru, kami datangi mereka, kami sampaikan rencana kami. Kebetulan pula, penduduk di sana belum sepadat di Jawa. Jadi melakukan relokasi tidak terlalu memberatkan secara financial.
Selain direlokasi, masyarakat tentu akan meminta ini atau itu. Ya sudah, kami penuhi permintaannya, kami buatkan jalan dan infrastruktur lainnya. Selesai sudah, tanpa masalah yang pelik.
Dalam berbagai pertemuan, selalu saya sampaikan, setiap pertambangan itu selalu punya masalah dengan masyarakat setempat. Tetapi masalah setiap penambang berbeda-beda. Masalah dalam pertambangan selalu case by case. Tapi kalau you perhatikan, setiap masalah di lower level itu bisa dipecahkan, jadi tidak usah dibesar-besarkan. Jangan masalah kecil dipolitisir hingga muncul ke permukaan menjadi besar. Di mana-mana, masalah itu ada. Kata orang, hidup itu sendiri sudah masalah. You mau bangun pertambangan di Afrika, pasti ada masalah. Pertanyaannya, apakah you bisa menyelesaikan masalah itu enggak?
Omong-omong, ada klub seni-budaya di internal Inco?
Ada beberapa kegiatan kesenian, untuk anak-anak juga ada, tapi tentu tidak intesif seperti seniman. Kenapa, karena kami bukan seniman. Kami ini lebih banyak di lapangan. Bagi kami, kesenian sebagai hiburan dan hobby saja.
Saya pernah lihat Anda baca puisi. Kesenian yang Anda suka memang puisi, atau?
Baca puisi kan untuk sampingan. Tapi memang saya suka puisi. Sedari kecil saya suka sajak, hanya tidak memiliki peluang, sehingga saya tidak bisa muncul seperti Sutardji Calzoum Bachri misalnya. Saya juga menyukai lukisan. Ada beberapa lukisan yang saya koleksi. Saya menyukai banyak kesenian, tapi sebagai penikmat, bukan sebagai pelakunya. Saya ini kan orang tambang, kalau mau jadi pelaku seni, yah mendingan jadi seniman sekalian kan.
Sebagai orang tambang, seperti apa prinsip, filosofi, atau kata-kata mutiara Anda?
Sebetulnya sebagai apapun, hidup manusia itu memiliki prinsip yang sama, yaitu ada sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Kepada orang-orang saya selalu bilang, tambang ini adalah sesuatu yang non renewable, jadi you musti mengoptimalisasi apapun yang didapat di lapangan. Jangan pernah mengambil hanya 20% dan membuang 80%. Artinya, you musti melakukan penambangan yang benar. Misalnya, kalau di sana ada 100 butir beras, you musti ambil 100 butir itu kalau bisa. Jangan hanya ambil 20 butir dan sisanya dibiarkan terkubur. Kenapa, sebab ketika akan mengambil yang tersisa itu, kita harus memulai lagi dari awal, dari perijinan yang berbelit-belit.
Filosofi itu Anda dapatkan setelah?
Mungkin bukan filosofi, tapi ‘menyadari’ kata yang lebih tepat. Kita musti menyadari bahwa kekayaan alam ini adalah milik seluruh rakyat. Kalau terkubur di Indonesia, berarti milik seluruh rakyat Indonesia. Maka itu, ada aturan di pertambangan ini, perusahaan yang sudah mendapatkan hak menambang, kalau mineralnya masih terkubur di dalam tanah, tidak bisa diborahkan. Kalau masih ada di tanah, adalah milik rakyat. Setelah terjun di pertambangan, kemudian saya menyadari bahwa kekayaan ini sebaiknya dimanfaatkan seoptimal-optimalnya untuk membangun bangsa. | doddi@jurnas.com
panjang amat tulisannya, males ah bacanya
ReplyDeleteaku ga punya dananya
ReplyDeletemana iklannya
ReplyDeletewah wah
ReplyDeletewah wah
ReplyDelete