syakieb sungkar [kolektor] |
TEKS DODDI AHMAD FAUJI
Namun baju bernama kolektor itu, sudah lama dicurigai, telah dipakai oleh orang-orang yang mencemplung ke dalam dunia seni rupa dengan motif berdagang, hingga muncul sebutan kolekdol dan spekulan untuk membedakannya dari pure collector (kolektor sejati).
Terlepas dari semua sebutan itu, mengetahui sebagaian isi kepaka Syakieb Sungkar, salah seorang kolektor yang rajin hadir dalam event seni rupa, akan sangat berguna. Suatu sore di bulan puasa kemarin, sambil ngabuburit, saya berbincang-bincang dengan Direktur Marketing PT Indosat itu.
Menurut Syakieb, mengoleksi karya lukis itu memang ada nilai investasinya. Tapi dasarnya, harus memiliki kecintaan padanya. Kebanyakan mereka tidak mau menjual walaupun harganya melambung dibandingkan saat dia membeli, karena dia menyukainya.
Dalam mengoleksi, ada juga kebanggaan melakukan prediksi, bahwa yang dikoleksi, nantinya akan memiliki masa depan yang cerah. Dia sengaja membeli misalnya tiga karya pada waktu pameran. Ternyata benar, harganya meledak.
“Dia simpan yang paling bagus, sisanya dia jual. Tapi jangan salah, kebanyakan uangnya tidak masuk ke tabungan, tapi untuk membeli karya yang lain. Jadi ada unsur never ending story dalam mengoleksi. Investasi dia dalam karya seni, membuat asetnya bertambah terus. Di satu sisi, benar koleksi itu mendatangkan keuntungan finansial, tapi banyak yang tidak mau menjual karya saat harga naik, malah ingin membeli koleksi orang lain,” tutur alumni ITB ini.
“Anda pernah menjual koleksi?” tanya saya.
Syakieb menuturkan, pernah menjual koleksi karya seniman yang harganya di balai lelang Sotheby’s Hongkong pada Oktober 2008, lebih dari Rp9 Milyar. “Bagaimana ya. It’s make money. Dan saya bisa mendapatkan karya-karya lain.”
Begitulah Syabkieb dan teman-temannya yang juga menjadi kolektor, dalam memandang karya seni rupa. Tidak bisa disangkal, bahwa memang ada nilai investasi dalam mengoleksi karya seni.
Harus diketahui juga, katanya, ego kolektor itu tinggi. Dia tidak mau koleksinya dibilang jelek. Karena itu, bila ada karya yang dianggap bagus dan mahal, kolektor tertantang untuk memilikinya. Dia selalu ingin, koleksinya adalah the best dari karya si seniman, jadi yang dinilai jelek akan dijual, untuk diganti jadi yang terbaik. Dia terkadang membanding-bandingkan antara koleksinya dengan koleksi yang lain.
“Ada proud dalam mengoleksi karya, bahwa saya tidak salah dalam mengoleksi. Di situ, ada unsur aktualisasi diri, unsur kegilaan, unsur pamer.”
Salah satu naluri untuk memamerkan kegilaan dalam mengoleksi adalah balai lelang. Di situlah, uang dalam jumlah besar digelontorkan. Menurut Syakieb, balai lelang banyak jasanya untuk menghidupkan dunia seni rupa. Kalau tidak ada balai lelang, tidak ada perputaran karya. Dari balai lelang, kita juga banyak belajar dan menimba pengetahuan. “Memang ada ekses negatifnya karena di situ ada komersialisasi dan uang. Misalnya, lukisan basah sudah bisa masuk ke balai lelang. Balai lelang memang harus lebih selektif.”
Syakieb bercerita, kecintaannya pada seni rupa tidak datang tiba-tiba. Sedari kecil, ia suka menggambar. Tapi mulai mengapresiasi dan melihat-lihat karya seni rupa, semakin intens saat jadi mahasiswa di ITB. Ia rajin melihat pameran di Galeri Sumardja, ITB.
“Waktu itu, saya juga sudah ingin punya, tapi bagaimana, mahasiswa tidak memiliki uang. Dulu saya tertarik karya Ahmad Sadali atau But Muchtar. Sekarang saya memiliki banyak karya Ahmad Sadali. Kecintaan saya ada pengaruh dari masa kecil, dan diperkuat semasa mahasiswa, tapi kecintaan terhadap karya seni, rupanya harus didukung oleh uang. Tidak datang ujug-ujug (tiba-tiba), lalu membeli karya sebanyak-banyaknya.”
Lalu bagaimana Syakieb mengukur kualitas sebuah karya?
Menurutnya, ada empat hal yang jadi ukuran dalam menakar karya. Pertama, karya itu harus bercerita dan kaya ide. Walau karya tersebut abstrak, tapi bisa dicarikan maknanya. Kalau bisa, artinya itu sesuatu yang subtil. Walau sebuah karya itu nampak main-main, apropriasi, atau parodi, tapi di situ terdapat makna dan hakikat.
Kedua secara teknis, memang bagus. Teknik itu sangat penting. Kalau orang tidak bisa menggambar bentuk, akan segera terbaca pada karyanya. Mengapa karya Dede Eri Supriya menjadi bahan pembicaraan, karena pada masanya, dia begitu menguasai teknik.
Ketiga, ada nilai orisinalitas. Dippo Andy di Indonesia, adalah orang pertama yang membuat pop art untuk diri sendiri, dengan figur sendiri. Di luar kita tahu, setelah Andy Warhol, seniman pop art sangat meruyak. Tapi di Indonesia, dia masuk kategori pelopor.
“Keempat, tidak pabrikan, sehingga tidak gampang didikte oleh kolektor. Dia tidak mau membuat pengulangan karya, walau diiming-imingi uang yang besar.”
Syakieb direktur pada perusahaan produk massal, Sayieb menurutkan ada kesamaan antara produk karya seni yang special one dengan produk pabrikan yang massal. Sebuah karya harus diperkenalkan lewat pameran, dipromosikan, pers harus diundang, market harus di-lobby untuk datang pada pameran, katalognya harus bagus. Waktu dan tempat pamerannya harus bagus. Setelah di launch, seniman harus berkarya lagi, membuat yang lain. “Nah, itu kan persyaratan industri itu harus dilaksanakan oleh fabrikasi kesenian.”
Seniman harus tampil pameran tunggal, kalau bisa dua tahun sekali. Sekali tampil, membawa ide-ide baru, bukan pengulangan. Supaya si kolektor akan berpikir, wah seri lukisan dia yang itu, belum punya nih, harus cari supaya punya. “Ini juga berlaku toh kepada seniman-seniman lama?”
Ada dilematis pada seniman. Dia tidak boleh terlalu sedikit berkarya, tapi juga tidak boleh terlalu banyak. Dia harus bisa memenej dirinya sendiri. “Saya lihat seniman besar itu umumnya bisa memenej dirinya sendiri.”
“Apakah seorang kolektor hanya mengoleksi karya-karya seniman yang sudah ternama dan teruji oleh waktu?”
“Saya memiliki perhatian terhadap para pendatang baru. Tapi tentu saya menilai, yang baru ini apakah memiliki visi dan misi ke depan. Saya beli satu dulu, tapi yang benar-benar bagus,” jawabnya.
Bagus menurut seseorang, terkadang kurang bahkan tidak bagus menurut yang lain. Manurut Syakieb, harus ada kompestisi yang sebanyak-banyaknya. Kriterianya yang bagus, jurinya yang terpercaya, hingga yang terbagus itu benar-benar selektif dan merupakan pilihan orang-orang terpercaya. | doddi@jurnas.com
No comments:
Post a Comment